BAB 3

446 4 0
                                    

***

            "Aku tidak ingat," ujarku dengan suara yang pelan, "tapi yang jelas aku tidak menginginkan hal itu terjadi. Entahlah, di sana ada balon, suara music dan ..sepertinya aku di gudang saat itu," ujarku mencoba untuk mengingat hal-hal itu dalam waktu lima menit. Dan Justin bersabar menunggunya dalam keheningan. Jari-jarinya tak bisa diam di rambutku yang berwarna hitam. Dari tadi ia memelintirkannya dengan main-main. Dan aku tidak risih dengan itu. Mungkin ia memang menyukainya. Tapi dari tadi aku tidak berani menatap matanya. Jarak tubuhnya dengan tubuhku mungkin hanya sekitar 3 inchi. Ia menaikan salah satu kakinya ke dengkul kakinya yang lain. Sedangkan aku menundukan kepalaku, mencoba untuk menutupi wajahku dengan rambut. Tapi berkali-kali Justin menyisihkannya pada belakang telingaku.
            "Oleh siapa?" tanya tampak dingin dan datar.
            "Tidak tahu. Aku benar-benar tidak ingat, Justin," kusebut namanya dengan tegas, "Aku kecelakaan dan kurasa kejadian itu terjadi beberapa hari sebelum kecelakaan itu. Jadi, aku tidak begitu ingat,"
            "Kepalamu terbentur atau semacamnya?"
            "Ya,"
            "Apa masih sakit?" tanya Justin perhatian. Oh, Tuhan. Jika ia memperlakukanku seperti ini, bagaimana mungkin aku tidak bisa mencintainya? Ia terlihat manis padaku sekarang. Tangannya yang bermain di sekitar rambutku. Rasa keingintahuannya yang tinggi padaku. Bagaimana bisa? Bahkan sekarang aku harus menahan senyumanku. Dan kurasa aku tidak boleh terlalu percaya diri dengan perlakuan Justin. Mungkin ini adalah nilai tambah atau perlakuan tambah dari Justin karena aku adalah seorang Mrs. Bieber. Istrinya sekaligus submisif-nya.
            Aku menggelengkan kepalaku dan mendongak untuk melihatnya. Dan ini dia. Matanya membuat hatiku meleleh. Menyesalkan apa yang kuperbuat, aku kembali menunduk lagi. Tapi jari telunjuk Justin menarik daguku sehingga aku melihatnya.
            "Tidak apa-apa," ujarnya dengan lembut. "Sekarang, berbaringlah," perintahnya padaku. Aku menganggukan kepalaku dan melakukan apa yang ia katakan. Aku merangkak untuk lebih ke tengah tempat tidurku. Dan berbaring di tengah-tengahnya seperti orang bodoh.
            "Relax," ujarnya  berdiri dari tempat tidur dan mulai membuka kemejanya yang masih ia pakai. Oh, tidak-tidak. Aku tidak ingin ia membuka bajunya di depanku lagi. Itu semuanya memberikan rangsangan terhadapku. Well, aku harus jujur. Dari kemarin, aku membayangkannya meniduriku di atas tempat tidur dengan tubuhnya yang benar-benar terpahat indah itu. Membuatku selalu basah. Tidurku bahkan tidak terlalu nyenyak tadi malam. Aku menarik tubuhku ke belakang sehingga aku sedikit terduduk. Siku-siku menjadi tumpuanku.
            "Begitu lebih baik," ujarnya sambil melangkah pergi menuju kamar mandi. Aku menunggunya. Mendengar suara pancuran air keran dan kemudian mati. Beberapa detik berlalu, Justin muncul. Whoa! Sialan. Kakinya yang telanjang dan berbulu terlihat dari sini. Kutelan ludahku untuk tetap terjaga tidak dalam goncangan saat melihat keindahan ini. Kepalaku pening saat ia tersenyum padaku. Sial, sial, sial! Ia terlalu seksi untuk dilihat oleh orang sepertiku. Benteng pertahananku hancur sudah! Aku mulai terangsang melihatnya.
            "Anna, kau cantik. Ukuran tubuhmu memang mungil. Tapi kau seksi, rambutmu indah. Terakhir, kapan kau melakukan seks? Maksudku, tanpa paksaan?" tanya Justin mulai terduduk di atas tempat tidur dengan hanya boxer abu-abu yang ia pakai. Aku mengangkat kedua bahuku. Aku tidak melakukannya sejak kejadian itu. Maksudku, aku juga tidak ingin melakukannya sampai aku mendapatkan suamiku. Sebenarnya aku ingin menjaga keperawananku untuk suamiku kelak. Tapi yah, aku tidak dapat memberikannya pada Justin. Aku cukup merasa bersalah karena tidak dapat menyenangkannya.
            "Tidak? Tidak pernah?" tanyanya tampak terkejut. Aku menganggukan kepalaku. "Bagaimana bisa?"
            "Kath selalu menjagaku,"
            "Kath," ia menggumam, "Ia tampak lebih tua darimu, eh?"
            "Ya, dia empat tahun lebih tua dariku. Justin, apa kau seperti ini dengan wanita-wanita lain?" tanyaku penasaran. Maksudku, keterbukaannya terhadapku. Aku tidak tahu apa ia memang seperti ini atau hanya karena aku adalah istrinya, maka ia memberitahu masa lalunya atau apa yang ia senangi dan tidak tampak tertutup. Banyak orang –termasuk Kath- juga bilang kalau seorang Bieber adalah orang yang dingin. Bahkan ia akan melakukan apa pun untuk menutupi privasinya. Well, sebenarnya bukan banyak orang. Mungkin hanya 2-3 orang. Tapi Justin yang kukenal sekarang adalah Justin yang tidak menutupi dirinya. Meski ia tampak berubah jika ia sudah keluar dari rumah. Lebih pendiam sedikit –kecuali jika sudah berada di dalam mobil. Dan ia tampak manis.
            Kulihat Justin tampak berpikir sebentar, menatap pada lantai lalu padaku.
            "Tidak,"
            "Jadi, bagaimana kau memperlakukan mereka?"
            "Aku tidak pernah sesabar ini, sebelumnya. Kau lebih enak diajak bicara,"
            "Mengapa?"
            "Karena kau adalah submisif alami," ujarnya menyeringai padaku. Kemudian ia merangkak untuk mendekatiku. Mataku tak lepas dari matanya hingga ia sudah melayang di atas tubuhku. Oh, astaga. Tatto itu. Aku melihat sebuah tatto di leher Justin. Astaga, seorang Justin Bieber miliki sebuah tato di sekitar lehernya. Dan aku tidak tahu itu tulisan apa. Aku tidak mengerti. Justin mulai menciumi leherku dengan lembut dan decakan dari ciumannya membuat apa yang ada di bawahku semakin basah. Sialan! Aku mendesah pelan dan mendongakan kepalaku ke belakang sehingga mulut Justin mudah mengakses di sekitar sana.
            "Tatto?" tanyaku. Oh, suaraku serak sekali. Ia menggigit leherku sehingga aku menjerit kecil.
            "Ya,"
            "Tulisan apa itu Justin?" tanyaku memejamkan mataku dan mulai meremas sprei tempat tidur dengan kencang. Ia mengemut leherku dengan mulutnya dengan buas, membuat tubuhku bergetar di bawahnya.
            "Ibrani," ujar Justin sambil menyentakan tubuhku ke bawah dengan kedua tangannya sehingga aku lebih turun ke bawah dan berbaring sepenuhnya. Ia juga ikut mensejajarkan kepalanya dengan kepalaku. Mulutnya menyentuh mulutku. Oh, ini sangat nikmat.
            Terputar di kepalaku kenangan Nicholas mencium bibirku dengan lembut. Ia mencoba untuk tidak melakukan lebih. Ia menjaga tubuhku sebisa mungkin dengan seluruh raganya. Itu sangat manis dan aku tidak ingin menangis pada momen seperti ini. Kulupakan Nicholas dan mulai memagut bibir Justin juga. Ini benar-benar masih.
            "Apa artinya Justin?" tanyaku di sela-sela ciuman ini. Tubuhku bergetar saat Justin mengangkat punggungku dengan kedua tangannya sehingga aku sedikit terangkat ia semakin memperdalam ciuman ini. Lidahnya membelai mulutku dengan lembut. Ini benar intens. Setelah kepala kami pening karena kekurangan oksigen, ia melepaskan ciumannya. Aku terengah-engah dan menatap matanya langsung.
            "Dominan," bisiknya dengan pelan dan mulai menciumi rahangku. "Aku ..Aku akan membuatmu tidak akan pernah melupakan pengalaman pertama terindah yang akan segera kau dapatkan," ujarnya terus menciumi rahangku, lalu ke bawah, ke leherku.
            "Angkat tanganmu ke atas," ujarnya memerintah. Aku mengangkat kedua tanganku ke atas dan tiba-tiba ia menarik kaos putih yang kupakai ke atas untuk membebaskan tubuhku dari benda itu. Ia melemparnya asal. "Ya, Tuhan," ia mendesah saat matanya dengan nanar melihat pada dadaku. Aku memakai bra berwarna biru muda. Tangannya mulai meremas dadaku dengan lembut. Aku mendesah pelan.
            "Astaga, ini benar-benar indah," ujarnya mulai mencium tengah-tengah dari kedua dadaku. Mengeluarkan sedikit lidahnya, membuatku menyentakan tubuhku ke atas. Ia tertawa pelan. Oh, aku bisa merasakan sesuatu yang menonjol di bawah sana. Ia sudah sangat keras rupanya. Kemudian jari-jarinya yang terampil menyentakan bra-ku ke bawah sehingga dadaku benar-benar terekspos. Kupejamkan mataku. Hanya nafas kami yang terdengar dan aku mendengar jantungku yang berdebar dengan cepat. Aku merintih pelan saat lidahnya yang hebat itu mulai menjilati sekitar dadaku.
            "Oh, Justin!" aku mulai meremas rambutnya dengan kencang. Ia menggeram saat aku menarik rambutnya dan kemudian ia tertawa. Tawa jahatnya. Oh, astaga. Ini terlalu berlebihan. Aku tidak bisa menerima lebih dari ini. Aku tidak bisa karena tubuhku sekarang benar-benar bergetar di bawahnya dan terus menggoyang-goyangkan tubuhku di bawahnya.
            "Diam sayang," ujarnya dengan lembut. Aku mencoba untuk menurutinya. Tapi aku tidak bisa! Ini terlalu ..oh astaga, mulutnya mencakup salah satu dadaku dan menggigit lembut putingnya. Aku mendengking bagaikan anjing yang ditendang! Dan tubuhku terdorong ke dalam tempat tidur, kutarik kepalanya untuk menjauhi dadaku. Astaga, aku tidak bisa.
            "Justin," aku melenguh pelan.
            "Sssh, semuanya akan baik-baik saja. Setelah sore ini, besok aku akan membawamu ke salah satu temanku untuk membuatkanmu tattoo. Submisif permanenku, oh, kau sangat menggiurkan," ujarnya menggoyang-goyangkan dadaku dengan lembut. Aku hanya menganggukan kepalaku dengan pasrah. Tiba-tiba salah satu tangannya mulai menjalar menuju perutku lalu bawah perutku. Celana jins yang kupakai sekarang sudah benar-benar mengetat di sekitar kakiku karena aku terus menarik tubuhku ke belakang sehingga jins itu juga ikut tertarik ke belakang. Telapak tangannya mencakup seluruh bagian bawah itu. Aku tersentak. Justin mulai menyingkirkan tubuhnya dari atasku, mungkin untuk membuatku bisa bernafas. Mungkin, jika ia tidak melakukannya, aku akan segera mati kenikmatan atas perlakuannya. Kemudian jari telunjuk dan jempolnya mulai menurunkan retsleting celana jinsku. Ia mulai menariknya ke bawah agar lepas dari kakiku. Aku membantunya menarik dengan jari-jari kakiku hingga benar-benar terlepas.
            "Ah, Justin! Apa yang –" Sialan! Tiba-tiba saja tangannya mulai menangkup seluruh bagian bawahku dengan telapak tangannya hingga aku mendapatkan pelepasan. Aku mengejang dan pinggulku tak bisa diam. Aku menggeram dan merintih sambil memejamkan mataku. Tangan Justin masih berada di sana dan sesekali ia meremasnya, membuatku berteriak.
            "Kau sangat basah," bisiknya menjilat telingaku. Aku belum selesai dengan pelepasanku sehingga aku tidak meresponnya. Ini benar-benar indah. Pelepasan pertamaku yang benar-benar indah.
            "Sekarang, biarkan aku melakukannya dengan lembut agar kau tidak akan pernah melupakan ini,"
            "Yah," itu adalah respon di mana aku benar-benar pasrah.
            "Kau menginginkannya?"
            "Ya, Justin," ujarku mantap. Sedetik kemudian mulutnya sudah berada di mulutku.

DOMINAN SUBMISSIVE | Herren JerkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang