2. Namanya adalah Daksa

163 14 0
                                    

"Bagi kita ini 'kebetulan'. Bagi Tuhan, ini berjalan sempurna sesuai rencana-Nya."

-Daksa Daegal Pradipa


"Makasih. Gue masuk dulu," ujar Haura begitu melepas seat belt-nya. Dia terburu-buru keluar dari mobil hingga tidak sadar lelaki yang mengantarnya juga ikut turun sampai teras rumah. "Astaghfirullah. Lo bikin kaget aja. Ngapain ikut gue?" kaget Haura begitu melihat Daksa yang berdiri di sampingnya. Gadis itu baru saja merogoh tas untuk mencari kunci rumahnya di dalam sana.

"Gue?" tanya Daksa menunjuk dirinya sendiri. "Mau bertamu," lanjutnya kemudian.

"Gue gak nerima tamu!"

Daksa menaikkan sebelah alisnya mendengar jawaban gadis itu.

"Ma-maksud gue, di rumah gak ada orang. Apa kata tetangga kalau kita cuma berdua di dalam?" Haura mencari alasan paling logis untuk menolak keinginan Daksa. Lagi pula dia masih tidak banyak mengenal lelaki itu kecuali namanya.

"Lo tinggal sendiri?"

Mampus. Jangan pernah bilang hal itu ke orang asing. Lo gak pernah tau apa niat mereka. Bodoh. Lo bodoh Haura!

Haura mengutuk dirinya sendiri. "Nggak, siapa bilang? Nanti malam papa pasti pulang dari kantor. Mama juga bentar lagi selesai arisan." Mama, papa? Andai mereka bisa kembali. Haura tersenyum miris mendengar perkataannya sendiri.

"Bagus, sekalian gue mau kenalan sama mereka," kekeuh Daksa. Senyuman smirk terbit begitu saja di wajah tampannya. Mungkin dia memang harus tau orang tua seperti apa yang sudah berhasil memproduksi gadis secantik ini.

"Nanti gue kabarin kalau mereka udah datang. Sekarang mending lo pulang dulu, gak enak sama tetangga." Sekuat tenaga Haura mendorong tubuh Daksa menjauh dari pintu.

Drrrt ... Drrrrrrrrtt ...

Suara deringan ponsel Daksa membuat lelaki itu menahan langkahnya.

"Ada apa?" tanya Daksa begitu mendaratkan benda pipih itu di telinga kanannya. Haura hanya memperhatikan dari balik punggung Daksa tanpa tau apa yang sedang lelaki itu bicarakan dengan orang di seberang telepon sana. "Bagus, sisain buat gue. Gue juga suka." Seringai licik membuat wajah Daksa tampak ... menyeramkan.

Haura merentangkan tangan begitu Daksa membalikkan tubuhnya—tanda larangan.

"Gue bertamu lain kali aja. Gue pasti balik lagi," ujar Daksa sok misterius lalu bergegas pergi dari sana. Haura mengembuskan nafas lega. Setidaknya lelaki itu akan pergi, dia tidak tenang jika harus menerima orang asing di rumahnya. Terlebih lagi dia hanya tinggal seorang diri di sana.

---

Hari ini semoga tidak sepeti kemarin. Kemarin Haura benar-benar sial karena melihat api dan kemudian pingsan karena hal itu. Mungkin dia masih harus menjalani terapi untuk mengatasi phobianya ini lebih lama lagi.

"Ra!" Laurel tiba-tiba menepuk bahu Haura dari belakang, membuat gadis itu terlonjat kaget.

"Lo apaan sih? Mau bikin gue jantungan?" gerutu Haura yang terlanjur dibuat kesal oleh sahabatnya itu. Sedangkan pelakunya hanya cengengesan. "Masih pagi loh ini."

"Sensi amat sih, Ra. Lo sehat kan?" Laurel bergelayut di lengan sahabatnya itu. Kemarin dia tidak sempat menemui sahabatnya karena sedang ada acara di komunitas.

"Gue gak kenapa-kenapa," ketus Haura.

"Syukurlah. Kemarin gue denger lo pingsan lagi, gue cari satu kampus gak ada, di rumah lo juga sepi. Lo abis dari mana?" Laurel bertanya seolah-olah sedang menyelidiki Haura.

"Kemarin gue di rumah sakit."

"Hah? Sakit lo parah? Siapa yang ngantar lo ke sana?"

"Biasa aja. Phobia kayak biasa."

Laurel mengangguk tanda paham. Dia tau alasan satu-satunya Haura bisa pingsan adalah karena phobianya.

"Lo belum jawab pertanyaan gue."

"Yang mana lagi? Udah gue jawab semua perasaan." Setiap kali mengobrol dengan Laurel rasanya Haura selalu dibuat tertekan.

"Lo diantar siapa ke rumah sakit?"

"Ohh ...." Haura menggaruk dahinya. "Diantar Daksa," jawabnya kemudian.

"Who?" Nama itu terdengar asing di telinga Laurel. Dari daftar cowok yang pernah atau sedang mendekati Haura, tidak ada satu pun yang bernama Daksa. "Gebetan baru?"

"Enak aja. Lo kira lo? Suka numpuk cowok," semprot Haura tidak terima.

"Eheee bener. Pesona kecantikan gue emang tidak terelakkan," ujar Laurel bangga mengingat jumlah gebetannya yang tidak sedikit. Haura sendiri heran bagaimana sahabatnya bisa begitu lihai mengurus semua buaya itu. Bahkan tidak ada satu pun yang dia pacari, hanya sekedar baper-baperan tanpa ikatan yang jelas. Tapi memang, Haura akui para buaya Laurel bukan kaleng-kaleng. Jika tidak tampan, pasti berduit. Begitulah Laurel, tidak mau dirugikan.

Baru saja mereka berdua hendak masuk ke kelas, namun urung ketika melihat beberapa mahasiswa berlarian ke arah belakang kampus.

"Ada apa?" tanya Laurel pada Haura yang juga tidak tau apa-apa.

"Apa pun itu, pasti sesuatu yang gak beres."

Tanpa berpikir lagi kedua gadis itu berlari menyusul teman-teman mereka yang lain.







Next chapter ...

DAKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang