"Kita punya tetangga baru lho, Kak!" ucap Regan yang berhasil menghilangkan keheningan di meja makan kali ini. Papa muda berkepala tiga itu kembali menikmati santapan siangnya.
Bian, putra sulung keluarga Malhetra yang baru berusia enam tahun itu langsung berbinar senang. "Beneran, Pak?!"
Regan mengernyit. "Ayah, Bi. Masa panggilan Ayah ganti-ganti terus?"
"Hari ini aku lagi pengin panggil pakai sebutan Bapak."
"Dasar gak konsisten!"
"Bodoamat. Selagi gak bikin Dek Nara nangis. Gak papa 'kan, Bun?" Bian menoleh ke arah Bundanya, meminta dukungan.
Anggukan Rena membuat Bian tersenyum menang. Ia kembali menatap Ayahnya dengan raut sombong yang dibuat-buat. "Bapak gak lagi bohongin aku 'kan?"
"Emang Ayah pernah bohongin kamu?"
"Sering. Iya 'kan, Na?" Mata bulat Nara mengerjap lucu saat mendapat pertanyaan dari kakak laki-lakinya. Bayi berusia sebelas bulan itu langsung menyembunyikan wajahnya di perut sang Ibu.
"Tuh! Mana ada? Nara aja gak mau jawab pertanyaan Kakak." Regan terkekeh sambil mengusap kepala putrinya.
"Ish! Nyebelin banget jadi Bapak! Bapak sering bohong 'kan, Bunda? Waktu itu bilangnya mau bawa kucing kecil yang di perempatan ke rumah, trus katanya kucingnya keburu mati kekelindes jadi gak dibawa pulang." Bian mulai tersulut.
Regan menaikkan sebelah alisnya. "Lho? Emang benar toh? Kucingnya sudah mati, Kak. Ayah lihat sendiri prosesi pemakamannya."
"Enggak, Bapak! Kemarin pas pulang sekolah bareng Dino, Kucingnya masih sehat wal'afiat kok! Mau Bian ambil, tapi Bian takut nyebrangnya."
"Payah, anak cowok kok gak bisa nyebrang," ledek Regan yang langsung mendapat cubitan ganas dari istrinya di pinggang.
"Mau ngajarin yang gak benar? Iya?!" Regan cengengesan. "Ampun, Bunda."
"Hilih," cibir Bian sambil kembali memakan nasinya. Memang menjadi kegiatan rutin setiap siang, Ayahnya akan kembali ke rumah untuk makan siang dan setelahnya kembali ke kantor untuk bekerja. Jam pulang yang sebenarnya nanti sekitar pukul lima sore.
***
"KAK BIAN!"
Menghela napas panjang, bocah berkaus pendek dengan gambar tayo itu bangkit dari posisi rebahannya dengan kasar.
"Baru aja mau nge-game, pending lagi dah," gerutunya sambil melangkah ke lantai bawah.
"BUNDA DI MANA SI? ELAH!" Bian mendengus sembari keluar dari kamar orang tuanya. Ia kira tadi Bundanya berada di kamar, tapi tak terlihat wujud orangnya.
"DI SINI LHO, KAK! JANGAN TERIAK-TERIAK! DEK NARA LAGI BOBO!"
"BUNDA JUGA JANGAN TERIAK-TERIAK KALAU GITU! AKU OTW!" Bian bergegas ke dapur sambil cengengesan saat mendapat pelototan tajam dari Bundanya.
"Ikut Bunda. Ayok!" Wanita berusia kepala tiga itu bergegas menyeret lengan putranya.
"Eh Bunda jangan main seret aja dong! Kita mau kemana emangnya?" Bian melirik kresek yang ditenteng oleh Bundanya, keningnya mengernyit. "Itu apa, Bun?"
"Kue buat tetangga depan. Kita sapa mereka, ya?"
Bian melepas paksa tangan Bundanya. Bahunya bergidik ngeri. "Gak mau. Aku belum mandi, Bun. Malu."
![](https://img.wattpad.com/cover/276726832-288-k779369.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bian
Фанфик~ Sequel Regan ~ Namanya Arbian, biasa dipanggil Bian oleh orang-orang di sekitarnya. Punya Ayah yang gantengnya gak ada obat, punya Bunda yang cerobohnya gak ada tandingan. Juga, punya tetangga perempuan yang manisnya Masha Allah banget, namanya Zo...