Day 2

9 2 5
                                    

“Dok, pasien korban bullying yang kita rawat membutuhkan donor kornea agar dapat kembali melihat,” ucap seorang perawat yang sedang melapor kepada dokter yang mengurus pasien.

“Sudah mendapatkan persetujuan dari keluarga pasien?” tanya dokter. Perawat itu mengangguk. “Baiklah, kita akan menjadwalkan operasi mata untuk si pasien sesegera mungkin.”

“Tapi dok ...”

Dokter menatap perawat dengan bingung. “Ada kendala?”

“Kita tidak memiliki pendonor untuk pasien,” sahut perawat.

Belum sempat dokter itu memberikan tanggapan tentang pendonor, ponsel milik dokter berbunyi menandakan ada seseorang yang menghubunginya. Dokter pun mengangkat panggilan tersebut.

“Halo?”

“Aku bisa membantumu mencari pendonor.”

“Apa kau sudah melapor ke markas?”

“Tenang saja, aku tidak akan membuat kalian semua tertangkap. Jadwalkan saja operasinya, biar aku yang menangani pendonor.”

Bara api menyala cukup besar, menerangi sebuah ruangan besar di gedung tua yang tak berpenghuni. Dan juga, cukup membuat hangat seseorang yang sedang duduk tak jauh dari tungku api tersebut. Ia sedang menunggu seseorang lainnya
untuk datang ke tempat ini pada waktu yang sudah ia janjikan.

Hello? Anybody here?” Sebuah suara menggema, orang yang ditunggu sudah tiba.

Welcome, Ansel.”

Ansel mendekati asal suara. Orang di hadapannya itu mengenakan hoodie hitam bertudung, dan juga mengenakan topeng di wajahnya. “How do you know me?”

Orang itu berdiri dan berjalan menuju tungku api. Memainkan sebuah kayu yang sudah terbakar setengahnya. “Bukankah itu tak penting? Kau setuju mendatangi tempat ini bukan untuk mengetahui bagaimana aku tahu tentangmu, kan?”

Ansel gugup, ia meremas tangannya. “Be-benar, lupakan saja. Dan sekarang, katakan padaku di mana Sana? Kau menculiknya? Kenapa kau menculiknya, brengsek?!”

Orang itu tertawa. Terdengar menyeramkan karena suara tawa itu menggema di dalam ruangan. “Kau sangat tidak sabaran, ternyata.”

“Bagaimana aku bisa sabar sedang kau menyandera kekasihku?!” teriak Ansel.

Lagi-lagi, orang itu tertawa. Tangan Ansel terkepal kuat, menahan diri untuk memberikan bogeman mentah pada orang tersebut sebelum ia mendapat informasi tentang Sana.

“Apa aku mengatakan kalau aku menyandera Sana? Aku hanya bilang kalau Sana sangat cantik saat ia tidur, bodoh.” Orang itu lalu membawa kayu dengan api yang menyala di ujungnya. “Selain tidak sabaran, kau sangatlah bodoh karena menelan mentah-mentah informasi yang diterima.”

Shit,” umpat Ansel.

“Tenang saja, Sana akan menemuimu setelah ini. Akan tetapi, sebelum itu terjadi...”

Sebelum Ansel mendengar kelanjutan perkataan orang itu, punggungnya sudah lebih dahulu dihantam oleh besi panjang. Membuat pemuda itu kesakitan dan tak lama dunianya
menggelap saat itu juga.

“Bawa dia ke markas, datanya akan kuurus.”


“Mission is clear. Got two clear eyes to see.”

To Be Continued.

The Red Winter - Sana Minatozaki (Sana TWICE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang