6. Lagi

99 11 0
                                    

"Aku gak akan pernah maafin kamu!"

"Tunggu!" teriak Daksa dalam alam bawah sadarnya yang terbawa hingga ke dunia nyata. Dia bermimpi buruk lagi. Nafasnya masih tersengal. Diraihnya ponsel di atas nakas, waktu menunjukkan pukul 3 pagi. "Aaargh." Daksa menekan pelipisnya dengan kasar. Mimpi ini pasti datang lagi karena kalimat Haura. Semalam Daksa langsung pulang setelah perasaannya kacau mendengar perkataan gadis itu. Dia tidak jadi bermanja-manja pada Haura untuk mengobati luka di tangannya. Kalimat yang Haura ucapkan bahkan masih terngiang di kepalanya, membuatnya merasa pening.

"Gue gak akan pernah maafin lo!"

Sial!

Daksa berjalan ke luar dari kamarnya, dengan cahaya remang dia menuju lemari es dan meraih sekaleng minuman bersoda di sana, menenggak setengah dari isinya.

Drrrrt ... drrrt ...

Di tengah kekacauannya ponsel Daksa bergetar, terpampang nama Caka di layar.

"Ada apa?"

"...."

"Tunggu gue, 10 menit lagi gue sampai. Pastiin semuanya aman." Percakapan singkat itu berakhir ketika Daksa menekan tombol merah di layar ponsel. Entah apa yang mereka rencanakan di pagi buta seperti ini.

Daksa dengan jaket kulit yang sudah melekat di tubuhnya memilih menggunakan motor gede untuk menyusul keberadaan Caka.

Lelaki itu dengan kecepatan tinggi melesat membelah udara dingin di pagi buta. Seperti yang dia janjikan, dalam hitungan waktu kurang dari 10 menit dia sudah tiba di sebuah rumah kost. Sekilas dia melirik motor Caka yang juga terparkir di halamannya, sahabatnya itu pasti sudah menunggu di dalam.

"Giliran begini lo gesit banget." Caka melirik jam tangannya, Daksa tiba lebih cepat dari yang dia perkirakan.

"Gak usah basa basi, Cak," protes Daksa yang tidak ingin bertele-tele.

"Ya udah buruan, gih!" Caka menunjuk seorang lelaki seusia mereka yang tergeletak tidak berdaya di lantai dengan bertelanjang dada.

Seriangaian licik terbit saat itu juga di wajah tampan Daksa. Aura bengis yang menguar membuatnya terlihat semakin sangar. Caka membantu mendudukkan tubuh tidak berdaya lelaki tadi, memudahkan Daksa melampiaskan amarah yang sudah menguasai dirinya.

"Beraninya lo ngancam gue!" Satu teriakan dari Daksa disusul dengan satu bogem mentah di pipi lelaki tadi. Tinjuan keras yang mengenai rahang lelaki itu membuat darah mengalir dari gusinya. Dengan sisa tenaganya dia merangkak ke arah kaki Daksa, mencoba meminta ampun, suaranya lirih diselingi isak tangis dan histeria.

"Ampun, gu-gue janji gak akan ikut campur lagi," gugupnya.

Tapi terlambat, Daksa tidak pernah memberi ampun pada seseorang yang terlanjur mengusik hidupnya. Hingga jantung lelaki tadi melemah setelah disiksa, Daksa meminta Caka untuk mengeluarkan sebotol bensin yang sudah disiapkan sebelumnya lalu menuangkannya pada tubuh korban mereka. Detik berikutnya, sudah terbaca bagaimana mereka akan mengakhiri permainan ini, api yang menyala menjawab segalanya.

____

"Rel, Liat Arsan gak?" tanya Haura begitu sampai di kelasnya.

"Masih pagi, Ra. Tumben nanyain Arsan. Ngaku lo ada sesuatu kan?" goda Laurel, alih-alih menjawab.

"Laurel, ih!" celetuk Haura lalu mengambil ponselnya.

"Eh eh kalian denger gak?" Amel—teman sekelas Haura yang baru saja memasuki kelas dengan hebohnya membuat penasaran seisi ruangan.

Haura dan Laurel memperhatikan dari tempat mereka duduk tanpa berminat untuk bergabung di tengah-tengah mahasiswa yang sudah bergerombol bersiap mendengar cerita Amel.

DAKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang