Mobil hitam berjenis Bugatti Divo tampak baru saja terparkir rapi di halaman Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan.
Pemiliknya baru saja keluar dari sana. Dengan setelan santai khas remaja pada umumnya, tungkainya melangkah pasti menuju lobi.
"Permisi, letak kamar nomor seratus satu ada dimana ya?" tanyanya sembari mengedarkan pandang pada sekitar guna memindai apakah tempat ini aman untuk dirinya yang kerap kali waspada. Maklum, kunjungan pertama.
Petugas yang berjaga di lobi berdehem pelan. Dengan senyum yang masih terpatri apik di wajahnya, Ia lontarkan pertanyaan baru, "Ada keperluan apa ya kak?"
Laki-laki itu tersenyum. Hendak menjawab namun urung dilakukan kala netranya tangkap sosok yang baru saja keluar dari lift dengan seseorang yang Ia yakini adalah petugas dari rumah sakit jiwa tersebut.
"Engga jadi. I've found what I'm looking for. Thank you."
Ia beranjak dari sana. Buru-buru mendekat pada laki-laki yang sejak tadi dibantu berjalan. Tubuhnya tampak lemas, bibirnya juga pucat. Ia akan ambil kesimpulan dasar bahwa ketakutan terbesar dari laki-laki tersebut baru saja terjadi.
"Thanks for helping my friend. Sat, ayo. Sini tangan lo ke pundak gua," ucapnya. Segera mengambil alih bantuan dari tubuh Satya juga tas yang tersampir pada sosok yang tadi membantu sang kawan berjalan.
"Makasih," balas Satya lirih. Kekuatannya belum pulih bahkan untuk mengucap kalimat panjang atau bahkan bercerita.
Dengan bantuan sang kawan, kini berakhir lah Satya di kursi penumpang mobil hitam yang tadi terparkir seorang diri di depan rumah sakit jiwa.
"Tenangin diri lo dulu."
Satya mengangguk. Untuk kali ini Ia akan menuruti apa yang kawannya ucapkan. Satya tak akan protes, dirinya masih lemas luar biasa.
Ngomong-ngomong perihal kawan, yang tadi itu namanya Reyhan. Laki-laki yang mengulurkan tangan padanya saat dirinya tengah berada pada titik terendah jadi manusia.
"Ibu tadi ngamuk-" Reyhan mengangguk. Segera tancap gas dari sana sembari menunggu ucapan Satya yang dengan sengaja sang empunya jeda.
Satya menghela nafasnya lelah. Mencoba menetralkan degup jantungnya yang sampai sekarang masih saja berisik.
"Gua takut. Mau pulang."
Kendati dapat anggukan persetujuan seperti yang Reyhan biasa berikan padanya, kali ini justru terdengar protes keras dari sang kawan yang tengah sibuk mengemudi itu.
"Ga ada pulang. Lo mau Juju mati di sini?"
️️ ️️
️️️️
️️
️️ ️️
️️️️
️️----
Tubuhnya bersandar pada kepala ranjang dengan bantal sebagai tumpuan agar punggungnya tak terluka.
Tak jauh dari hadapannya, dua sosok anak manusia tengah beradu panco diatas meja bundar yang isinya sudah disingkirkan itu.
Entah apa maksudnya, Satya hafal betul bahwa dua kawannya itu tak mungkin uji kekuatan tangan sebab semua tau bahwa miliknya paling kuat disini.
"ANJING TANGAN LO CURANG ITU."
Satya terkekeh meski kini suara milik Azka-kawan yang juga mengulurkan tangan padanya kala Ia terjatuh-memekakkan telinganya hingga berdenging.
KAMU SEDANG MEMBACA
80 Hari Tanpa Temu
Fiksi PenggemarUntuk asa yang masih menggenggam erat tubuh manusia. Sejatinya Ia tak melukiskan luka, pun derai air mata. Tapi diantara tawanya, ada banyak luka yang disimpan baik-baik di sisi paling rapuh milik dunia. Ini kisah tentang si Amerta, abadi yang berdi...