04. Sayang

22 1 0
                                    

“Genta sudah sehat, Dhis?”

Gendhis menoleh, netranya menangkap Kakak Iparnya yang masih sibuk memilih-milih benang.

“Sudah, Mbak. Kemarin demamnya cukup tinggi. Tapi untungnya, sekarang sudah riang kembali.”

“Syukurlah. Tidak tega rasanya melihat bayi merasakan sakit seperti itu.” kata Ambar namun masih fokus dengan benang ditangannya.

“Benar, Mbak. Makanya Gendhis cukup panik saat itu, dan akhirnya menahan Mas Wira pergi,” Gendhis berjalan menuju Ambar, ia menunjukkan dua benang pilihannya. “Mbak, kalo kedua ini dipadukan bagaimana?”

Ambar mengamati. “Cocok-cocok saja, Dhis. Tapi harus ada warna dasarnya.”

Gendhis mengangguk-anggukan kepalanya. Ambar mengambil beberapa pasang warna lagi, lalu menunjukkannya pada Gendhis. Sesekali, Ambar memberitahu Gendhis beberapa hal, walau kebanyakan memang karena Gendhis yang bertanya.

Gendhis periang, banyak bicara. Bahkan sepanjang perjalanan pulang ia masih menanyakan ini-itu kepada Ambar. Mereka memang sangat dekat. Membuat beberapa orang mengira bahwa Wira yang merupakan Adik Ipar Ambar.

Gendhis tertawa disela-sela obrolan mereka. “Putra mbak ada-ada saja, ya.”

Ambar ikut tertawa. “Dia benar-benar kukuh loh, Dhis. Ada perempuan cantik katanya.”

“Jangan-jangan memang benar lagi, Mbak,” Gendhis menggantung ucapannya, terlihat berpikir. “Apa memang tidak ada perempuan cantik yang dekat dengannya akhir-akhir ini?”

Ambar menggeleng. “Teman yang paling cantik yang Kala punya, ya cuma Kiya.”

“Benar juga ya, Mbak.” Gendhis terkekeh, lalu kembali melanjutkan ucapan. “Keponakan iparku sudah besar, ya? Pikirannya sudah terpenuhi perempuan cantik.”

Ambar tersenyum. Ia selalu ingin menyangkal, tapi memang benar adanya. Putra satu-satunya itu sudah beranjak dewasa. Padahal rasanya seperti baru kemarin Kala menapakkan kakinya dan belajar berjalan untuk yang pertama kali.

“Waktu bergulir cepat sekali ya, Mbak? Seperti Genta. Rasanya baru kemarin Gendhis melihatnya menangis untuk yang pertama kali. Sekarang bahkan sudah bisa diajak mengobrol.”

Gendhis tersenyum. Ah, membicarakan hal itu membuat ia merindukan Genta-nya. Ia harus cepat pulang sekarang.

• • •

Masih terpukau, Kala akhirnya mencoba menyadarkan dirinya. Mengerjap beberapa kali kemudian ia menunduk. Menghitung sampai lima, dan akhirnya kembali mengangkat pandangan.

“Tidak hilang.” gumamnya pelan.

Setelah sepenuhnya sadar, Kala pun mulai melangkah. Perempuan itu masih setia dengan senyum manisnya, yang entah mengapa membuat Kala sedikit gugup.

Jarak mereka sekarang terpaut lima langkah. Kala berhenti dan sejenak menyadari bahwa tinggi perempuan itu hampir menyamai dirinya.

“Ada apa?”

Ah, mengapa pertanyaan bodoh itu yang keluar dari mulutnya? Kala terus merutuki hal itu.

Sedangkan perempuan itu masih menatapnya dengan senyuman yang tak juga luntur dari wajah cantiknya.

Apa tidak pegal? tanya Kala dalam hati.

“Selamat pagi, Kala.”

Kala tersentak. “Kau tahu namaku?”

Perempuan itu tertawa kecil, yang sialnya, terdengar manis sekali ditelinga Kala.

Astaga, siapapun segera sadarkan Kala.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 27, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DelusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang