(3). The Truth

11 2 4
                                    

Di meja kini berjejer hindangan makan malam dengan kepul uap serta aroma yang membuat perut Orchi bersuara. Jika bukan karena sekarang ia sedang bertamu mungkin air liur Orchi sudah menetes sedaritadi begitu melihat makanan di hadapannya yang begitu menggugah selera. Meski demikian kepala Orchi berpikir suguhan ini terlalu mewah untuk seseorang pengelana sepertinya. Bahkan Orchi tak keberatan jika sang tuan rumah hanya memberinya tempat tidur saja.

"Permisi, apa ini tidak berlebihan?" tanya Orchi menatap makanan di hadapannya dengan heran.

"Ini hanya makanan sederhana, Nak. Apa di kota kalian menyambut tamu hanya dengan segelas air putih?"

Orchi menggaruk tengkuk belakangnya dengan canggung. "Eh, tidak, hanya saja ini seperti untuk tamu yang datang sekeluarga."

Freda si tuan rumah tertawa mendengarnya sambil mengikat rambut keriting yang mengembang. Orchi bertanya-tanya bagaimana dia mendapatkan rambut seperti itu, memiliki warna seperti ikan salmon, panjang, keriting, juga mengembang. Apa ibunya memiliki rambut yang sama seperti dirinya atau ayahnya?

Freda mengibas-ngibaskan tangannya. "Tidak perlu sungkan, ayo makan yang banyak."

Perut Orchi bergetar lagi dia sedikit khawatir jika Freda mendengarnya. Namun, dilihatnya Freda tidak terusik dan sibuk menuangkan segelas air untuknya. Sebelum cacing-cacing di perutnya tambah mengamuk dan mempermalukan dirinya Orchi segera mengambil bagian lauk-pauk setelah ia menambahkan nasi ke atas piringnya.

Selesai dengan makan malam, Freda menunjukkan kamar untuk beristirahatnya. Dari kamar tersebut tercium bau ruangan yang sudah lama tidak terpakai. Meski begitu tidak ada debu pada benda-benda yang ada di sana, Freda sudah membersihkannya segera sebelum Orchi mengetuk pintu rumahnya.

"Terima kasih, Freda, sudah memberiku makanan juga tumpangan untuk malam ini," kata Orchi sebelum ia pamit untuk istirahat.

"Tidak apa-apa, kalau begitu selamat beristirahat," kata Freda berbisik membuat bulu kuduk Orchi meremang mendengar kalimatnya.

Orchi tersenyum kecil. "Iya, selamat malam, Freda," katanya sambil menutup pintu.

Ia menatap sekeliling kamar di sana ada sebuah ranjang yang terlihat empuk dengan jendela yang menampakkan hutan seakan mengintai Orchi dari sana. Akan tetapi, itu bukan masalah yang penting malam ini ia akan tidur dengan pulas. Orchi melompat ke atas ranjang dan berguling di sana. Punggungnya merasa nyaman sekali setelah seharian terbang, ia berharap malam terjaga dengan panjang agar ia puas dengan istirahatnya.

Orchi menguap tangannya bergerak menarik gorden yang terbuka lantas tak lama kemudian suara dengkuran halus terdengar tanda Orchi sudah terlelap menuju dunia mimpi. Perempuan itu bahkan belum sempat mengganti pakaiannya dengan piama tidurnya. Siapa peduli dengan pakaian toh esok ia akan segera pergi tanpa harus mandi, terlalu dingin dan Orchi tidak suka menggigil.

*****

Malam semakin larut, jam dinding menunjukkan pukul tengah malam. Di luar kamar Orchi, Freda bersenandung riang sambil bergerak kesana-kemari di dapur memasukkan beberapa bahan ke dalam kuali besar dengan uap yang keluar darinya berwarna hitam pekat. Rasa-rasanya dia terlihat seperti penyihir jahat yang hendak meracuni buruannya, tetapi memang begitu kenyataannya. Rambut keriting mengembangnya bergerak-gerak, dia begitu senang hingga rasanya ia tak sanggup lagi menelan jeritan yang sedaritadi bergemuruh di tenggorokannya. Namun, terlalu bodoh jika berteriak sekarang bisa-bisa dia melepaskan mangsanya kali ini. Nafsu untuk memakan jiwa seseorangnya aktif bagai serigala hutan yang biasa melolong di malam purnama.

"Tinggal sentuhan terakhir favoritku," Freda terkekeh pelan.

Tidak ada, dia membuka lagi lemari di sebelahnya tidak ada juga. Toples yang seharusnya berisi bahan terakhir yang akan ia masukkan kosong. Freda menepuk jidat, ia lupa mengisi kembali persediaannya. Sial. Seharusnya saat itu ia segera memasoknya kembali sehingga kejadian seperti ini tidak akan terjadi. Freda harus ke hutan mengambil tumbuhan tersebut untuk menyelesaikan ramuannya. Dia pikir tidak apa-apa meninggalkan gadis mangsanya yang sedang tertidur pulas, ia akan segera kembali dan melakukan pestanya. Freda terkikik sendiri sambil memegang sendok sayur dari kayu.

Suara benda yang menabrak dinding kayu terdengar membuat Freda membalikkan tubuhnya. Kedua matanya menemui sosok Orchi yang berdiri dengan postur canggung agak membungkuk, di wajahnya tercetak raut terkejut setengah meringis.

