Happy reading
“Lo sih pake acara cepu segala!” seloroh Ravin.
“Iya, ini salah gue. Emang gue selalu salah di mata seorang Ravin Putra Ray Meikarta.” Hadrian mengiyakan saja. Capek Hadrian tuh.
Mereka tengah berbaring di ranjang dengan Hadrian yang telentang sembari memeluk guling di atas tubuhnya dan Ravin yang sama telentang dengan menjadikan bantal kedua tangannya.
Tiba-tiba Ravin bangkit dan menelusuri rak-rak berisi buku milik Hadrian. “Masih takjub gue, Dri. Lo baca semua buku-buku ini dari kecil. Lo pernah baca lagi nggak?”
Rak-rak yang dimaksud di sini adalah 2 rak besar seperti rak yang ada di perpustakaan sekolah pada umumnya. Satu raknya berukuran sekitar 2 × 2 meter, berwarna putih gading yang diberi sekat-sekat. Dan seluruh bagiannya terisi penuh dengan buku. Dari buku fiksi sampai nonfiksi, bahkan ensiklopedia lama pun ada. Gila memang!
“Takon opo maido jane tho?” Hadrian berdecak malas tanpa mengubah posisinya.
(Bahasa Jawa : Tanya atau tidak percaya/mencela sebenarnya?)
“Apaan nih?” gumam Ravin megambil salah satu buku dengan cover yang cukup mencolok di antara yang lain di suatu sekat.
“Cara Membicarakan Kematian dengan Tersenyum. Edan!” Ravin mengumpat setelah melafalkan judul dari buku yang di pegangnya. Lalu tak sengaja melempar buku itu ke Hadrian karena kaget.
“Kenapa sih?! Mau gelut bilang, shareloc kita!” Protes Hadrian. Dia sedang berimajinasi dengan indah dan seenak jidat Ravin menghancurkannya.
“Lo itu yang kenapa! Judul tuh buku kenapa horror banget sih! Nggak! Yang aneh itu lo kenapa baca buku kaya gitu!”Seru Ravin menunjuk-nunjuk ke buku yang dilemparnya.
“Lah? Apa salahnya coba? Bukunya bagus-bagus aja tuh. Pelajarannya dapet banget malah.” Ujar Hadrian membuka lembar-lembar buku tersebut.
“Sabodo teuinglah. lieur urang ngadepin lo lama-lama.” Keluh Ravin. Kemudian, ia memutuskan duduk di kursi gaming Hadrian lagi dengan PC yang masih menyala sedari tadi tanpa dimainkan.
“Ngomong kok bahasanya campur-campur,”
“Lo sama aja. Nggak usah ngajak gelut lagi!” Sentak Ravin. Gedeg juga lama-lama meladeni tingkah Hadrian yang notabene nya sudah di luar nalar manusia.
“Btw, lo ada temen baru, Dri?” Tanya Ravin tiba-tiba.
“Hmm? Temen baru yang mana?”
“Manusia lah. Emang lo punya temen yang lain?”
“Hehe, enggak.” Hadrian menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kemudian, Hadrian melanjutkan, “Kalau temen nggak tau deh bisa disebut temen apa bukan. Gue ketemu pas hari Senin, anak baru di kelas. Jadi ya sering nongkrong bareng.”
“Owh. Dia punya kemampuan kaya lo, ya?”
“Hooh.”
“Jadiin temen gih.”
“Siapa lo berani merintah gue?”
“Cih.”
Keduanya hening hingga Hadrian membuat suara dengan bangun mendadak dari posisi berbaringnya. “Hari ini bukannya jadwal arisan di rumah tante lo, Rav?”
“Iya,” Jawab Ravin singkat.
“Terus kenapa lo malah melipir ke sini?”
“Kenapa? Nggak boleh?” Tanya Ravin dengan nada datar, sedatar tatapan matanya ke Hadrian saat ini. Sedikit ngeri juga sebenarnya, tapi ini adalah Hadrian! Anak bungsu Sinatria yang bebal dan sok pemberani!
KAMU SEDANG MEMBACA
ESP
Teen Fiction"Extrasensory Perception" atau Indra Keenam Tidak dapat disetujui maupun dibantah karena topik fenomenal ini memiliki latar belakang logis dan telah diuji dengan metode ilmiah yang dapat membuktikan argumen pro dan kontra. Ini menjadi pilihan masyar...