Part 32: Dibalik rahasia Abel
Wanita malam itu terduduk memeluk lutut di sudut ruangan yang hanya terisi gelap, benda-benda berdebu nan berceceran di lantai itu sayup-sayup masih terlihat karena pendar cahaya dari luar ruangan. Netra sembab dan kabur akibat air mata mustahil dengan jelas menikmati kilau bulan malam ini, kecuali ada seseorang yang mencegahnya luruh dari mata sayu itu.
Ia hanya mengenakan pakaian tak berlengan yang menampilkan tanda merah di bahunya. Wajahnya ia sembunyikan di antara dua lututnya untuk meredam tangis pilu agar tak terdengar siapa pun. Tubuhnya bergetar, tanda sedihnya bukan hanya main-main. Angannya menjelajah masa lalu yang sedikit melekat di otaknya, perihal seorang wanita yang meninggalkannya dengan tangis pilu, tanpa pelukan, bahkan tanpa pamit. Setidaknya ia punya kenangan yang menjadi alasan mengapa sampai sekarang ia masih mengingat sosok wanita yang dulunya ia panggil "bunda" itu.
Suara pintu ruangan terhempas kasar, secara otomatis tubuhnya terhenyak, dan ia sedikit teralihkan dari perasaan sedih. Mendongak, tampak siluet pria jangkung dan gagah di depan pintu kamar yang familiar. Karena sosok itu, hormon adrenalinnya kembali terpacu cepat, perasaan takut perlahan menggerogotinya tanpa ampun, hingga tubuhnya kian bergetar.
"A-ayah," lirihnya, parau.
"Bella! Kamu pulang?!" Bentakan pria itu membuatnya menunduk seraya menggigit bibir bawahnya.
Derap langkahnya terdengar mendekat, berbarengan dengan itu jantungnya berpacu sangat cepat dan napasnya yang tak normal.
Aroma khas pria itu menerobos indera penciumannya. Aroma rokok, dan alkohol yang pekat, perempuan itu memberanikan diri mendongak, dan tampak pria itu berdiri menjulang di atasnya.
"A-aku libur ya? Capek," katanya, berbicara berbisik nan gamang.
Kemarahan pria itu terpahat jelas di garis wajahnya yang sedikit keriput, fokusnya tertuju pada tangan kekar, tangan yang biasa digunakan untuk menyiksanya.
"Lebih capek siapa, Ayah yang banting tulang demi kesembuhan kamu, atau kamu yang sekarang udah nikmatin enaknya?!"
"Ayah, mending aku mati aja waktu itu! Ayah nggak usah repot-repot sembuhin aku, biarin aku lumpuh! Kalau tahu aku bakal begini mending aku kelindes truk sekalian!" Suara Bella menembus senyap lebih nyaring dari ayahnya. Dirinya yang temperamental mendominasi tempat sunyi ini.
Sementara pria itu mengeraskan rahangnya serta tangannya mengepal. Tatapan tajamnya tetap tertuju pada tangan yang sewaktu-waktu bisa menyerangnya itu, dan benar saja, tak sempat ia menghindar, tangan itu telah melayang keras mengenai pipinya.
"Anak nggak tahu diri!" maki pria itu.
Ia membeku sesaat, panas mulai menjalari pipinya. Tatapannya semakin tajam menatap pria yang kini duduk berjongkok di depannya, mata itu seolah menantang agar sang pria melakukannya lebih parah, hingga ia mati sekalipun.
"Aku mau ketemu Bunda," ucapnya, dingin dan datar.
"Cari aja kalau ketemu, dia udah mati!"
"Aku mau ketemu Bunda sekali pun dia udah mati!" pekiknya sembari berlinang air mata.
"Apa? Emang berani?" Senyum miring tercetak jelas di sudut bibir pria itu.
Dirinya yang terlampau marah, tak bisa menahan emosinya, ia bangkit dan melangkah menuju sebuah nakas yang di atasnya terdapat sebuah gunting berkarat.
Tanpa berpikir panjang, dia mengarahkan ujung gunting itu ke perutnya, siap menembus kulit perutnya. Namun apa yang akan ia lakukan urung kala gunting itu dirampas paksa oleh pria yang mengaku ayahnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)
Teen Fiction"Mantanku memang dekat, lima langkah dari rumah." Jangan nyanyi, please! Tahu tidak, rasanya bertetangga dengan mantan? Kalau kata Nindi sih, "gamonnya nggak ngotak." Asli tidak enak! Nindi sampai berkeinginan pindah ke Pluto, tapi ingat cara mengu...