"Stop Kak. Aku gak kuat."
"Dikit lagi Ca."
"Capek Kak. Berhenti dulu ya? please."
"Padahal kita sudah mau sampai."
Abang mengikutiku duduk di bangku setelah aku merebut air minum dari tangannya. Dia menatap aku yang sedang minum dengan rakus. Padahal kita sudah lari kurang lebih dua kilometer, namun dia masih kelihatan santai sementara aku sudah ngos-ngosan setengah mati.
Hal yang menyebalkan setelah Abang tau aku pengen diet adalah dia selalu mengajak, lebih tepatnya memaksa aku untuk ikut lari pagi di sekitar apartemen. Katanya daripada aku diet gak jelas, mending olahraga supaya badanku lebih fit.
Aku sebenarnya gak masalah dengan ajakan Abang untuk lari pagi. Tapi karena tinggi badan kami berbeda, otomatis panjang kaki kami juga berbeda. Alhasil, aku butuh tenaga yang lebih banyak untuk menyamakan lari Abang jika tidak ingin tertinggal. Tiap ku protes, dia malah menarik tanganku untuk ikut lari di sampingnya.
"Sudah Ca? lanjut lagi? sudah hampir sampai loh." Aku menggeleng. Abang gak liat aku masih susah napas?
"Jalan aja ya Kak? Aku gak kuat." Dia menatapku kasihan. Sementara aku melirik sekeliling, tangannya menyapu keringat di pelipisku tanpa rasa jijik.
"Sampai keringatan gini." Aku mengangguk dan menampilkan muka paling terdzolimi yang ku punya agar dia mau jalan saja.
"Mau digendong?" Apa-apaan!
"Alay ih. Emangnya aku anak kecil?"
"Katanya capek." Abang terkekeh. Aku menatapnya dengan malas. Iya, aku memang capek, tapi tidak sampai mesti digendong juga.
"Yuk."
Sesampainya di apartemen, Abang berinisiatif untuk membuatkan kami sarapan sementara aku hanya jadi penonton di meja bar. Abang tinggal sendiri di Amerika sejak masuk kuliah. Tidak heran sih, dia begitu lihai di dapur.
"Omeletnya sudah siap untuk Macan." Aku meliriknya sinis. Semenjak kemarin, dia selalu mengganti namaku dengan Macan. Biarpun artinya Mama cantik, tapi kalo didengar kesannya aku ini hewan buas.
Lagipula aku belum punya anak. Jangankan punya anak, belah duren aja aku belum pernah. Dicium juga rasanya masih kayak jatuh dari lantai sepuluh. Bikin jantungan coy!!
"Enak gak?" Aku mengangguk sambil memasukkan potongan kedua di mulutku.
"Enak Kak. Apalagi kalo Kakak yang bikin."
"Kamu mau buat aku terbang?" Abang menatap aku dengan tatapan menuduh. Aku cuman ketawa melihat reaksinya yang berlebihan. Padahal maksudku supaya dia yang buat sarapan tiap pagi. Kenapa Abang pikir aku mau gombalin dia?
"Jangan dong. Kalo Kakak terbang, yang jagain aku disini siapa?" Ucapku sambil memasukkan potongan omelet ke mulutnya walaupun sebenarnya dia punya porsi sendiri, tapi aku tertarik buat goda dia.
"Yayaya whatever."
Kami makan dengan lahap. Abang keenakan disuapi sehingga kami makan sepiring berdua. Saat ku suapi, dia sesekali mengacak atau memilin rambutku. Masih mending sih, karena sekarang matanya tidak berhenti menatapku, kan aku jadi malu.
Ponselnya berbunyi. Hal pertama yang kulihat sebelum dia mengangkat telepon di balkon adalah nama Jo yang terpampang di layar. Seingatku, dia adalah partner bisnis Abang di Amerika.
Raut wajah Abang terlihat berubah. Dia mengacak rambutnya dengan kasar dan mondar-mandir di sekitar balkon. Dia sepertinya sedang marah. Samar-samar aku mendengar geraman Abang saat berbicara dengan temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlayarnya Perahu Nyonya Rian (SELESAI)
General FictionUdah tiga hari ini aku bertapa sambil merenungi nasib di kamar setelah orang tuaku jelasin kenapa pulang mendaki tau-tau aku udah jadi istri orang. Kalo boleh jujur aku sangat-sangat tidak ikhlas dengan status baruku. Bayangin dong, aku nikah gak ad...