***
"Ya Tuhan, Anna!" teriak Justin yang membuatku mendongak. Astaga, mengapa dia begitu berlebihan? Aku hanya ingin kiriman paket dari Max. Well, kotaknya memang besar sekali. Aku tidak tahu ini dari siapa tapi ini diperuntukan untukku. Dan astaga, mengapa Justin begitu berlebihan? Aku menaruh kembali kotak ini. Kurasa itu adalah tempat tidur untuk bayi. Astaga, aku senang sekali. Tapi dari siapa? Mungkin orang tua Justin.
Justin mendekatiku dan melihatku dengan tatapan khawatir dan langsung memegang kedua bahuku. Ini adalah kehamilanku yang kelima bulan dan ini adalah hari terakhirnya. Perutku sudah sangat besar.
"Justin ini hanyalah sebuah kotak, tidak masalah," ujarku memegang tangannya yang berada di pundakku. "Tidak apa-apa," lanjutku lagi. Ia mendesah pelan dan menurunkan tangannya pada perutku. Aku tertawa geli akibat elusannya. Tiba-tiba saja perutku ditendang oleh si kecil. Justin terkejut dan matanya langsung melebar. Aku tertawa, meringis.
"Tidak apa-apa," bisikku lagi. Justin menghembuskan nafas lega dan lalu tangannya mulai mendekati pada kotak yang dibungkus oleh kertas cokelat. Ia membukanya dengan semangat dan benar saja! Itu adalah tempat tidur untuk si kecil. Justin berjongkok dan mengamati kardus itu. Ia membaca bagian belakangnya dan kemudian ia mendongak. Senyumnya mengembang.
"Dari orang tuaku," ujarnya. "Apa kau ingin memasang ini sekarang?" tanyanya. Aku menganggukan kepalaku dengan penuh semangat. Lalu tangan Justin kembali menjamah perutku dan mengelusnya dengan lembut.
"Yeah, ayahmu mempunyai pekerjaan baru nak. Hargai ayahmu jika kau sudah keluar dari perut ibumu," ujar Justin dengan suara yang benar-benar serius, "jangan mengompol di atas sana nanti,"
"Justin!" aku menegurnya. Kemudian Justin tertawa konyol. Aku jadi ikut tertawa konyol bersamanya. Kemudian aku berjalan menaiki tangga. Ah, kakiku benar-benar sakit jika harus menaiki tangga. Perutku terlalu besar. Dan tubuhku begitu mungil. Berat badanku tidak terlalu naik drastis. Justru kata Dr. Connel, badanku tidak mengalami perubahan besar seperti ibu-ibu lainnya. Justin bahkan sering memanjakanku untuk membeli makanan yang si kecil inginkan. Tapi tubuhku tidak banyak mengalami perubahan.
"Pelan-pelan Anna," ujar Justin yang berjalan di belakangku. Aku hanya menggumam dan berjalan melewati tangga sambil memegang pinggangku agar perutku lebih menyembul. Itu bisa mengurangi rasa beratnya.
Ah, akhirnya. Aku mendesah pelan saat aku sudah berada di lantai atas. Huh, cukup melelahkan untuk melewati tangga tadi. Kami berjalan melewati lorong, melewati kamar kami dan masuk ke dalam kamarku yang dulu. Memang kamar ini cukup besar untuk bayi. Tapi tidak apa-apa. Jika kami memiliki dua anak, mereka akan tidur di sini. Mataku menatap ke seluruh penjuru ruangan ini. Kami belum memutuskan untuk mencatnya warna apa. Meski Dr. Connel bilang bahwa anak kami ternyata adalah anak laki-laki. Tapi Justin bilang padaku untuk tidak melakukan itu cepat-cepat. Entahlah, aku ingin tembok ini dicat bergambar anak-anak anjing dengan penuh warna.
Justin sudah membuka kardus besar itu dan mengeluarkan bagian-bagian dari tempat tidur yang masih terpisah-pisah. Kemudian ia mengambil buku panduan. Aku terduduk di atas tempat tidur yang masih berada di dalam ruangan ini. Menatap Justin yang mulai membagi-bagi bagian tempat tidur si kecil dengan rapi. Ia terlihat begitu tampan jika sudah berkonsentrasi seperti ini.
Ia seperti malaikat yang tercipta untukku. Sungguh beruntungnya aku akan mendapatkannya dan mendapatkan si kecil. Apalagi si kecil adalah seorang lelaki. Well, apa yang bisa kukatakan? Justin cukup kesal saat ia tahu anak kami adalah anak lelaki. Ia benar-benar cemburu dan kadang ia selalu marah padaku jika aku menolaknya untuk tidak berhubungan badan. Well, yeah, kita masih sering berhubungan badan, kata Dr. Connel tidak apa-apa. Tapi saat kehamilanku menginjak 5 bulan –sebentar lagi akan 6 bulan. Justin bilang padaku kalau aku lebih mencintai anak ini dibanding dirinya. Cukup konyol disaat ia cemburu pada anaknya sendiri. Itu tidak masuk akal. Tapi aku hanya menanggapinya dengan tawaan dan meyakinkan dirinya bahwa aku mencintainya sama seperti aku mencintai anak kami.
