“Kalian benar-benar belum pernah mendengar ceritanya?” Tanya Hellioz, “Tidak satu kali pun?”
“Hellioz,” rengek Cael, “Ceritakan!”
“Sebentar,” anak laki-laki itu menarik napas panjang dari jendela zeppelin, “Biarkan aku menikmati momen ini, biasanya mereka menyuruhku diam… bahkan para guru”
“Itu karena kau lebih pandai dari mereka,” bujuk Cael.
“Begitu… kah? Bukankah kau tidak sependapat?”
“Sudahlah, kau mau cerita atau tidak? Kalau tidak aku mau tidur,” Cael berpura-pura akan tidur.
Eibie yang sedari tadi diam, tersenyum simpul memperhatikan percakapan konyol kedua sahabat itu. Ia yang termuda di kelompok ini, namun ia merasa kelakuan kedua teman barunya jauh lebih kekanakan, semoga si orang keempat lebih serius dibanding mereka.
“…Ibuku fans opera klasik dan ia menontonnya berulang-ulang, aku hapal ngelotok kisah ini-“ Cael menghardiknya, “Hellioz!!! Ceritakan saja!!”
Eibie terkikik geli. Hellioz mulai bercerita, “Pada awal jaman... sebelum Vienna… berdirilah sebuah kerajaan sihir bernama Arkana…”
Hellioz pun berkisah. Legenda Arkana yang tragis ini berpusar pada dua tokoh utamanya, yaitu Raja Leodimus Bahel dan Dewi Angin Forrossa. Bahel memiliki segalanya; kekayaan, kemakmuran, kekuasaan, kekuatan militer, dan bahkan keabadian. Sebagai manusia, Bahel sangat berpengaruh hingga bahkan Dewi Angin pun menyambutnya dengan hormat.
“… singkat cerita, Bahel terpikat pada Dewi angin….,” dan kalimat itu langsung mendapat keluhan, “Yah!!! Kenapa disingkat??!!”
“Yang cerita kamu apa aku, heh?” tegur Hellioz. Lalu Hellioz melanjutkan cerita sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan kedua pendengarnya, “… terobsesi pada kecantikan Dewi Angin, Bahel melamarnya, namun Dewi Angin tersinggung,”
“Kenapa Dewi Angin tersinggung?” tanya Cael sambil berbaring.
“Karena Bahel hanya manusia, meski seorang raja,” namun Hellioz sangsi bahwa itu adalah jawaban yang benar. Cerita ini sudah banyak diceritakan kembali dan muncul dalam banyak versi, dia tidak yakin mana yang merupakan alasan sesungguhnya dari Forossa menolak Bahel.“Bukankah itu karena Sang Dewi cemburu pada Bahel yang memiliki kerajaan terbang?” tanya Eibie. Hellioz juga tidak yakin jawaban atas pertanyaan tersebut ini versi yang belum pernah dia dengar sebelumnya, “…Hei, katamu kamu belum pernah mendengar cerita ini sebelumnya?”
“Oh... Aku hanya tahu legenda Dewi Angin, namun baru tahu kalau kedua kisah ini sebenarnya berkaitan,” jawab Eibie santai, “Jadi… Vienna-lah dataran yang terbentuk karena kemurkaan Dewi Angin, sehingga tanah tersapu angin berpuluh tahun lamanya dan menimbulkan dataran terbang?”
“Bukankah dataran terbang adalah buah karya Bahel sebagai hadiah untuk Dewi Angin? Ah aku tidak tahu lagi mana versi sejatinya cerita ini,” keluh Hellioz.
“Tidak penting… itu semua hanya mitos,” Cael bangun dan menepuk-nepuk pundak kedua temannya. “Ayo kita tidur – Haahm – Terima kasih untuk dongengnya, Hellioz,”
“Sama-sama”
Malam itu kedua gadis tertidur dengan pulas, sementara Hellioz termangu memikirkan banyak hal. Bahel itu sebenarnya baik atau jahat? Beberapa tulisan mengisyaratkan Arkana mencapai puncak kejayaannya pada pemerintahan Bahel, raja yang bijak, pandai, penemu yang andal. Dia tulus mencintai Forrossa. Dan beberapa penemuannya didedikasikan pada sang dewi angin. Di sisi lain, Forrossa, apakah begitu keji. Setelah menghancurkan hati Bahel, perlukah juga untuk menghancurkan kerajaannya? Ataukah ada hal-hal yang tidak diceritakan?
Mengapa ketidakjelasan ini begitu menggangguku? batin Hellioz
Semakin lama semakin banyak pertanyaan menyerang benaknya. Ia mencari ketenangan dengan memandang wajah Cael yang tertidur.
Gaya tidurnya begitu polos dan lugu. Mengenang masa ketika mereka berdua masih kecil, mereka sangat dekat, karena rumah mereka bertetangga dan umur mereka berdekatan. Namun sejak mereka berdua belajar di akademi yang sama, persahabatan tergantikan oleh persaingan, dan canda tawa tergantikan oleh seruan-seruan perselisihan. Hellioz sangat merindukan Cael yang dikenalnya semasa kecil. Mereka dulunya berbagi banyak hal, makanan, mainan, kesedihan, kegembiraan.
Cael yang sekarang amat sombong dan suka pamer, sehingga membuat Hellioz merasa tidak nyaman berada di dekatnya. Di tambah kesulitannya menghadapi pelajaran-pelajaran di akademi yang menimbulkan jurang pemisah semakin lebar antara dirinya dari Cael. Bayangkan Cael sang akademisi teladan berteman dengan Hellioz yang selalu tinggal kelas. Hal itu seringkali membuatnya canggung di hadapan Cael.
Pada akhirnya, Hellioz menimbang bahwa dia patut mensyukuri keberadaan Cael, meski tidak sebaik dulu. Karena dengan reputasi prestasinya yang jelek, Hellioz tidak memiliki teman lain kecuali Cael dan buku-buku di perpustakaan. Kuharap setiap hari berjalan seperti hari ini, batinnya.
Tak lama kemudian sinar matahari muncul, tipis dan jauh di horizon, disusul dengan bunyi keresak dua orang awak zeppelin meninggalkan kantung tidurnya. Ya, mereka juga bermalam di sana, namun Hellioz tidak menyadarinya hingga barusan. Di sisi lain, kedua awak kapal itu sangat memperhatikan lingkaran mata Hellioz yg terlihat jelas akibat terjaga melamun semalaman. Juga berdirinya yang oleng ketika sauh pertama diangkat dari tanah. Mereka menggeleng. Aku mendengar bahwa mereka kekurangan pekerja, tapi tak kusangka mereka juga mengirim bocah sekurus dan selemah ini.
Hellioz menyapa mereka dengan lambaian tangan, namun mereka mengacuhkannya.
Bunyi kriet panjang sempat terdengar ketika kapal menyeimbangkan terbangnya. Kemudian, selain bunyi gemuruh angin, tidak ada suara lain, mereka berangkat dalam kesunyian. Hellioz mengeratkan lapisan terluar dari bajunya untuk menahan angin pagi yang dingin. Duduk bersandar di sudut panjang Zeppelin itu, dan ia pun tertidur.
Bermimpi mengenai Bahel, Forrossa dan Fosetta, Hellioz meneteskan air mata dalam tidurnya. Namun ketika bangun ia tidak akan mengingat satu hal pun dari mimpinya.
... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
Beribu kilometer dari Vienna, terdapat sebuah kota yang berdiri di atas danau yang besar.
Sesosok anak perempuan memegangi lututnya di kegelapan. Bertelinga dan berekor kucing, penampilannya tidaklah sama dengan anak perempuan biasa. Ia melirik sebentar ke arah garis-garis cahaya dari celah bilah kayu yang kasar. Mengintip sepatu pekerja yang berlalu lalang, kalau-kalau ada langkah kaki yang dikenalinya.Rinneth – nama anak kecil itu - belum genap 9 tahun usianya. Peti tempatnya bersembunyi cukup kering dan terlindung, meski ia harus bersesak-sesak ria dengan beberapa keranjang berbau apel. Ia membuka salah satu tutup keranjang. Yah, pantas saja, isinya memang apel, batinnya. Setidaknya ia takkan kekurangan makanan di sini.
“Elliot… Elliot…” panggilnya, namun ia tidak berani mengeluarkan suara lebih besar dari bisikan.
Rinneth menimbang-nimbang untuk meninggalkan tempat itu dan mencari Elliot, namun kondisi badannya sudah kepayahan akibat berlari dan berenang menghindari pengejarnya. Keluar dari persembunyian dan membiarkan tubuh basahnya terekspos udara malam adalah pilihan yang buruk. Lagipula, ia percaya Elliot pasti selamat dan menemukannya, toh mereka kembar. Namun, ia sama sekali tidak menduga bahwa kendaraan yang ditumpanginya sedang bergerak perlahan meninggalkan Minetta dan menuju ke Vienna. Dan bahwa peti berisi apel itu dipersiapkan untuk stock makanan pekerja Quon di Mistral.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arletha Chronicles [Discontinued]
RomancePilot Story dari "Arkanum", menggunakan sudut pandang orang ke-3. Discontinued dan lanjut ke "Arkanum"