1

121 34 28
                                    

Suara sepatu terdengar menggema pada lorong-lorong sunyi di sebuah gedung putih yang tampak tak berpenghuni. Terdengar lebih tenang dari milik penghuni tetap lantai empat, meski sebenarnya sang empunya tengah menahan rasa gelisah yang membuncah.

Dengan tas yang tersampir pada bahu, Satya bergerak mantap menuju kamar nomor seratus satu.

Tak lupa senyum dan sebuket bunga matahari di pelukannya, dengan didampingi penjaga, Ia masuk kesana. Ke tempat dimana rasa takut terbesarnya dikumpulkan jadi satu hanya untuk membunuhnya secara perlahan.

"Pasien baru tidur beberapa menit yang lalu, Dek."

Satya mengangguk. Tersenyum sebelum minta ditinggalkan berdua di dalam kamar empat kali empat yang di dalamnya penuh barang berserakan itu.

Tak semerta-merta pergi keluar lalu kembali bertugas, syukurnya penjaganya menunggu di luar tepat disamping pintu. Berjaga-jaga jika memang ada kejadian tak mengenakkan yang harus terjadi meski sebenarnya tak berharap demikian.

Bunga matahari itu diletakkan asal pada meja disamping tempat tidur, tempat terdekat yang bisa sosok itu raih saat terjaga nanti.

Atensinya diedarkan pada seluruh ruangan. Mencoba memindai apakah tempat ini nyaman untuk orang terkasihnya atau tidak, meski hanya tempat ini satu-satunya yang mau menerima.

Setidaknya jika memang tak nyaman, Ia bisa minta pengurus disana untuk memindahkan ke kamar yang lebih baik.

Tanpa sadar Ia mengulas senyum. Benda berserakan dalam kamar itu tak seperti dulu saat pertama kali Ia berkunjung.

Hanya berserakan, bukan pecah, sobek atau bahkan hancur.

Itu artinya semuanya sudah lebih baik dari yang terakhir kali.

"Selamat pagi," bisiknya dari jauh. Netranya kini berfokus pada sosok yang tengah terlelap di kasur empuknya.

Satya mendekat, tak lupa meraih kursi untuk Ia gunakan sebagai tempat duduknya selagi Ia mengobrol.

"Satya baru pulang dari kampus." Tangannya terulur menyentuh pelan anak rambut yang tak ikut terikat jadi satu itu.  Sudah lebih panjang dari yang Ia ingat ternyata.

Lagi-lagi Satya tersenyum. "Udah sarapan, udah mandi, pokoknya makin kasep."

Meski tak ada yang memberinya respon atas semua yang Ia ucapkan pagi ini, Satya tetap berbincang sendiri. Mengutarakan semua yang Ia simpan baik-baik hari ini, meski tau tak akan ada respon yang diberi.

Satya faham, bahkan khatam.

Ia memang sepantasnya hidup sendiri. Orang sepertinya tak pantas diberi hati atau bahkan dikasihani.

"Satya pulang, tapi belum ketemu Juju," ucapnya lirih. Menunduk dalam seperti seseorang yang tengah berduka dan putus asa.

Meski sebenernya Ia lebih tidak tahu akan berbuat apa. Sebab sekarang, keberanian yang Ia kumpulkan bertahun-tahun mendadak hilang entah kemana.

Ia mendongak, menatap sosok yang tengah terlelap dihadapannya. Pikirannya kembali melalang buana. Bagaimana bisa semesta mempermainkan Ia dan dunianya.

Tangan yang sedari tadi bermain pada anak rambut itu kini ditarik mundur. Disimpan pada saku, memberi ruang untuk netra menelisik ragu.

Kiranya semua sudah lebih baik dari yang terakhir kali, tapi perihal pergelangan tangan yang memerah itu tak mungkin bohongi Satya bahwa Ia khawatir.

Ia tau, tak bodoh untuk segera faham bahwa itu bekas borgol yang menggenggam enggan melepas.

"Sakit ya? Satya minta maaf," ucapnya penuh penyesalan.

Kalau saja dirinya tak banyak tingkah hari itu, mungkin bekas merah pada pergelangan tangan itu tak pernah ada.

Meski bayarannya pergi ke nirwana, Ia tak masalah.

Tapi meski pikirannya kini menyalahkan diri sendiri, menyudutkan diri pada pojok paling gelap hati, ada sisi dimana Satya merasa tindakannya hari itu adalah benar.

Terlalu larut dalam pikiran yang tak berujung, Satya hampir tak sadar kala tubuh itu bergerak pelan untuk bangun dari tidur paginya.

Ia beringsut mundur. Keberaniannya semakin menciut, menyusut hingga hilang tak bersisa.

"Satya?" panggil sosok itu dengan suara lirih. Kendati bantu untuk bangkit, Satya hanya mematung pada tempatnya duduk.

Ia tak berani untuk bergerak bahkan sejengkal pun. Meski sejujurnya Ia ingin berlari memeluk tubuh itu, sekali lagi Ia tak berani.

"Ngapain kamu disini?"

Pertanyaan itu terdengar dingin dalam rungunya. Suara yang semula halus bak kapas, kini dingin seperti besi yang tak pernah disentuh kembali.

Sosok tadi menurunkan kakinya. Menyentuh ubin dingin tanpa alas kaki apapun. Kemudian bergerak maju, mendekat pada Satya yang nampak ketakutan.

Satya pun lakukan hal yang sama, segera berdiri dan beringsut mundur sebab rasa takutnya yang membuncah.

Coba saja tubuhnya lebih kecil, mungkin Ia bisa berlindung di balik jaket tebalnya itu.

"Mama," panggilnya lirih. Nafasnya tercekat kala ucapkan kata yang Ia anggap keramat. Sudah lebih dari empat tahun, kalau kalian ingin tahu.

"Kamu masih hidup, nak?"

Secepat membalik telapak tangan, suara itu kini terdengar bersahabat bukan? Sayangnya bukan itu yang Ia rasakan.

Ketika tungkainya bergerak mundur, tanpa sadar Ia sudah berada di paling ujung. Menabrak lemari hingga hanya ibunya yang mampu bergerak saat ini.

"NGAPAIN KAMU MASIH HIDUP?!"

Entah hilang kemana, kekuatan satu-satunya pada kaki yang menumpu tubuhnya kini mendadak hilang. Tubuhnya merosot pelan, segera menutup kedua telinga erat sebab enggan dengar cacian.

"AYO MATI BARENG MAMA SEKALIAN," teriak ibunya dengan tangan terulur menarik lengan kiri milik Satya.

Meski disini Satya adalah laki-laki yang notabennya punya kekuatan lebih besar dari seorang wanita paruh baya, kini dirinya tak lebih dari anak kecil yang siap dihancurkan kapan pun jika mau.

"AYO IKUT MAMA. MATI AJA BARENG-BARENG SAMA MAMA!"

Sosok itu masih berteriak, tak mempedulikan sang anak yang tengah ketakutan dengan tubuh berjongkok dan kedua tangan menutup erat telinganya.

Nafas Satya kini tak beraturan. Sial, rasa sakit di dadanya kini menjadi-jadi tanpa peringatan.

Dengan kekuatan yang benar-benar hampir habis, tubuh yang ditarik paksa berulang kali, Satya beranikan diri untuk berteriak sekali lagi.

"PENJAGA. TOLONG!"
️️ ️️
️️

  ️️

  ️️
️️ ️️
️️

  ️️

  ️️

Gimana? Tbc ya!

80 Hari Tanpa Temu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang