Edit: Catatan akhir ditambahkan di akhir cerita ini.
_____________________________________________________________________________________
Hellioz terbangun ketika mereka melewati layer demi layer es di awan. Kupingnya menjadi setengah tuli karena tekanan udara di ketinggian ini, namun suara es yang bertumbukan lalu tergelincir di lapisan terluar zeppelin masih terdengar sangat keras.
CRAACKK!! CRAACKK!!! CRAACKK!!!
Mendengar suaranya saja sudah membuatmu merasakan dinginnya. Hellioz memegangi jaket dan penutup kepalanya erat-erat. Ia memalingkan wajah, menemukan kedua temannya sedang melakukan hal yang sama.Caelia menggerakan bibirnya, membentuk kata-kata, "Kapan kita sampai?"
Hellioz memperkirakan tinggi lapisan es dan ketinggian dataran Mistral, membuat perhitungan kasar di kepalanya, sebelum mengisyaratkan 3 jari sebagai jawaban. 30 menit lagi. Caelia membentuk huruf "O" dengan mulutnya, lalu kembali mencari posisi duduk yang nyaman. Eibie sedikit kagum melihat cara mereka berkomunikasi meski ia tidak terlalu menangkap baik pertanyaan maupun jawabannya.
... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
Mereka mencapai Mistral tepat pada tengah hari, merasakan suhu rendah yang sedikit lebih manusiawi dibanding bila mereka tiba di waktu yang berbeda. Kontras dengan rasa dinginnya, dataran itu sangat tandus dan kering, menggelitik tenggorokan. Kadar udara sangat tipis di sini, sehingga ritme nafas harus terus dijaga untuk mencegah pingsan kehabisan oksigen. Untungnya sebagai akademisi magis, ketiganya telah memperoleh pelatihan nafas; Hal yang pokok dikuasai agar dapat melafalkan mantera secara jelas dan presisi dalam kondisi apapun.
Eibie-lah yang pertama kali bertanya, "lalu kita sekarang harus ke mana?" diperhatikannya kedua awak zeppelin sudah meninggalkan lokasi. Mereka ditinggalkan begitu saja di sana tanpa petunjuk apapun. Hellioz dan Caelia mengangkat bahunya hampir bersamaan.
Seorang pemuda jangkung menghampiri mereka sambil melambai. Tubuh tegapnya berbalut pakaian kalangan non-penyihir dengan sejumlah peralatan terselempang di sisi pinggangnya. Balok-balok pilar besar yang tumbang menghiasi latar kejauhan dari arah datangnya pemuda itu. Oh itukah reruntuhannya?
"Cleo," katanya seraya mengajukan tangannya yang besar. Ketiga akademisi bergantian menyambut tangan itu sambil menyebutkan nama mereka masing-masing. Cleo minta maaf atas keterlambatannya dan berkelakar bahwa dia selalu kesulitan bangun pagi. Eibie tersenyum penuh arti.
"Mari berteduh dari angin," ajak Cleo, agar mereka berempat menuju ke sebuah kemah tak jauh dari reruntuhan. Juga agar pembicaraan kita tidak didengar oleh orang lain, isyaratnya.
POP!,
"Kupingku kembali normal," seru Hellioz ketika tiba di dalam kemah. "Kupingku juga," kata Eibie dengan lebih kalem. Sementara Caelia memperhatikan sebuah denah yang sepertinya dibuat sendiri oleh Cleo. Sesekali dia bertanya mengenai lambang tertentu yang tertera di peta. Cleo menjelaskan sambil menggaruk sisi dagunya, jelas sekali bahwa Cleo tidak bercukur selama tiga hari atau lebih."Jadi apa profesimu sebenarnya, Cleo?" tanya Cael menyelidik.
"Aku perancang dan mekanik. Aku membuat pengungkit untuk memindahkan balok-balok besar yang tidak bisa dengan tenaga manusia. Juga membuka pintu tanpa merusaknya,"
HA! Peralatan maling.... Lalu apa gunanya sihir kalau kita masih harus menggunakan kunci?
"Ada mekanisme anti sihir di dalam ruangan-ruangan ini," Cleo berujar sambil menunjuk ke peta di tangan Cael. Ketiga anak itu langsung terduduk lemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arletha Chronicles [Discontinued]
RomancePilot Story dari "Arkanum", menggunakan sudut pandang orang ke-3. Discontinued dan lanjut ke "Arkanum"