THIRD

1 0 0
                                    

Hadrian mengulurkan satu susu kotak ke laki-laki yang hampir bundir tadi yang ternyata bernama Jatna. Tangan Jatna terulur untuk menerimanya.

Sekarang ini, mereka ada di taman fakultas yang tidak jauh dari area kantin. Duduk di bangku baca dan berseberangan. Membiarkan semilir angin panas siang hari yang tidak ada sejuk-sejuknya menerpa mereka. Untungnya pohon-pohon taman mampu meneduhi bangku mereka.

“Jadi nama lo Jatna. Lengkapnya siapa tadi?” Hadrian menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Jatmika Nailendra Purnama.” Jawab Jatna.

Hadrian menganggukkan kepalanya. “Nama gue Hadrian Danish Sinatria. Panggil aja Hadrian. Sekelas sama lo.”

“Gue nggak tanya.” Jatna memalingkan muka.

Hadrian menghela napasnya lelah. “Coba cerita, masalah lo apa?”

“Emang lo siapa sampai gue harus cerita?”

“Terserah, deh. Tapi kalau lo mau kaya gitu lagi jangan di sinilah. Kalau lo nggak tenang banyak yang repot.”

“Enak banget lo ngomongnya.”

“Lah, dikasih tau ngeyel. Hidup mati makhluk itu udah ada yang ngatur. Takdir, rezeki, sama waktu hidup itu udah ditentuin sama Yang Maha Kuasa. Kalau lo milih mati sebelum waktunya apa nggak ngehargain hidup namanya? Padahal lo hidup di dunia itu atas kehendak-Nya.” Hadrian menjelaskan panjang kali lebar tentang apa yang pernah disampaikan kepadanya selama ini. Ya semoga nggak salah sih.

Jatna membiarkan Hadrian yang menurutnya sedang mengoceh, namun tak urung ia juga mendengarkan dan mencernanya.

“Gimana gue mau ngehargain hidup gue kalau gue aja nggak pernah dihargain?” Tanya Jatna pelan.

“Karena lo nggak dijual lah!” Hadrian cengengesan.

Jatna menatap Hadrian datar. Ia serius bertanya padahal. Hadrian berdehem pelan kemudian mengatakan, “Gini deh, Na. Gimana orang lain mau ngehargain lo kalau lo sendiri nggak ngehargain diri sendiri. Pernah dengar kalimat ‘semua dimulai dari diri sendiri’?  Itu nggak berlaku buat perilaku atau tindakan aja. Tapi juga tentang apa yang mau lo rasain. Contoh nih, kalau lo mau disayangi, sayangi diri lo dulu. Karena kalau lo udah sayang sama diri lo sendiri, lo bakal sayang juga sama orang lain.”

“Karena setidaknya, kalau nggak ada lagi yang sayang sama lo, masih ada diri lo yang sayang sama lo sendiri.” Lanjut Hadrian, setelah itu meminum susu kotaknya.

“Gue udah nyoba, tapi percuma. Kalau gue sendiri, gue mana punya kekuatan gede. Gue juga butuh orang lain, Dri.” Ucap Jatna sendu.

“Orang lain emang bisa ngasih lo motivasi, ngasih lo kekuatan lebih. Tapi semua kembali ke diri lo sendiri, lo yang mutusin mau bergerak atau nggak. Kekuatan itu nggak harus gede. Seenggaknya, kekuatan itu bisa buat lo maju walau Cuma selangkah. Kekuatan lo bisa bertambah seiring waktu.” Kata Hadrian bijak.

Kedua mata Jatna berkaca-kaca. Ia menundukkan kepalanya. Sedangkan Hadrian hanya diam merenungi apa yang telah ia ucapkan. Gila, bisa bijak juga dia, pikirnya senang.

“Nggak ada yang ngertiin gue. Gue kalut karena gue nggak bisa cerita ke siapa-siapa. Kalaupun bisa, nggak akan ada yang percaya. Dibayangi terus sama masalah-masalah gue tanpa bisa nyelesainnya. Lo bisa bayangin yang gue rasa? Nggak! Nggak ada yang bisa!” Jatna menyentak di akhir.

“Lah, kok ngamok?”

Jatna bergegas menggendong tasnya, kemudian berdiri. Tidak mau berurusan dengan Hadrian lagi. Seperti dugaannya, semua orang sama saja. Hanya memintanya bercerita tanpa mau peduli dengan masalahnya. Dipikir dia buku cerita berjalan apa! Kalau bayar bisalah dirundingkan.

ESPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang