1. Kebakaran

308 19 1
                                    

"Mama ... Papa ...." Teriakan seorang gadis berusia 6 tahun membuat papa dan mamanya semakin kalang kabut. Api di ruangan itu sudah menjalar ke segala sudut. Asap tebal mengganggu pernapasan dan penglihatan mereka.

"Aura, jangan bergerak sayang," teriak Maya mengingatkan putrinya. Haura kecil berjongkok di pinggiran tembok sambil memeluk erat kedua lututnya.

"Maya, kamu tunggu di sini. Aku akan selamatkan putri kita." Dana melepas pagutan tangan Maya dari lengannya. Ada sosok kecil yang harus dia selamatkan di sana.

"Ma, papa dan Aura akan baik-baik saja, kan? Kita semua bisa selamat, kan Ma?" Bersama Maya, putri sulungnya terus saja menangis. Arana.

"Iya sayang, kita semua pasti bisa keluar." Maya menyeka air mata di kedua pipi Arana.

Dana dengan kegigihannya berhasil menembus lorong api yang mengelilingi Haura. "Aura," panggil Dana sambil mengibas-ngibaskan asap tebal di depannya.

"Papa!" Haura kecil berhambur ke pelukan papanya.

"Ayo kita keluar, Nak. Sudah jangan takut, papa di sini." Betapa Dana bisa merasakan tubuh putri bungsunya itu mulai bergetar ketakutan.

"Aura takut, Pa. Aura takut."

Baru saja hendak melangkah, balok kayu besar berjatuhan di hadapan Dana, membuat Haura menjerit kaget.

"Astaghfirullah." Dana kelimpungan mencari jalan keluar. "Maya, Maya dengarkan aku!"

Hanya ini yang bisa Dana lakukan. Dia masih belum tau bagaimana kejadian ini akan berakhir, tapi yang jelas putrinya harus selamat dari pada dirinya sendiri.

"Aku akan melempar Aura ke kamu, tangkap dia dengan baik lalu kalian harus segera keluar."

"Kita semua harus selamat, Mas." Maya menggeleng mendengar keputusasaan suaminya. "Kita semua!" ulang Maya. Setelahnya wanita itu bersiap menangkap putrinya.

Brukkk ...

Tubuh kecil Haura terhempas mengenai tubuh Maya. Dana tersenyum, dia berhasil menyelamatkan putrinya sebelum asap tebal menyelimuti tempat dia berdiri.

"MAS DANAAA!" teriak Maya saat sadar suaminya sudah tidak terlihat lagi. Asap hitam menggulung di hadapannya. "Ara, cepat lewat sini. Bawa adik kamu keluar dari sini ya, Nak. Jaga dia dengan baik apapun yang terjadi." Maya mengusap kepala kedua putrinya dengan gusar.

"Mama, mama mau kemana? Di sana banyak api, Ma." Arana mencoba mencegah mamanya yang nekat, namun tidak digubris.

"Mama, jangan tinggalin Aura dan Kak Arana."

"PERGI ARANA!" bentak Maya. "Mama akan kembali menjemput papa. Bawa adik kamu pergi!"

"MAMAAAA ..." teriak dua bocah itu bersamaan. Mama mereka hilang di balik asap hitam yang berada di depan mereka.

Beberapa detik hingga Arana tersadar. "Adek," gadis kecil berusia 11 tahun itu menyeka air matanya. Dia harus kuat, memenuhi keinginan mamanya untuk melindungi Haura. "Apa pun yang terjadi tetap bergerak kedepan, jangan menoleh kebelakang lagi." Arana menggenggam tangan Haura dengan kuat kemudian berjalan merangkak melewati kobaran api dan asap tebal.

Brukk ...

Sebuah balok jatuh dari atap dan menindih tubuh Arana. Haura yang merangkak di depan Arana lantas menoleh ke arah kakaknya.

"KAKAKKK!"

"Hei hei it's okay. Lo aman, tenang ya." Seorang lelaki menangkup kedua pipi Haura. Nafasnya masih tersengal. Keringat dingin memenuhi pelipisnya. Ternyata dia hanya bermimpi. "Ini minum dulu."

Haura menenggak habis segelas air minum yang lelaki itu sodorkan. Pandangannya menyapu seisi ruangan berdominasi warna putih itu, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. "Lo ..." tunjuk Haura begitu dia mengingat sesuatu.

"Iya, gue yang nolong lo dan ngantar lo ke rumah sakit," sergah Daksa.

"Bukan," sangkal Haura dengan cepat. "Lo biang dari semua ini."

Daksa menatap bingung, di mana letak kesalahannya?

"Lo yang main bakar-bakaran di halaman belakang kampus, kan?"

"Oh, jadi itu. Lo pingsan gara-gara liat api?"

Haura menghembuskan napasnya pelan, kemudian mengangguk dengan malas. "Gue phobia api. Lain kali jangan main api di dekat kampus lagi," peringat Haura yang dibalas anggukan oleh Daksa.

Sadar suasana hening, Daksa akhirnya membuka suara. "Gue Daksa." Lelaki itu menjulurkan tangannya.

"Haura." Haura membalas juluran tangan Daksa dengan kaku. "Gue mau pulang." Tanpa basa-basi gadis itu menyibakkan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya kemudian menarik tas hitam miliknya yang berada di atas nakas.

"Tunggu," Daksa menahan lengan gadis itu. "Gue antar."

"Gak perl--"

"Gue maksa!" telak Daksa dan langsung menyambar tangan kanan Haura—sedikit manarik gadis itu agar mengikuti langkahnya.



Semoga kalian suka. Itu saja.

DAKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang