FOURTH

2 0 0
                                    

Selepas shalat, Hadrian dan Jatna duduk di pelantaran masjid sembari memakai sepatu.

Hadrian yang telah selesai mengedarkan pandangannya ke sekitar masjid yang cukup ramai. Ramai oleh manusia dengan segala aktivitasnya juga beberapa dari mereka yang terjangkau oleh mata Hadrian.

“Lo nggak takut?” Tanya Jatna yang juga ikut melihat apa yang dilihat Hadrian.

“Buat apa? Toh, mereka nggak ganggu. Bentuk mereka emang beragam, tapi anggap aja kaya kalau lagi lihat orang dari negara lain atau bentuk tubuh yang berbeda. Cuma mereka lebih ekstrem aja.” Jawab Hadrian tanpa menoleh.

“Gue udah punya kemampuan ini dari kecil. Mirisnya gue masih aja parno.” Jatna meringis.

“Nggak papa kali. Gue juga sering  gitu. Tapi, gue nggak pernah cerita atau nunjukkin kalau gue takut. Bisa diledek Kakak dan Mama habis-habisan kalau gue takut.” Ujar Hadrian.

“Diledek maksudnya?”

“Mereka bilang, ‘udah berapa kali kamu lihat mereka? Masih takut aja.’ Atau kalau nggak, ‘idih penakut.’ Semacam itulah.”

Jatna menganggukkan kepalanya dan ber “ooh” panjang. “Lo nggak kesel?”

“Kesel lah, makanya gue berusaha buat nggak takut lagi.”

Hadrian bangkit dari duduknya diikuti Jatna disampingnya. “Gue masih ada kelas jam satu nanti. Lo?”

“Gue sekelas sama lo, dodol!. Lo mau langsung ke kelas?” Jatna bertanya setelah menjawab Hadrian. Mereka mulai berjalan ke arah gedung fakultas.

“Mau ke kantin dulu. Laper gue.” Jawab Hadrian mengusap perutnya yang keroncongan. Padahal ia sudah makan tadi bersama Deo dan Loren. Memang tak salah jika Mama menyebutnya ‘perut karet’.

“Gue ikut, dong.”

“Ha? Apaan? Kok lo jadi kintilan?” Hadrian berhenti berjalan dan menoleh ke Jatna.

Jatna memiringkan kepalanya, tak mengerti. “Kintilan?” tanyanya.

“Maksudnya, kok lo jadi buntut gue?”

“Sembarangan! Ini karena gue nggak ada kegiatan ya.” Sergah Jatna.

“Emang lo nggak ada temennya?” Mereka kembali menyusuri jalan.

“Ada. Hari ini nggak berangkat anaknya. Beda kelas sama gue.” Jatna menendang-nendang kerikil yang menghalangi jalannya. Tidak bisa disebut menghalangi juga sebenarnya.

“Ohh...” Hadrian manggut-manggut.

“Oh doang nih?”

“OOOHHHH...” Hadrian berteriak tepat di telinga Jatna sampai rasanya mendengung. Kemudian Hadrian berlari tanpa mempedulikan Jatna yang misuh-misuh sembari mengusap telinganya.

“Sialan Hadrian!”


@@@


Ini adalah hari Sabtu. Setelah lima hari berkencan dengan buku, lembaran, kuis dadakan, dan teman-temannya, akhirnya Hadrian bisa merasakan istirahat juga di kamar monokromnya.

Tapi, ketenangannya tak berlangsung lama, karena sang Mama tiba-tiba mengantar laki-Laki seumurannya yang mengaku sebagai sepupunya. Dan sayangnya, itu benar.

Molor mulu, bangun lo! Udah pagi.” Seru sepupunya itu.

“Masih pagi, Rav. Ngapain pake segala bertamu ke rumah orang? Balik gih!” Usir Hadrian semakin bergelung di selimut warna hitamnya.

Sepupunya, Ravin, memilih abai dengan usiran Hadrian. Ravin malah duduk di kursi game Hadrian dan menghidupkan PC game di depannya. “Mau bangunin kebo gue. Waktunya bajak sawah Kakek di desa.”

“Lo pikir Kakek hidup di abad 10 sampai nggak ada traktor buat gantiin kebo?”

“Berarti lo ngaku kalau lo kebo?”

Tepat setelah kalimat itu terucap dari Ravin, sebuah bantal melayang mengenai kepalanya dari belakang. “Anjir, Hadrian. Sakit woi!” Bentak Ravin menatap tajam Hadrian.

“MA, RAVIN NGOMONG KASAR NIH!” Seru Hadrian sembari berlari ke luar kamar memanggil sang Mama. Untuk apalagi jika  bukan untuk menjahili sepupunya itu?

“HADRIANNNN!” Tak mau kalah, Ravin mengejar Hadrian di belakang. Berbelok, menuruni tangga, hingga menuruni tangga lagi. Rumah Hadrian hanya terdiri dari dua lantai, tapi dasarnya Tuan dan Nyonya Sinatria ahli di bidang desain dan interior, rumah itu dibuat seepik mungkin.

Setelah beberapa menit bermain kejar-kejaran, Hadrian dan Ravin akhirnya kembali ke kamar Hadrian karena dijewer oleh Nyonya Sinatria.

“Nggak ada kapok-kapoknya, ya! Iki ki omah dudu lapangan! Malah dinggo playon! Ambrok ra gelem ngganti!” Marah sang Mama masih menjewer telinga sang anak dan ponakan di kedua tangannya.

(Bahasa Jawa : Nggak ada capek-capeknya, ya! Ini itu rumah bukan lapangan! Malah dipake buat lari-larian! Runtuh nggak mau ngganti!)

“AAA...ADUUHH, TANTE!”

“IYAA, AMPUN MA! NGGAK LAGI-LAGI!” Teriak Hadrian ketika sang Mama semakin menguatkan jeweran.

“Sana balik ke kamar! Jangan keluar kalau nggak Mama panggil!” Perintah Mama melepaskan jewerannya dan kembali ke dapur untuk memasak. Hilang sudah mood bahagianya melihat aktivitas Hadrian dan Ravin.

“Iyaa,” Jawab keduanya bergegas ke kamar Hadrian.


@@@

Tbc

Hehe

Sorry for typo(s). Thank you for your support, vote, and comment.

See ya

ESPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang