...
Haura berdecih, dia tidak boleh terlihat takut jika tidak ingin dikira lemah. "Bunuh gue supaya semua orang tau kalo lo sebenarnya adalah pembunuh," tantang Haura. "Banyak saksi yang liat kita bertengkar tadi. Lo pasti akan jadi tersangka utama begitu gue mati ... Daksa." Haura tersenyum miring khas mafia. Apakah begitu caranya menggertak orang? Haura tidak berpengalaman melakukan ini sebelumnya.
Daksa menyeringai, dia mengangkat naik ujung pisaunya hingga dagu Haura membuat gadis itu mendongak dan menatap lurus matanya. "Good girl," bangga Daksa lalu memasukkan kembali pisau tadi ke saku celananya.
Haura mengembuskan nafas lega—mengira Daksa akan melepaskannya sekarang.
"Sayangnya lo gak akan selamat." Kali ini lelaki itu mengeluarkan sebuah korek api yang berhasil membuat Haura berjengit kaget.
"Da-daksa, jangan main-main," peringat Haura dengan perasaan gugup yang berusaha dia tutupi sebisa mungkin.
"Lo mau gue serius?" Daksa mengikis jarak dengan mendekatkan wajahnya pada wajah Haura. Kini dia bisa merasakan aroma grapefruit yang menguar dari tubuh gadis itu—anggur yang memabukkan Daksa tanpa harus ia minum. "Kalau gue gak bisa bunuh lo sekarang, gue akan buat lo takut sampai lo mati secara perlahan."
"Sekalipun gue mati nanti, gue gak sudi mati di tangan lo," pekik gadis itu.
Daksa menarik tubuhnya kemudian mengangkat korek tadi tepat di depan wajah Haura.
"Satu ... Dua ... Ti ...." Lelaki itu sengaja menahan kalimatnya menunggu reaksi Haura.
"... ga!"
Grebbbb ...
Gerakan cepat Haura membuat Daksa mematung. Gadis itu tiba-tiba menghempaskan tubuhnya pada dada Daksa, melingkarkan lengannya dengan cepat ke belakang punggung lelaki itu. Isakan tangis pecah dari mulut Haura. "Mama ... papa ... hiks."
Daksa mengerjap sesaat sebelum ia menyunggingkan senyum kemenangan di wajahnya. Dadanya mulai terasa basah dengan air mata Haura. Detik berikutnya lelaki itu menyimpan kembali korek api tadi lalu membalas pelukan gadisnya. Tidak, gadis itu belum menjadi milik Daksa. Masih tersisa perjalanan yang entah seberapa panjangnya lagi untuk dia lewati agar mendapatkan hati Haura.
"Gue gak marah karena lo nampar gue. Gue marah karena lo meluk laki-laki lain tadi. Jadi, gue harus bersihin aromanya dari tubuh lo." Daksa tampak tersenyum tulus sembari mengusap puncak kepala Haura.
"Lo jahat, hiks. Gu-gue gak boleh mati." Nafas Haura sesenggukan bercampur tangis. Pelukannya mengerat karena emosi dari masa lalu. "Papa, mama, mereka semua meninggal demi gue. Karena gue, Sa. Gue penyebabnya. Gue harus hidup biar pengorbanan mereka gak sia-sia, hiks." Entah sadar atau karena dikuasai panik Haura menceritakan sedikit perasaannya pada Daksa. Lelaki itu merasa sedikit iba dibuatnya. Apakah caranya salah? Ah, tidak. Dia hanya menakuti, sama sekali tidak berniat melukai gadis cantik ini.
"Lo akan tetap hidup. Lo harus tetap hidup, Aura." Panggilan itu membuat hati Haura semakin mencelos, isakan tangisnya semakin menjadi-jadi mengingat kedua orang tuanya yang telah tiada. Dahulu, panggilan itu begitu akrab di telinga Haura, sebelum api membabat habis kehidupan bahagianya hingga 'tak tersisa.
Sudah 10 menit sejak mereka berpelukan. Tangisan Haura berangsur reda, dia melepaskan pelukannya secara perlahan. Kepalanya tertunduk malu merutuki perbuatannya sendiri.
Gue ngapain sih? batin Haura.
"Udah puas meluk gue?" goda Daksa.
"Lo licik banget. Lo sengaja mainin emosi gue," lirih Haura dengan kepala masih menunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAKSA
Roman pour Adolescents(On Going) /MAFIA💀/ #2 in Daksa (19 Juli 2021) #2 in Kebakaran (19 Juli 2021) #2 in Jember (23 Juli 2021) Membunuh adalah hobi. Uang adalah tujuan. --- "Udah puas meluk gue?" goda Daksa. "Lo licik banget. Lo sengaja mainin emosi gue," lirih Haura d...