Suatu perasaan mengusiknya ketika tidur membuat Orchi terbangun dan pergi ke dapur untuk menyegarkan kerongkongannya yang kering. Kiranya ruangan remang dan sepi yang akan ia temui, ternyata ada Freda yang berbahagia mengaduk-aduk kuali. Kepul asap hitam memberikan pertanyaan di kepala Orchi tentang aktivitas yang Freda lakukan hingga ia mendengar beberapa kata yang membuatnya semakin curiga: mangsa, kenyang, dan gadis.

Wajah Freda berseru terkejut yang dibuat-buat dengan senyum janggal. "Oh, Sayangku ... kau terbangun, Manis?"

Orchi melangkahkan kakinya ke samping berniat kembali ke kamar. "Ya, tadinya aku ingin mengambil segelas air minum, t-tapi aku sudah tidak membutuhkannya. Aku kembali, selamat malam, Freda."

Ini bukan perasaan yang menyenangkan, batinnya berseru untuk segera pergi dari sana atau sesuatu yang berbahaya akan menangkapmu. Hewan buas yang kelaparan tidak akan membiarkan mangsanya lepas, Freda mengucapkan mantra sebuah tali tambang yang cukup tebal melilit Orchi hingga perempuan itu tak terkapar di lantai kayu dengan tubuh yang sudah terlilit. Dadanya berdetak kencang hingga telinganya dapat mendengar detakan tersebut, perlahan juga kedua kakinya bergetar ketakutan.

"Manis, kamu tidak perlu takut karena aku tidak menyakitimu. Tidak ada pertumpahan darah tenang saja karena aku hanya akan memakan jiwamu." Dari jarak yang agak jauh Freda berkata dengan suara berbisik, tetapi dapat terdengar oleh Orchi. Hal tersebut membuat bulu kuduk Orchi meremang, perasaan merinding itu merayapi seluruh tubuhnya.

Tidak ada aba-aba atau peringatan tiba-tiba tubuh Orchi melayang. Pintu kamarnya menjeblak terbuka, Freda berjalan dengan bangga sambil mengarahkan tongkat kayu untuk membawa masuk Orchi ke dalam kamar dan meletakkan tubuh Orchi di sudut kamar jauh dari jendela.

"Nah duduk yang manis di sana, Sayangku. Aku akan segera kembali." Freda keluar bersamaan pintu yang tertutup dengan halus meninggalkan Orchi yang mematung ketakutan.

Orchi berusaha melepaskan lilitannya, tetapi usahanya sia-sia karena tali itu aktif semakin mengencangkan lilitan. Jika begini ia tidak dapat berbuat apa-apa, berteriak sekencang apa pun tidak akan ada yang mendengar teriakannya karena sekarang ia berada di rumah yang ada di tengah hutan sejauh mata memandang hanya ada ribuan pohon tuli yang tak mampu membantunya untuk melarikan diri. Pikiran Orchi kini tertuju kepada nenek yang mungkin sekarang sedang tertidur lelap setelah seharian diurus oleh bibi Rane. Senyum kecil terbit di bibir Orchi, dia amat sangat berterima kasih kepada bibi Rane yang telah membantunya selama ini. Kemudian raut tersebut lagi tergantikan oleh sendu. Nenek, wanita tua yang sudah merawatnya sedari kecil dengan telaten dan sabar kini mungkin harus bertemu kembali dengan perpisahan setelah dua kali ia sudah merengut dua orang yang berharga.

Orchi bersandar di dinding dengan pasrah, kepalanya mendongak ke atas melihat langit-langit dengan cat putih yang agak kusam kemudian menunduk lesu. Sesuatu mengetok-ngetok kepalanya dengan keras membuat Orchi terusik. Ia hendak berseru kesal kepada sapu terbangnya yang mengajak bercanda disaat yang menegangkan juga sedih. Akan tetapi, sebuah ide cemerlang terlintas di kepalanya. Kenapa tidak terpikirkan sedaritadi, ia bisa menyuruh sapunya untuk ke kota meminta bantuan. Sapu terbangnya dapat mengetahui isi pikiran Orchi dia bergerak-gerak tanda setuju. Namun, Orchi baru teringat jarak kota sangat jauh akan sia-sia sapu terbangnya meminta bantuan di kota karena bantuan akan datang setelah jiwa Orchi di makan oleh Freda.

Orchi menggeleng lemah, tidak ada jalan baginya untuk selamat kecuali jika memang keberuntungan berpihak padanya. Sapu terbang Orchi yang disemayami roh angin sudah memiliki keterikatan batin dengan pemiliknya. Ia tak ingin Orchi menyerah begitu saja, walau kemungkinan kecil untuk mendapatkan bantuan ia tidak akan menyerah untuk menyelamatkan tuan yang ia sayangi. Roh angin yang ada di dalam sapu terbang itu memiliki perasaan walau wujudnya hanyalah sebuah benda. Dia, Oul, nama yang Orchi kecil berikan tiba-tiba terbang menabrak jendela hingga serpihan kacanya berhamburan di atas ranjang. Orchi segera berteriak kepada sapu terbangnya bahwa yang ia lakukan sia-sia.

"Oul jangan! Itu hanyalah perbuatan yang sia-sia!" Sapu itu terhenti di setengah jalan sebelum keluar sepenuhnya.

"Sudahlah, kembalilah." Oul tidak mendengarkan tuannya, bergeraklah ia ke hutan yang sedaritadi hanya menatap mereka dalam diam.

"Oul kembali!" teriak Orchi dengan kencang hingga setelahnya ia terbatuk-batuk.

Kini, Orchi sendiri menunggu sang ajal tiba.

Orchi the Flawed WitchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang