02. Hilang

44 2 0
                                    

Hari-hari berlalu semenjak kejadian itu. Kini, Kala tak lagi menemukan perempuan itu disekitar pantai. Benar-benar menghilang.

Walau begitu, Kala tetap yakin perempuan itu ada. Menyangkal bahwa kejadian pada siang itu hanyalah sebuah ilusi semata.

Seperti yang diketahui, sebenarnya itu bukanlah kali pertama Kala melihatnya. Beberapa kali ia pernah melihatnya, dalam keadaan yang sama. Cuaca mendung dan duduk di batang kayu besar tanpa suara.

Namun, saat itu berbeda. Cuaca benar-benar cerah, tak ada tanda-tanda akan turun hujan. Oleh karena itu Kala nekat mendekatinya. Ia heran sekaligus penasaran.

Pikirnya, mungkin saja mereka bisa berkenalan dan menjadi teman. Lalu, Kala ingin menanyakan banyak hal padanya.

Mengapa dia selalu datang ketika awan menggelap dan akan turun hujan? Mengapa dia selalu duduk disana sendirian? Mengapa—Ah, sudahlah. Bahkan untuk menoleh pun ia enggan, apalagi menjawab rasa penasaran Kala.

Mencoba mengalihkan pikirannya dari perempuan itu, Kala mempercepat langkahnya. Pagi tadi Paman Wira mengunjungi rumah. Membawakan beberapa makanan buatan istrinya. Ia merupakan adik satu-satunya Ibu Kala.

Sebelum pamit, Paman Wira berbincang sebentar dengan Kala dan Ibunya. Kemudian berakhir dengan sebuah ajakan untuk Kala.

“Sore nanti mau ikut dengan Paman?” tanya Paman Wira.

Kala terlihat excited. “Kemana, Paman?”

“Memancing.”

Bahu Kala sontak menurun. Ekspresinya pun berubah. Tidak bersemangat seperti tadi. Namun, tak ayal ia tetap mengiyakan ajakan sang Paman.

Kala tidak terlalu suka memancing. Beberapa kali ia pernah melakukannya dan itu sangat membosankan menurut Kala. Akan tetapi, ajakan memancing tampaknya sedikit lebih baik daripada berada seharian dirumah.

Dua hal yang membosankan, namun disinilah ia sekarang. Berjalan santai menuju dermaga yang tampaknya tak begitu ramai. Hanya ada beberapa orang yang sepertinya sudah siap berangkat dengan perahunya masing-masing.

Mata Kala mengedar, mencari keberadaan Pamannya.

“Dor!”

Kala berjengit kaget. Hampir melompat melewati pembatas dermaga. Ah tidak, itu berlebihan. Tanpa berbalik pun ia sebenarnya tahu siapa pelakunya. Namun, ia tetap berbalik untuk memastikan.

Si Pelaku tersenyum lebar, menampilkan dua gigi gingsulnya. Tampak begitu manis bagi siapapun yang melihatnya. Kala malas mengakui hal itu, walau faktanya memang benar.

“Begitu saja terkejut.” ucap si Pelaku sambil berjalan santai melewati Kala.

Kala tak membiarkan, ia dengan cepat menarik kerah belakang baju si Pelaku.

“Eh, eh. Kala lepaskan!”

“Eh, eh. Kala lepaskan!” balas Kala dengan nada mengejek.

“Ayah! Lihat, Kala mencekik Kiya!” si Pelaku yang bernama Kiya mengadu ketika melihat sosok Ayahnya didepan dermaga. Sedikit melebihkan, padahal Kala hanya memegang kerah bajunya pelan.

Pria paruh baya yang merasa dirinya terpanggil oleh anaknya menoleh, kemudian terkekeh setelahnya. Menatap Kala, pria itu mengacungkan jempol padanya. Kala tersenyum dan membalas hal serupa.

Kiya merasa terkhianati. Ia menggeleng kecewa.

“Kasihan sekali.” ucap Kala yang mulai menarik kembali tangannya.
Menyejajarkan dirinya dengan Kiya, lalu menepuk pelan kepala sahabatnya. Tak berlangsung lama, sebab sang empunya dengan cepat menyingkirkan tangan Kala.

Setelah menatap Kala sinis, Kiya melangkah gontai menuju Ayahnya. Memberikan telepon genggam milik sang Ayah yang sepertinya tertinggal dirumah.

“Ponsel Ayah tertinggal.” ucap Kiya sambil mengangsurkan benda itu kepada Ayahnya.

Tangan Ayah bergerak menerima lalu berpindah untuk mengelus rambut putrinya. “Terima kasih, Putri Cantik.”

Kiya mendengus. Namun sedetik kemudian ia tersenyum lebar.

“Semangat Ayah! Hati-hati ya.” ucap Kiya girang.

Kejadian itu tak lepas dari pandangan Kala. Ia tersenyum miris pada dirinya sendiri. Hanya berlangsung sebentar, sebab ia langsung ingat pada tujuan awalnya. Kala pun kembali mengedarkan pandangan untuk mencari Pamannya. Namun, nihil. Pamannya benar-benar tidak ada disekitar dermaga.

Apa paman sudah berangkat? tanyanya dalam hati.

Sadar perempuan yang tadi bertengkar dengannya kembali, Kala membalikkan badan berpura-pura tak melihatnya.

“Percuma celingukan sana-sini, Paman Wira tidak akan datang.” ujar Kiya seakan memberitahu.

Kala hanya melirik sekilas.

“Tak percaya?” Kiya mengangkat alis.

Kala bergeming. Mengabaikan sosok manusia disampingnya. Bahkan, ia mulai melangkah meninggalkan dermaga dan perempuan yang konon adalah sahabatnya.

Mulut Kiya terbuka lalu sebelah tangannya mulai menutupinya. Bersikap seolah-olah ia sangat shock dengan apa yang dilakukan Kala.

“Dasar Kala-jengking!” teriak Kiya sebelum akhirnya berlari mengikuti lelaki yang barusan di umpatnya.

• • •

Senja baru saja usai. Langit malam pun mulai menggantikan peran. Memandang langit, tanpa sadar Kala berharap supaya hujan diturunkan.

Rencana memancing sore tadi terpaksa batal. Kiya mengatakan bahwa anaknya Paman Wira demam tinggi. Ia diberitahu oleh istri Paman Wira yang merupakan Bibi kandungnya. Bibinya menitip pesan dan permohonan maaf untuk disampaikan kepada Kala.

Kala tak kecewa. Justru, ia khawatir pada sepupu kecilnya yang baru menginjak usia 8 bulan itu.

“Lapar,”

Kala hampir lupa perempuan ini masih bersamanya.

“Lapar Kala...” Kiya meluruskan kakinya, menggerak-gerakkannya asal seperti sedang merajuk ketika meminta makan kepada Ibunya.

“Didepanmu banyak pasir, jika haus...” Kala mengendikkan dagunya ke air pantai.

Kiya tampak kesal, tangannya bergerak seperti ingin menarik rambut Kala. Namun, tak ia lakukan. Kiya tahu lelaki itu paling tidak suka disentuh rambut atau bagian kepalanya. Tak terkecuali ikat kepala yang selalu dikenakannya.

“Aku tarik bandanamu, lalu ku ikatkan erat di lehermu. Mau?” ancam Kiya sadis.

Kala menaikkan alisnya, terlihat menantang. “Berani?”

“Tentu saja tidak!” Kiya si mudah emosi, namun juga gemar membuat orang lain emosi.

Kala terkekeh. Mengganggu Kiya memang sangat menyenangkan. Begitupun sebaliknya.

“Ayo.” Kala mulai beranjak. Membersihkan pasir yang menempel di belakang celananya.

Kiya mengikuti. Namun, tetap saja ia bertanya.

“Ayo kemana?”

Kala menoleh, “Tadi katanya lapar.”

Bibir Kiya tertarik sempurna. “Ibu Ambar masak apa?” Ambar yang dimaksud Kiya adalah Ibunya Kala.

“Batu goreng, tumis pasir lalu... aduh—” Kala mengaduh ketika cubitan keras mendarat di perut ratanya.

Baru ingin protes, Kiya lebih dulu memotongnya.

“Hey, Kala.” Wajah Kiya terlihat serius kali ini.

“Apa?” balas Kala ketus.

“Lihat!” Kiya menunjuk kebawah, kepalanya pun ikut menunduk. Dengan patuh, Kala mengikuti arah telunjuk sahabatnya.

Kembali menatap Kala yang masih menunduk, Kiya melanjutkan. “Otakmu jatuh, Kawan.”

• • •

a/n :

tbh, gatau mau nulis a/n apa.
tpi kosong kayaknya sepi bgt.
gini ajala ya.

*pict on mulmed from Pinterest.

DelusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang