***
"Anna, buka pintunya!" Justin berteriak dan menggedor-gedorkan pintu kamarku. Aku meringkuk dalam pelukan diri sendiri bersama dengan isak tangis yang memilukan. Tanganku masih panas saat aku menampar wajahnya. Ia tidak bergeming saat itu. Tapi saat aku beranjak dari kolam renang, ia langsung mengejarku. Aku tidak mengerti dengan Justin.
Apa aku benar-benar terlihat seperti pelacur? Mengapa rasanya ia tidak percaya dengan kata-kataku? Maksudku, aku memang seperti ini. Aku tidak pernah berhubungan badan dengan siapa pun selain dirinya! Aku hanya diperkosa. Dan mengapa ia mengira aku akan memiliki hubungan badan dengan Logan? Aku bahkan belum mengenalnya! Hening di dalam kamar ini. Hanya isak tangis yang menemaniku. Justin sudah tidak menggedor-gedorkan pintu kamarku lagi. Kurasa ia sudah lelah. Itu lebih baik.
Aku ingin membicarakan ini bersama dengan diriku sendiri. Apa Justin memiliki kenangan buruk? Atau karena memang gayaku seperti pelacur? Apa aku terlihat begitu murahan di saat aku merayu Justin? Apa Justin tidak percaya dengan kata-kataku? Aku sudah bilang padanya aku tidak pernah berhubungan dengan siapa pun dan atas dasar apa dia memanggilku pelacur? Begitu banyak pertanyaan yang harus dijawab. Menyesakan hatiku yang paling dalam.
Hati kecil berkata: Tidak. Kau bukan pelacur.
Karena aku memang bukan pelacur! Apa selama ini Justin menganggap aku hanya berpura-pura tak menerima hadiah darinya agar ia terus memberikan hadiah padaku? Aku tidak sama sekali suka hadiah yang ia berikan –kecuali Bee dan Boo. Kalung ini, gelang kaki, pakaian yang mahal, aku tidak butuh itu! Pantas saja ia bertanya bagaimana perasaanku saat mendapatkan hadiah-hadiahnya. Mungkin, submisif-submisif sebelum diriku senang saat Justin membelikan mereka. Tapi aku tak sama dengan mereka!
Memang aku tidak memiliki banyak uang. Memang aku keturunan dari orang yang tidak mampu. Tapi apa aku melakukan pekerjaan hina seperti itu? Tidak! Masih ada jalan lain yang lebih baik. Oh, Tuhan. Mengapa lelaki itu tampak begitu takut untuk dikhianati?
Lama berpikir, air mataku sudah berhenti mengalir. Tapi tusukan dari kata-katanya yang mengalir penuh kekejaman tak berhenti meneteskan darah dan kepedihan yang masih berada di hati ini. Aku tidak ingin mencabutnya, karena aku tahu, rasanya akan lebih sakit. Aku memutuskan untuk tidur.***
Aku terbangun dengan perasaan yang sama seperti tadi pagi. Sudah jam berapa ini? Aku mendengar suara gonggongan Bee dan Boo dari luar sana. Kurasa mataku membengkak. Beranjak dari tempat tidur, aku meliaht diriku dari pantulan cermin. Begitu buruk dan abstrak. Rambutku acak-acakan dan mataku benar-benar sipit. Astaga, seburuk itukah? Apa tadi aku bermimpi buruk? Tidak, tidak mimpi buruk.
Kuhantar kakiku menuju meja rias yang berwarna putih. Semua peralatan di sini berwarna putih. Seakan-akan berada di dalam surge. Atau mungkin dalam kamar Dewa Kematian di Underworld. Aku tak peduli. Kuambil sisir yang berwarna putih juga dan menyisirkan rambutku dengan pelan. Aku mencoba untuk tidak menangis.Tapi lagi-lagi air mataku menetes.
"Sial!" aku menggumam dan menundukan kepalaku. Mengapa kata-katanya benar-benar begitu menyakitkan? Aku tak kuat saat ia bertanya apa aku pernah tidur dengan Logan. Oh, Tuhan. Aku ini adalah miliknya. Ia seharusnya tahu itu. Aku sudah percaya padanya. Aku percaya padanya kalau ia tidak akan pernah menyakitiku. Aku percaya ia tidak akan memukulku. Bahkan ia sudah memanggilku dengan kata MINE! Sudah jelas aku adalah miliknya. Rasanya begitu menyakitkan saat orang-orang di sekitarku tak percaya dengan omonganku. Kuhapus air mataku dengan punggung tanganku lalu kembali mendongak.
Mataku benar-benar bengkak. Ini adalah yang kedua kalinya aku menangisi lelaki. Pertama adalah karena kepergian Nicholas, pacar bayanganku. Dan Justin, suami yang tak mempercayaiku. Mungkin dalam konteks ini, Justin lebih hebat menyakitiku. Kusisir kembali rambutku dengan lembut. Mencoba untuk merapikannya. Sekarang aku berharap aku hidup dalam mimpiku. Dalam mimpi aku bisa merancang kejadian yang kumau. Aku ingin tidak ada sakit hati di sana. Mimpiku adalah Justin percaya padaku. Hidup dalam dunia nyata begitu menyesakan. Orang-orang berbaik hati karena sesuatu yang mendesak dirinya untuk meminta permintaan yang besar agar permintaannya terkabulkan. Tapi di sini aku. Tidak sama dengan orang-orang di luar sana yang haus akan uang.
Pelacur. Mereka bahkan tidak lebih baik daripada seekor anjing.
Kutaruh kembali sisir itu di atas meja dan berjalan untuk keluar dari kamar. Gonggongan dari Bee dan Boo sudah tak terdengar. Kubuka kunci pintu kamarku lalu membuka pintunya.
Berjalan dengan lesu sambil melihat ke arah bawah. Semuanya berjalan dengan baik. Seakan-akan tidak ada yang salah. Kurasa sekarang sudah sore. Aku belum sarapan dan makan siang. Aku butuh makanan. Kakiku rasanya seperti baja yang sulit kuangkat. Malas, aku melangkah turun. Dan berharap Justin tidak ada di bawah. Aku berharap ia berada di ruang kerja atau di kamarnya. Kaki terus membawaku menuju dapur.
Berkali-kali. Baiklah, sudah berkali-kali aku mencoba untuk tidak menangis. Tapi mengapa air mata ini tidak berhenti menetes? Kakiku berhenti melangkah saat aku sudah berada di ruang dapur. Kulihat Xavier dan D'aman sedang memasak sesuatu.
"Mrs. Bieber!" sapa mereka berdua dengan aksen Perancis yang mereka miliki.
"Apa aku bisa memakan sesuatu?"
"Apa pun, Mrs. Bieber," ujar D'aman dengan senyum yang sumringah. Itu membuatku ikut tersenyum dan menghapus air mataku.
"Sandwich?"
"Berapa banyak Mrs. Bieber?"
"Aku tak sarapan dan makan siang, yah, yang menurutmu dapat mengenyangkan perutku," aku berusaha untuk tersenyum padanya dan aku terduduk di atas kursi bar sarapan. Xavier melihatku tanpa senyuman. Sepertinya ia tahu dengan kejadian tadi pagi. Semua pelayan yang biasanya menyapaku dan tersenyum padaku, sudah tidak seperti itu lagi. Kurasa mereka ingin menjaga perasaanku.
"Mrs. Bieber, kau bisa menceritakannya padaku," ujar Xavier ingin tahu. Aku hanya tersenyum lemah dan menggelengkan kepalaku. Aku tidak ingin menceritakannya. Itu justru membuatku ingin menangis lagi.
"Xav –Anna! Akhirnya kau keluar juga!" teriak Justin yang tiba-tiba saja muncul dari belakang. Aku tidak membalikan tubuhku melainkan aku langsung menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Mendengar suaranya membuat perkataannya tadi pagi semakin kuat dalam hatiku. Semakin menusuknya lebih banyak. P-E-L-A-C-U-R. Huruf-huruf itu menusuk hatiku secara bersamaan. Dan Justin di sini. Ini memperburuk perasaanku.
Air mataku mulai keluar dari sudut mataku. Kumohon, jangan menangis di depannya. Jangan menangis di depannya. Aku berujar pada diriku sendiri. Kudengar suara Justin duduk di sebelahku.
"Anna, lihat aku sayang," ujarnya menyuruhku. Aku tidak melakukannya. Aku masih pada posisiku dan tiba-tiba saja aku punya keinginan untuk mengambil pisau dan mencolok jantungku dengan cepat agar penderitaan ini selesai. Ada apa dengan Justin?! Itu pertanyaan yang harus dijawab olehnya. Aku ingin beranjak tapi tangan Justin yang seperti batu –sama seperti hatinya—itu menahan tanganku agar aku tidak beranjak dan tanganku terlepas dari wajahku. Untungnya air mataku hanya mengalir satu kali saja. Tapi aku langsung menundukan kepalaku.
"Anna, kumohon. Lihat aku," ujar Justin lagi, memohon. Tapi aku tidak melakukannya. Tapi jari telunjuk dan jempol Justin mulai menyentuh daguku dan menariknya. Aku langsung menutup mataku. Ia tertawa pelan. Aku tidak mungkin bisa menolak lelaki ini.
"Anna, lihat aku. Jangan buat aku marah sayang,"
"Mengapa aku harus melakukan itu?" tanyaku dengan suara yang parau. Aku mulai memberanikan diri.
"Ini, minumlah," ujar Justin memegang pipiku dengan jari telunjuk dan jempolnya hingga mulutku terbuka menjadi huruf O. Ia mengalirkan air yang kurasa ini adalah ...sialan! Alkohol. Aku tersedak dan terbatuk-batuk. Justin tertawa, mataku terbuka.
"Ternyata sekarang aku tahu bagaimana caranya membuatmu membuka matamu," ujar Justin menyeringai. Tapi aku tidak ikut tersenyum. Benci dia. Benci dia. Benci dia! Aku terus mengucapkan kata itu pada otakku. Berusaha untuk tidak luluh padanya.
"Mine, kita harus membicarakan ini,"
"Terserah,"
"Mine, serius," ia berucap dengan serius. Xavier dan D'aman sudah tidak ada di dalam ruangan ini. Hanya aku dan Justin. Dan aku sangat yakin, ada banyak pelayan yang akan mendengar percakapan ini. Aku tidak menatap Justin, aku menatap gelas kosong yang tadi berisi anggur.
"Mine, sayang, aku sungguh minta maaf dengan perkataanku tadi pagi,"
"Kau memang seharusnya melakukan itu Justin," ujarku dengan ketus. Aku memutar tubuhku dan memunggunginya. Justin tertawa pelan dan menyentuh pundakku.
"Sebenarnya, Justin," aku berhenti berbicara, aku ingin bertanya padanya mengapa. Apa yang terjadi dengan dirinya sehingga ia berbicara seperti itu padaku? Tapi aku terdiam.
"Kita bisa ke kamar untuk membicarakan ini," ujar Justin mengajakku. Tapi aku menggelengkan kepalaku.
"Aku lapar," ujarku masih memunggunginya.
"D'aman! Xavier!" teriak Justin. Tidak butuh waktu lama, D'aman dan Xavier muncul lagi. Wajah mereka kali ini tidak tersenyum, melainkan ketakutan. "Buatkan sesuatu untuk ..Anna," ia berucap, memerintah. D'aman dan Xavier menganggukan kepala mereka dan Xavier melirik padaku. Sedikit kasihan padaku. Justin menarik pundakku agar ia dapat memutar kursi ini bersama dengan badanku. Kupejamkan mataku kembali saat aku sudah berhadapan dengannya. Kemudian aku merasakan bibir Justin menyentuh bibirku dan kemudian menghilang.
Mataku terbuka.
"Itu dia mata biru yang kuinginkan," ujarnya tersenyum kembali, "Mine, sungguh. Aku minta maaf dengan pertanyaanku yang konyol tadi," tambahnya menatap mataku, intens.
"Mengapa?"
"Mengapa apa?" Terkadang aku berpikir, ternyata pengusaha bisnis seperti Justin sedikit bodoh.
"Mengapa tiba-tiba aku bertanya seperti itu padaku?" tanyaku sambil mendesah pelan, kedua bahuku turun karena lesu mendengar kebodohan Justin. Ia tertawa. Apa yang lucu? Aku sedang ingin berbicara serius dengannya.
"Aku punya kenangan buruk,"
"Submissive-mu berselingkuh dengan pengawalnya?" tanyaku menebak. Ia menganggukan kepalanya. Sudah kuduga! Sial, mengapa ia menyamakanku dengan submissive sialannya itu? Ini sungguh salah. Dan aku rasa aku harus memaafkan Justin. Ini hanyalah kesalahpahaman Justin terhadap diriku. Ia salah tangkap. Aku bukan gadis itu. Ini adalah aku dan aku adalah aku. Mengerti? Yeah, sudah kuduga.
"Karenanya aku tidak percaya dengan hubungan lagi," ujar Justin. Sialan! Siapa nama wanita itu? Rasanya aku ingin menamparnya. Karenanya aku susah untuk mendapatkan seorang Justin Bieber. Dan karenanya, Justin memanggilku seorang pelacur. Bahkan ia bilang 'YA' tanpa berpikir.
"Mengapa kau berpikir aku adalah seorang pelacur?" tanyaku. Kudengar Xavier berdeham. Aku ingin tertawa, tapi aku menahannya. Dasar Xavier!
"Dengar, Anna," ia menyebut namaku, kali ini. "Chanta adalah submissive pertamaku," ujarnya. Aku menganggukan kepalaku dan mulai menyandarkan kepalaku pada tanganku yang siku-sikunya bertumpu pada meja bar. Aku menatap Justin yang ingin menjelaskan.
"Chanta, ia gadis yang polos. Sama sepertimu. Ia sangat cantik. Dan aku terpikat olehnya. Kau sama sepertinya, Anna!" ia berseru dengan gemas.
"Aku tidak sama dengannya Justin,"
"Well, pada akhirnya, ia tidak sama denganmu. Ia memiliki hubungan gelap dengan pengawalku," ujarnya mempersingkat cerita, kurasa. Justin mendesah pelan dan memejamkan matanya.
"Dan kau berpikir aku akan memiliki hubungan gelap dengan Logan?" aku berseru juga. D'aman yang sedang memasak terdengar begitu berisik. Mereka berdua tentu saja mendengar percakapan kami. Tapi tidak bisakah mereka memberi kami sedikit privasi? Setidaknya mereka seharusnya fokus untuk memasak makanan untukku.
"Awalnya, ya,"
"Dan mengapa kau memanggilku pelacur? Intinya," aku menuntut.
"Ini sungguh susah dijelaskan Anna. Chanta dan Nolan pergi dari rumahku sambil membawa uang yang banyak dan mobilku. Chanta benar-benar pelacur," ia berseru lalu setelahnya, ia mendesah dengan pelan dan menggelengkan kepalanya.
"Mengapa kau tidak percaya denganku? Setelah aku menceritakan kehidupan seksku yang sebenarnya. Apa kehidupan seksku terdengar seperti pelacur? Apa aku pernah hidup semewah ini Justin? Apa kau tahu apa aku pernah mendapatkan uang yang banyak karena lelaki yang kaya? Apa kau tahu?" tanyaku menyembur segala pertanyaan yang masih berada di otakku. Ia mendesah, lagi, untuk yang kesekian kalinya.
"Anna, aku benar-benar minta maaf," gumamnya terdengar sungguh-sungguh.
"Mrs. Bieber," ujar Xavier menghidang beberapa sandwich di hadapanku. Aku memberikan senyuman terima kasih padanya dan ia membalas senyumanku.
"Kalian boleh pergi dari sini," ujar Justin dingin pada mereka. Sontak mereka berdua berjalan terbirit-birit dari dapu. Astaga, apa orang-orang di sini benar-benar takut pada Justin? Yeah, benar. Mereka patut takut pada Justin.
"Baiklah, aku memaafkanmu. Tapi jangan pernah samakan aku dengan orang lain!" ujarku.
"Tentu. Sekarang makanlah." Ucap Justin menyuruhku. Aku menurutinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
DOMINAN SUBMISSIVE | Herren Jerk
RandomAnna Victoria Whitford terpaksa harus menandatangani perjanjian itu. Meski sebenarnya ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, ia tetap harus menandatangani perjanjian dari seorang wanita baya yang memberikannya perjanjian itu. Ketika ia menandata...