"Apa?" tanya Justin menyadari kalau aku mengamatinya. Aku hanya menggelengkan kepalaku dan tersenyum konyol padanya. "Kau tidak ingin membantuku?"
"Kau ingin aku membantumu?"
"Tidak! Sial, tidak!" Justin langsung berteriak, membuatku terkekeh. Dia memang seperti ini. Dia overprotetif. Membuatku sedikit muak dengan tingkahnya. Bahkansaat aku ingin mengambil air minumku sendiri di bawah sana, di dapur, ia berteriak padaku agar aku tidak turun dari lantai atas. Ia tidak ingin aku kesusahan untuk naik ke atas lagi. Ia benar-benar takut aku akan keguguran. Oh, Mr. Bieber-ku yang tampan. Ia terlihat begitu lucu saat ia mengkhawatirkanku.
"Tidak apa-apa, Justin," aku menggodanya dan aku mulai bangkit berdiri. Justin yang sedang memegang bagian sisi tempat tidur bayi kami langsung menjulurkan benda itu padaku dan menatapku dengan tatapan garang. Oh, astaga, aku ingin tertawa. Ia benar-benar marah.
"Anna Bieber, duduk. Jangan sampai aku marah padamu, Anna," ujarnya lagi. Aku masih berdiri dan tidak mau menuruti perkataannya.
"Anna," ia memperingatkanku.
"Aku hanya ingin membantu suamiku," ujarku lagi, menggodanya.
"Ya Tuhan, Anna! Kubilang duduk, apa kau tidak kasihan melihat suamimu yang hanya meminta seorang istrinya untuk duduk? Kau juga bisa melihat pemandangan jika kau duduk manis di atas sana," ujar Justin memuji dirinya. Sendiri aku tertawa pelan dan menggumamkan sesuatu lalu kembali terduduk. Sengaja, ia membuka bajunya sehingga aku bisa melihat tubuhnya yang berotot. Oh, ya. Justin memiliki tattoo di dadanya. Tulisannya Anna. Yeah, namaku. Dan aku juga memiliki tattoo. Tentu saja bukan di dadaku. Gila saja. Well, di pinggangku. Di sisi pinggangku. Tulisan Prancis, Bieber. Yeah, itu mengartikan bahwa aku adalah milik Bieber.
"Menikmati pemandangan?" tanya Justin melirik padaku, menggodaku lebih tepatnya. Aku tertawa pelan dan menggelengkan kepalaku.
"Tidak. Aku sedang berpikir saja,"
"Berpikir tentang apa?"
"Tentang kau dan aku –"
"Adalah sebuah kesempurnaan?" lanjut Justin memotong ucapanku. Kurasa pipiku memerah dan ia menganggukan kepalanya. "Well, Anna. Itu adalah faktanya. Kau dan aku jika disatukan adalah sebuah kesempurnaan yang abadi,"
"Abadi?"
"Baiklah, hingga kita meninggal nanti," ujarnya memutar matanya dan menggelengkan kepalanya lalu kembali pada pekerjaannya. Aku bangkit dan Justin langsung mendongak. Sial, mengapa matanya seperti macan? Ia seperti lumba-lumba yang bisa mendengar gerakanku dari jarak jauh.
"Kau ingin kemana?" tanyanya mulai bangkit. Aku berjalan mendekatinya dan mulai menggelanyutkan tanganku pada leher Justin dan memiringkan kepalaku ke salah satu sisi dan mengamat-amati wajah Justin. Aku ingin membayangkan wajah anak kami nanti jika lahir. Rambut berwarna cokelat seperti Justin, mata cokelat-emas milik Justin, bibir, hidung, sebuah kesempurnaan. Anak kami akan menjadi anak tertampan yang akan lahir. Well, semua ibu-ibu di dunia ini selalu mengatakan itu kepada anak-anak mereka bukan? Justin menaikan salah satu alisnya, menatapku dengan bingung. Dan alis tebal itu akan diwarisi kepada si kecil.
"Apa yang kaupikir, Mine?" tanyanya memegang pinggangku. Aku menggelengkan kepalaku.
"Kau adalah kesempurnaan, Justin,"
"Tidak, tidak. Bukan itu, dengarkan ini," ujar Justin, "Aku dan kau adalah kesempurnaan. Aku tanpamu, aku benar-benar hancur. Bukan sebuah kesempurnaan. Maka dari itu, kau harus selalu bersama denganku. Agar aku menjadi sebuah kesempurnaan. Aku tanpamu begitu hampa," ujarnya begitu manis. Kumajukan wajahku untuk mengecup bibirnya yang manis.
"Benarkah?"
"Aku mencintaimu, Anna. Aku tidak sempurna tanpamu,"
"Begitu pun aku Justin. Aku mencintaimu,"
"Kata-kata itu.." Justin mulai mencium bibirku dan semakin mendekatkan tubuhku pada tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DOMINAN SUBMISSIVE | Herren Jerk
RandomAnna Victoria Whitford terpaksa harus menandatangani perjanjian itu. Meski sebenarnya ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, ia tetap harus menandatangani perjanjian dari seorang wanita baya yang memberikannya perjanjian itu. Ketika ia menandata...