Tiupan angin malam seakan menyambut kehadiran Kala. Lelaki dengan ikat kepala yang tak pernah ia lupakan itu langsung merapatkan jaket lusuh kesayangannya. Selepas makan malam tadi, ia memutuskan untuk mencari angin diluar. Sedangkan Kiya masih bersama Ibunya. Melihat-lihat hasil rajutan Ambar sambil asik mengobrol. Kala pun terabaikan.
Dari depan rumahnya, Kala dapat melihat hamparan pantai yang tetap terlihat indah walau hanya disinari sang bulan. Terlihat begitu tenang namun menghanyutkan. Kemudian, pandangannya teralihkan menatap langit.
Indah.
Satu kata itu telah mewakili semuanya. Bintang bertabur begitu indah menemani terangnya sang bulan. Namun, entah mengapa terbesit perasaan kecewa ketika Kala melihatnya.
Secerca harapan masih terukir dalam dirinya. Berusaha mengabaikan namun hatinya dengan keras menentang kemauannya.
"Brother!"
Kala menoleh. Sedikit ragu apakah panggilan itu benar ditujukan padanya. Sedetik kemudian ia terkejut ketika menyadari siapa orang yang memanggilnya tadi.
"Leo?"
"Wah, senang sekali rasanya orang-orang disini masih mengingatku." Leo segera menghampiri Kala. Bergerak untuk memeluk sahabatnya itu. Namun, secepat kilat Kala menghindar. Membuat Leo berakhir hanya memeluk angin saja.
"Uang mereka masih ada padamu. Bagaimana bisa lupa?" ujar Kala.
Leo tertawa. "Tenang, kedatanganku kali ini bukan tanpa arti. Kupastikan utang manusia itu lunas saat ini juga."
Sebutan 'manusia itu' ditujukan untuk Ayah Leo yang telah tiada dua tahun yang lalu. Meninggalkan Leo dan Ibunya serta utang piutang akibat judi yang tak sedikit jumlahnya. Membuat Leo terpaksa harus membanting tulang untuk dapat membayarnya.
Leo benci pada Ayahnya, namun ia tidak mungkin tega membiarkan Ibunya yang bekerja keras demi mendapatkan pundi-pundi uang agar dapat melunasi utang. Akhirnya, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di kota. Hampir 3 tahun berada disana dan sekarang ia berhasil mencapai tujuannya.
"Syukurlah." Kala lega mendengarnya.
"Hey, ayolah. Hampir tiga tahun kita tidak bertemu. Apa kau tidak merindukanku?" ujar Leo, berniat menggoda sahabatnya.
Kala bergidik lalu perlahan menjauh. "Geli."
Leo kembali tertawa lalu segera mengikuti langkah sahabatnya.
• • •
Matanya membola, Kiya menutup mulutnya yang spontan terbuka. Terkejut dengan sosok yang ia lihat dihadapannya.
"Mulai lagi." keluh Kala pelan sambil menutup telinganya.
"LEOOO," Kiya bergerak secepat kilat. Memeluk sahabatnya itu dengan erat, ralat, sangat erat.
Leo menepuk-nepuk lengan Kiya.
"Kiya, a-aku masih ingin hidup."Sadar pelukannya terlalu erat, Kiya malah terkikik. Namun tak ayal sedikit mengurai pelukannya.
Adegan teletubbies itu berlangsung selama beberapa waktu. Bahkan Kiya sempat menarik Kala dan berakhir berpelukan bersama. Setelah merasa pegal, Kiya baru benar-benar melepas pelukannya.
Kala dan Leo menghela napas lega.
"Wah, sahabatku yang satu ini terlihat berbeda sekali." ujar Kiya yang sekarang tengah memerhatikan tampilan Leo.
Kala menoleh, ikut memerhatikan. "Sama saja."
Senyum bangga yang tengah dipamerkan Leo luntur seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Delusi
Fantasy[SF2] Sosoknya nyata. Dia benar-benar ada. Lantas, mengapa tidak ada yang percaya? • • • • Start : July 14, 2021 Finish : copyright©2021, sunclvudii