#Farassa1

26 2 0
                                    

"Aku mau kita cerai!"
"Ya sudah, kita cerai. Pengacaraku akan urus semuanya."

Bruk

Samar-samar masih dapat kudengar suara isakan. Tangisan Ibu.

Perlahan aku membuka mata, menatap wajah Mbah Mira, sosok yang selama ini menjagaku selain orang tuaku. Setetes air mata Mbah Mira terjatuh seiring dengan tangannya yang masih menutup telingaku sejak Ayah dan Ibuku mulai bertengkar, lagi.

Perlahan kuusap air mata Mbah Mira.
"Mbah Mira kok nangis? Mbah Mira sedih ya, karena Ayah dan Ibu akan berpisah?" tanyaku.
Mbah Mira tersenyum, "Engga nduk, Mbah ga sedih kok." jawab Mbah Mira.

Aku memang masih berusia 8 tahun. Tapi aku paham. Ayah dan Ibuku akan berpisah.

Aku tidak menangis. Pun juga tidak bersedih. Satu yang kurasakan, takut. Aku takut. Aku takut gagal. Aku takut ditinggalkan. Setelah satu per satu orang yang kusayang pergi, dan kini Ayah juga melakukannya.

***

"Hey, bengong aja. Mikirin apa sih?" tanya Bara, suamiku. Aku terpejam perlahan menikmati usapan lembutnya pada surai hitam panjangku.

Ya, akhirnya aku memutuskan untuk menikah. Menerima Bara. Melawan semua ketakutanku. Dibantu oleh Psikiaterku, juga Bara tentunya.

Bukan hal mudah untukku, begitu pun dengan Bara. Butuh waktu bertahun-tahun untuk Bara meyakinkanku, bahwa aku tidak sendiri, ada Bara, dan kini ditambah Mika.

"Engga, aku cuma lagi kangen sama Ibu." jawabku.

"Nanti kita jenguk Ibu ya. Kita bawain bunga kesukaan ibu." ujar Bara. Tangannya masih mengusap rambutku.

"Jadi kita mau ke makam Nenek yah?!" tanya Mika yang muncul tiba-tiba. Aku sedikit tersentak. Bara juga. Namun setelahnya kami tersenyum.

Mikayla, anakku dan Bara. Kami bisa memanggilnya Mika. Dia kini sudah tumbuh menjadi anak manis berusia 6 tahun.

"Yeayy! Aku akan ketemu Nenek!" ujar Mika dengan riang.

Ya, Ibuku sudah meninggal. Tepat sesaat setelah Mika lahir. Ibu memang sudah sakit sejak lama. Kanker rahim stadium akhir.

Seakan dikabulkan, Allah mengabulkan do'a Ibu. Menemani persalinanku, memastikan aku dan cucu pertamanya baik-baik saja. Ibu pun meninggalkan kami dengan tenang dalam tidurnya.

Kini aku sudah menerima semuanya. Menerima kepergian Ayah dulu. Menerima kepergian Ibu. Menerima kehadiran Bara dan Mika. Juga menerima dan berdamai dengan segala rasa takut yang hampir sepanjang hidup menguasai pikiranku.

***

Farassa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Farassa

PastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang