Part 13 : Penilaian tentang Nindi dari dua sudut pandang

1.1K 272 36
                                    

Part 13: Penilaian tentang Nindi dari dua sudut pandang

Saat Kaki keduanya menjejak ubin kelas, baru sampai daun pintu, Radit segera disambar oleh seorang gadis, bukan, sebut saja perempuan, karena dia bukan gadis lagi. Perempuan itu Abel, menyerangnya dengan pelukan yang spontan membuat dirinya terhenyak sekaligus menegang. Abel, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Radit, bahkan hembusan napasnya amat terasa menyapu kulit,membuatnya menggeliat karena ini sangat mengganggu. Menurutnya, ini terlalu agresif untuk ukuran remaja SMA. Di mana ia diserang dengan dengan pelukan teramat erat di depan orang-orang, tidak banyak, namun ia berhasil menjadi pusat perhatian segelintir orang di kelas ini.

Radit melempar tatapan tersiksa pada Nindi, kemudian dengan kode mata ia meminta izin untuk melepas tautan tangan mereka. Nindi tampaknya tak keberatan, maka setelah tangannya bebas, ia perlahan menjauhkan Abel darinya, hingga berjarak setengah meter.

"Kenapa?" Radit bertanya dengan nada bicara tenang, walau jantungnya berpacu amat cepat karena perbuatan Abel.

"Kenapa kemarin nggak masuk?" Wajah sendu Abel menyiratkan bahwa ia tengah mengkhawatirkan dirinya. Sebetulnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, ia baik-baik saja. Hanya sedikit butuh tenang sehari.

"Gue sakit." Tentu itu dusta, namun soal hati memang sedang ringkih.

"Sakit apa?"

"Demam, flu, bisul, cacar, panu."

Abel memanyunkan bibirnya, kemudian menangkup pipi Radit. Meneliti setiap inci wajahnya. Sementara Radit terkesiap bukan main, sekaligus salah tingkah ditatap sedekat ini oleh seorang erempuan. Kepalanya berusaha menjauh, namun Abel tak membiarkan hal itu terjadi.

"Kalau cacar pasti ada bekasnya, mana? Kulit lo juga adem-adem aja."

"G-gue udah sembuh." Untuk bertapas saja, Radit tahan. Mungkin ia bisa mati jika Abel tak kunjung menjauh darinya. 

"Sakit sehari doang? Nggak masuk akal! Bilang aja lo bolos!"

"Iya, gue ngaku, gue emang bolos!" setelah mengatakan kalimatnya, Radir buru-buru menjauhkan tangan Abel dari wajahnya, kemudian ia mundur beberapa centi.

Napasnya menghembus kasar, beberapa kali ia bersusah payah menghirup udara, setelah beberapa detik menahan napas.

"Lo nggak kangen sama gue?" Sial! Pertanyaan menjebak. Tidak mungkin ia mengatakannya dengan jujur bahwa sebetulnya bukan dia yang ia rindukan, tak mungkin pula ia berbohong, sementara ada Nindi di sampingnya.

"Em, gimana ya? Kangen sih, sedikit."

Wajah Abel murung, matanya tidak berminat menatapnya.

"Kok, sedikit?"

"Soalnya baru nggak ketemu sehari doang. Kalau berhari-hari, kangennya bisa banyak. Emang mau nahan kangen banyak-banyak?" Waduh, mengapa mulutnya bisa sebuaya ini? Senakjubkan untuk ukuran cowok baik-baik anti PHP seperti dirinya.

Tak apa, karena ucapannya tadi membuat Abel tersenyum, perdana setelah sehari tak bersua. Namun, pudar beberapa detik kemudian. Entah, apa yang mempengaruhi mood-nya hari ini.

"Dit, gue nggak dibolehin."

Radit langsung mengerti ke mana arah pembicaraan Abel, soal pekerjaannya. Ekspresi Radit pun menyerius, siap mendengarkan kata demi kata yang akan dituturkan Abel.

Mata bulatnya tergenang lautan air mata yang siap meluap, sekali berkedip, setetes cairan bening itu meluruh dari ekor matanya. Dia berusaha menikmati isakannya sendiri, menyembunyikan kehancurannya. Sayang, bentengnya tak cukup menghalaunya, hingga dia dengan pasrah menyuarakan isakannya, keadaannya, kerapuhannya. 

GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang