03. Satu Atap

38.8K 3.8K 22
                                    

Disini alurnya maju mundur, dibaca saksama ya jangan dilewat biar ngga bingung.

•••

Sudah dua bulan aku dan Mas Damar resmi menjadi suami istri. Sudah dua bulan pula aku menjadi pengangguran. Dulu, sebelum menikah aku berangan akan menjadi wanita karir sekaligus ibu rumah tangga yang tetap menjalankan kewajibannya. Namun, angan hanyalah angan. Mimpi itu harus aku hempas jauh ketika tahu mertuaku tidak mengizinkan menantunya ini untuk bekerja.

Aku sempat mengajak Mas Damar berbicara mengenai pertentangan ini, namun Mas Damar sepertinya berpihak pada Ibu. Mas Damar mengizinkan aku bekerja asalkan tetap dirumah. Bagaimana bisa? Memang aku bos seperti dirinya?

"Lebih baik kita turuti aja mau Ibu," begitu katanya.

Ya sudah, aku cuma mengangguk ragu. Mau meminta bantuan Abah dan Mama pun sepertinya percuma, pasti Abah akan mengikuti semua ucapan Mas Damar.

Dua bulan yang lalu. Sehari setelah menikah, Mas Damar membawaku ke sebuah perumahan di daerah Dago atas. Mas Damar membeli hunian disana, perumahan elit yang berkisar 3-9 miliar perhunian.

Biar aku beri sedikit gambaran lagi tentang perumahan ini. Perumahan disini terintegrasi dengan kawasan wisata terpadu, memiliki suasana lingkungan yang alami, sejuk, serta asri khas dataran tinggi. Siapapun yang datang kesini, pasti akan betah dan enggan beranjak pulang.

Sebelum kami melangkah masuk, ada seorang perempuan dari kejauhan yang memanggil nama Mas Damar. Akhirnya Mas Damar berbalik dan mencari keberadaan perempuan itu.

"Siapa Mas?" Tanyaku menyusul Mas Damar.

"Nanti juga tahu."

Tak berselang lama, ada Mbak Adel yang sedikit berlari ke arah kami. Diikuti Mas Haris dibelakangnya yang berjalan santai dengan celana pendeknya.

"Ya ampun, akhirnya ditempatin juga!" Ucap Mbak Adel sedikit terengah. "Kok ngga ngabarin kesini hari ini?" Tanya Mbak Adel.

"Mbak Adel juga tinggal disini?" Tanyaku bingung.

"Lah si Damar beloman cerita? Kan kita beli rumah disini barengan. Pokoknya kalau nanti semua udah nikah, harus tinggal disini. Kecuali si Jefri kan masih bocah."

Aku menggangguk, sedikit bingung juga. Circle pertemanan Mas Damar itu kenapa sih? Kebanyakan uang atau bagaimana?

"Mar, lo udah sewa helper?" Tanya Mas haris, ia memasukkan tangannya ke saku celana.

Mas Damar menggeleng seraya melipat tangannya di dada.

Mbak Adel memukul lengan Mas Damar sambil mencebik. "Ih tega lo Mar, kasian si Lovita nyapu rumah lo yang notabene lebih luas dari yang lainnya."

"Harus ngobrol dulu, istri gue nyaman ngga kalau pakai helper."

"Elah," Mas Haris mencebik.

Kami masih berdiri dipekarangan rumah sebelum akhirnya Mbak Adel mendorong kami berdua masuk ke dalam.

"Sana masuk, nanti aku ajak yang lain kesini," ujar Mbak Adel.

Setelah perbincangan singkat itu, aku dan Mas Damar masuk untuk mengemasi beberapa pakaian kami. Terlebih aku.

Saat tengah memasukkan baju kedalam lemari, Mas Damar menepuk bahuku pelan. Matanya mununjukkan agar aku duduk di kursi dekat ranjang yang menghadap jendela besar.

"Kenapa Mas? Laper ya?" Ya memang sih, sepulang dari rumah Ibu kami belum makan lagi.

Mas Damar menggeleng kecil, "Bukan itu."

Grow Old With You [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang