Prolog

83 9 2
                                    

Cuaca mendung menjadi hiasan langit siang ini. Awan bergulung tebal di atas sana, berhasil menyamarkan sinar matahari yang biasanya selalu terik dan menyengat.

Siang hari yang lumayan gelap, segelap hati seorang bocah SD kelas 1 yang saat ini sedang duduk merengut di kursi halte, Ia sendirian.

"Ayah gak bisa jemput aku, Bunda juga. Aku sedih, Mimi Peri," curhatnya pada diri sendiri, seolah-olah ada seorang Ibu Peri di sampingnya.

Ia menirukan salah satu sinetron yang pernah Bundanya tonton, di sana ada Ibu Peri baik hati yang selalu menolong sesama. Ia tertular sifat Bundanya, halu.

"Bian! Mau aku bonceng gak?" teriak bocah lain bertubuh gempal sambil menaikkan kedua alisnya antusias, membuat si empu yang tadinya sedang merengut kesal langsung mendongak.

Bian bergerak bangkit dengan malas. Senyumnya terpatri penuh paksaan. "Iya, Dino!"

"Hayuk lah!"

Tin tin!

Bian mengernyit saat mendengar suara klakson mobil yang begitu kencang. Saat kepalanya menoleh ke arah kanan, matanya membelalak kaget saat melihat seorang bocah yang berumur sekitar 3 tahun sedang berjalan ke arah tengah jalan.

Penuh inisiatif, dengan reflek Bian berlari kencang dan segera menarik bocah perempuan tersebut ke pinggir jalan. Ia berjongkok sambil menatap bocah tersebut lekat, napasnya terengah-engah, jantungnya berdegup kencang karena habis dipacu berlari tiba-tiba.

"YA ALLAH, ZOURA! KAMU KOK LARI-LARI SENDIRI SIH, SAYANG?! GAK PAPA KAMU, NAK? GAK PAPA?" teriakan penuh kekhawatiran itu menggema di telinga Bian. Bocah laki-laki itu segera berdiri dan langsung mengerjap saat Ibu-ibu datang, menggendong bocah perempuan yang Ia selamatkan tadi.

"Uwah! Bian hebat banget! Kayak Supergirl!" Dino berteriak heboh setelah memarkirkan sepedanya. Sebelah tangannya menepuk-nepuk pundak Bian kencang.

Bian mendengus. "Superman, Din. Aku tabok nih lama-lama!" sungutnya sambil melotot lucu.

Dino tersenyum. "Itu maksudku, Bi!"

"Nama kamu Bian?"

Bian mendongak menatap wanita paruh baya yang sedang menggendong Zoura, lalu mengangguk yakin. "Iya, Tante."

Usapan hangat mendarat di puncak kepala Bian, senyuman teduh terpatri di kedua sudut bibir wanita tersebut. "Terimakasih banyak ya, Nak. Saya gak tahu lagi gimana nasib Zoura kalau gak ada kamu."

Hati Bian menghangat, Ia mengangguk lagi. "Sama-sama, Tante." Keningnya mengernyit saat sebuah lolipop disodorkan di depannya. "Untuk kamu, sekali lagi terimakasih banyak, Bian."

Bocah laki-laki itu berterimakasih sembari menerimanya dengan ragu.

Wanita paruh baya tersebut tiba-tiba berjongkok sambil menurunkan Zoura penuh hati-hati. Bian terpaku saat tangan Zoura dituntun ke depan tubuhnya.

"Salim dulu, Zou sama Kak Bian, ya?" Senyumnya terus terpampang sembari menuntun tangan Zoura. Bian mengerjap saat punggung tangannya dikecup ringan oleh bibir mungil Zoura.

"Bilang makasih dulu, Sayang," titahnya di telinga Zou.

"Makasih Kak Bian," ucap Zou dengan logat khas anak kecil. Senyumnya mengembang saat melihat Bian tersenyum.

Bocah berambut hitam legam itu mengusap kepala Zoura penuh sayang. "Sama-sama, Zou."

***

"Udah kali, Bi. Jangan dipelototin mulu, keluar nanti tuh mata. Serem kaya film ketupat!" Dino menepuk bahu Bian keras, berhasil menyadarkan Bian dari lamunannya.

Bocah berseragam merah putih itu merengut kesal sembari menghela napas panjang saat netranya kehilangan penampakan yang sedari tadi Ia tatap, mobil hitam yang membawa Zoura dan Ibunya pergi.

"Psikopat, Din." Bian menendang kecil sepatu Dino.

Dino cengengesan, dua bocah berkulit putih itu memiliki sifat saling melengkapi. Dino gemuk, Bian kurus. Dino berambut keriting, Bian lurus legam. Dino suka kacang, Bian suka kulit ayam. Oke, mulai gak nyambung, mari kita sudahi ini.

"Emang kamu pernah nonton film psikopat, Din?" Bian bertanya lengkap dengan raut penasarannya.

Dino menggeleng, menyurutkan binar di mata Bian. "Masih di bawah umur, gak boleh, Bi."

Hening.

"Kok masih berdiri di situ?!" Bian menukikkan alisnya tajam. Perasaannya mulai tidak enak.

Bocah bertubuh gempal yang sedang mengemut lolipop milik Bian itu langsung mengerjap bingung. "Lho? Kan tadi aku bilangnya Aku bonceng. Bukan Kamu bonceng."

Bian memutar kedua bola matanya malas. "Dasar licik! Kamu mirip pemeran antagonis di sinetron yang suka Bunda tonton di rumah."

"Emang Mami suka nonton apa, Bi? Antagonis itu apa?"

Bian mengernyitkan keningnya dalam, kebiasaannya di saat sedang berpikir keras. "Gak tahu, nanti aku coba tanya Bunda deh. Ayok pulang!"

Dino malah sedikit menjauh dari sepedanya seraya menyunggingkan senyuman menyebalkan. "Kamu yang bawa sepedanya, ya?! Aku yang bonceng!"

Dengan malas Bian menuruti. Bergerak menaiki sepeda milik Dino, sementara itu Dino tersenyum lebar sambil berdiri di pijakan belakang sepedanya. Kedua tangannya memegang erat bahu Bian.

"Berangkat!" seru Dino seraya menggeplak bahu Bian heboh.

Bian mendengus karena Ia harus mengayuh dengan extra tenaga. Dino memang satu-satunya sahabat Bian yang sangat tidak tahu diri, mungkin menurun dari jiwa Bapaknya, Altar.


SELAMAT DATANG DI DUNIA BIAN DAN ZOU, SEMOGA SUKA:*
VOTE KOMENTNYA DULU KAKA-KAKA GEMOY👉👈
KRITIK SARAN SIAP DITAMPUNG, MONGGO❤

BianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang