4. LELAH, RESAH, GUNDAH

4 2 0
                                    

Tidak selamanya yang kita inginkan akan berakhir menjadi solusi terbaik

~Lovia Sahara~

___________

4. Lelah, Resah, Gundah

"Assalamualaikum, Ma," ucap Lovia dibarengi langkah kecil-kecil menuju ruang keluarga.

Lovia duduk di samping mamanya yang tengah memangku setoples keripik apel oleh-oleh dari Ayahnya sekembali dari Malang beberapa hari yang lalu. Lovia menyalami tangan mamanya dengan khidmat sebelum menengok pada layar televisi yang menayangkan film laga tahun sembilanpuluhan favorit mamanya.

"Darimana. Dek?" tanya Ibu Fifina seraya membiarkan beberapa detik film yang tengah diputarnya terlewat begitu saja. Tak lupa ia menawari Lovia keripik apelnya yang dibalas gelengan oleh Lovia.

"Heum, dari toko buku, Ma," sahut Lovia dengan raut wajah yang kikuk dan gugup. Sarat akan kebohongan. Untung Ibu Fifina sudah fokus dengan tontonannya lagi. Lovia tidak perlu repot-repot memutar otak untuk menyembunyikan fakta bahwa ia baru saja bertemu dengan Aldan dan Diandra.

Lo yang buat, lo juga yang harus beresin

Lo harus beresin!

Lovia memejam erat kala ucapan sinis yang terlontar dari bibir Aldan berkelebat dalam pikirannya. Tangan Lovia memilin pertanda ia sedang dalam keadaaan gugup. Sementara Ibu Fifina masih sibuk menyaksikan adegan peperangan yang tayang dari layar televisi, Lovia beberapa kali membuka mulut dan menutupnya lagi. Suaranya selalu tercekat di tenggorokan kala ia ingin mengatakan urgensasi yang terjadi pada hubungan persahabatannya dengan Aldan dan Diandra. Akankah mamanya faham bahwa bukan pertunangan dengan Aldan yang Lovia inginkan sebagai akhir kisahnya? Maukah mamanya mengerti bahwa Lovia lebih ingin persahabatannya yang langgeng ketimbang cintanya yang terwujud namun dengan paksaan?

"Kayaknya dari tadi kamu mau ngomong sesuatu ya, sayang?"

Sialnya insting seorang ibu begitu kuat kepada anak-anaknya. Bukan karena Lovia bukan anak kandung, lalu Ibu Fifina tidak tau apa-apa tentang Lovia. Perlu digarisbawahi dengan bolpoin merah bahwa mereka sudah terbiasa dengan ikatan ibu dan anak selama lebih dari sepuluh tahun. Hal itu yang kemudian membuat insting Ibu Fifina begitu kuat terhadap Lovia dan Arez.

"A ... anu, ma ... " Lovia mendesis kala merasa sangat lemah hanya untuk mengungkapkan kata-kata dengan benar. Lovia takut salah berucap dan membuat mamanya tersinggung. Selalu begitu dengan siapapun. Sebuah alasan besar yang cukup logis kenapa selama ini Lovia selalu enggan berpendapat dan memilih diam.

Ibu Fifina menghela nafas dalam-dalam dan mengusahakan agar tidak bersuara atau Lovia akan semakin gugup. Ibu sambung Lovia itu kemudian meluruskan pandangannya terhadap Lovia agar fokusnya tidak pecah. Ada sesuatu penting yang perlu diketahuinya, begitu yang dia tangkap dari kerisauan yang terpancar dari wajah gugup Lovia.

"Tenang, Lov. Mama akan baik-baik saja setelah kamu mnegatakan apapun itu yang pengen kamu sampaikan," Begitu cara Ibu Fifina menuangkan kepercayaan pada Lovia bahwa apa yang gadis itu takutkan tak selamanya selalu akan terjadi. Antisipasi itu perlu, tapi act lebih penting.

"Kalau aku sama Aldan nggak tunangan, nggak masalah ya kan, Ma?"

Kening Ibu Fifina berkerut. Wajahnya penuh sorot kebingungan karena pernyataan Lovia yang sedikit tidak masuk akal sekaligus sangat masuk akal. Tidak masuk akal karena harusnya Lovia senang akhirnya cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi masuk akal karena bisa saja terjadi sesuatu pada Lovia mengingat ada unsur paksaan dalam rencana pertunangan itu.

NEPAL VAN JAVA | Here We MeetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang