Part 22: I will always be the one who pull you up, when everybody push you down

968 238 61
                                    

Part 22: I will always be the one who pull you up, when everybody push you down.

-Kaleb J-

Pasti Nindi kesepian.

Setidaknya tiga kata itu yang memenuhi isi kepala Radit manakala melihat Nindi terduduk lelah sendirian di tepi lapangan. Kini situasi berbanding terbalik seperti dahulu kala, yang semula dekat, kini bak terpisahkan samudra luas, yang awalnya saling membalas perhatian, kini saling tatap saja enggan. Memang tidak bermusuhan, namun naluri Radit yang mengatakan bahwa ia benar-benar harus menciptakan jarak, pun jarak tak kasat mata berupa hati yang sepenuhnya ia berikan pada gadis itu. Nindi yang memintanya, walau tak mengatakannya langsung, dari bagaimana Nindi bersikap waktu itu, sudah dengan gamblang menjelaskan bahwa Radit harus menghapus cintanya pada Nindi.

Nindi mengetahui bahwa Radit mencintainya, namun maknanya tak sesederhana itu. Waktu, telinga, sandaran, pelukan, perlindungan, dan hati telah jadi milik Nindi sepenuhnya. Berulang kali jatuh cinta pada sosok yang sama, hingga Radit tak punya alasan untuk memberi hatinya pada orang lain. Egonya mungkin mau, tetapi hatinya enggan. Radit pun enggan memaksa hati bekerja keras untuk memulai cinta yang baru, seperti yang pernah ia rencanakan sebelumnya, bahwa ... ia ingin mencintai gadis lain yang juga dengan senang hati memberikan ketulusan sama besarnya.

Biarkan saja hati dan logika berseteru, pada akhirnya hatilah yang jadi pemenangnya. Biarlah Radit menikmati masa singelnya dengan sakit hati, sebelum Tuhan berikan pendamping sehidup-semati.

Harusnya Radit berada disampingnya setelah melepas penat usai pelajaran Penjaskes. Memberinya air minum, mengusap keringatnya, memujinya bahwa cara praktiknya tadi bagus, dan Nindi melakukan hal yang sama padanya. Gadis itu juga membalasnya, namun justru Radit merasa Nindi melakukan hal itu sebab merasa bersalah, perihal perasaannya yang tak kunjung terbalaskan sampai sekarang.

Memang pada kenyataannya, Nindi membalas semua perlakuan manis Radit dengan setimpal, nyaris semuanya, kecuali cinta.

Barangkali Nindi benar, ia terlanjur memberi harapan pada Abel, ia telah menyakiti perempuan itu. Mau sejahat apa pun dia, dia tetap perempuan yang bakal jadi ibu di masa depan. Katanya perempuan harus diistimewakan karena suatu saat bakal memperjuangkan hidup dan matinya untuk malaikat kecilnya, setidaknya itu yang diajarkan ayahnya.

"Radit, Lo nggak haus?"

Radit terbeliak saat sapuan kulit menyentuh lengannya. Pelakunya adalah Abel yang sedari tadi menemani lelahnya. Otomatis mata yang membingkai itu teralihkan dari sosok yang ia perhatikan sedari tadi.

"Kenapa?"

"Nggak haus?"

"Nggak."

Mata bulat Abel menyorot instens matanya. Entah apa yang dia perhatikan.

"Nggak ada niatan mau pakai softlens aja Dit?"

Oh, ternyata perihal kaca matanya.

"Nggak," jawabnya, sekenanya.

"Lo ganteng banget."

Nindi kerap memujinya serupa seperti Abel, namun kesannya berbeda. Jantung Radit selalu bereaksi berlebihan ketika Nindi yang memujinya, ketika dengan Abel, hatinya saja tak tergerak.

"Iya, makasih."

"Aish! Pacaran mulu, jadi nggak inget gue." Pemilik suara sinis itu ikut bergabung, Misel. Gadis berambut ikal itu duduk di samping Abel, meluruskan kakinya.

"Nggak ada yang pacaran," balas Abel.

"Eh, Radit udah putus sama Nindi?" Misel beralih bertanya padanya, pertanyaan basi.

GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang