Chapter 4

8.1K 294 0
                                    

IRENA


Aku terbangun dengan keadaan yang kacau. Aku melihat ke bawah dan menemukan celana dan spreiku basah. Sialan aku kayak bocah puber aja pake mimpi basah segala, gara-gara Bang Ivan brengsek. Aku meraih handphone dan melihat waktu sudah menunjukan jam setengah 7 pagi. Aku meregangkan badan dan langsung masuk ke kamar mandi untuk bersiap pergi ke kantor. 45 menit kemudian aku sudah bergabung dengan Bang Dimas dan Kak Alana di meja makan. Sebelum turun tadi aku menyempatkan membuka sprei yang basah dan memasukannya ke tempat cucian.


"Nyenyak dek tidurnya?", kata Bang Dimas.

"Lumayan", jawabku sambil mengoleskan selai coklat pada roti.

"Hari ini kamu boleh balik cepet ya", kata Bang Dimas.

"Balik cepet gimana? Laporan buat rapat direksi belum selesai gara-gara Abang maksa aku pulang tadi malem", jawabku.

"Udah abang suruh Yanto buat selesain", jawab Bang Dimas tenang.

"Hah? Kok Abang suruh Mas Yanto sih? Itu kan tanggung jawab aku", kata ku sambil menatap Bang Dimas.

"Yang kamu kerjain udah cukup kok. Abang liat kerjaan kamu sekilas tadi malem, udah 80% selesai. Yanto tinggal selesain sedikit. Nanti sampai kantor kamu tinggal cek aja kerjaan Yanto", kata Bang Dimas.


Aku hanya menghela napas. Aku nggak terbiasa menghibahkan pekerjaanku kepada orang lain. Memang sih Mas Yanto itu orang kepercayaan Bang Dimas, pekerjaannya nggak mungkin mengecewakan tapi tetap saja aku nggak suka kalau pekerjaanku dikerjain orang lain. Selesai sarapan aku dan Bang Dimas segera menuju ke kantor sedangkan Kak Alana menuju rumah sakit tempatnya praktek.


Di tengah kemacetan aku diam sambil melihat pemadangan diluar yang dipenuhi dengan motor dan mobil. Jakarta dipagi hari memang selalu macet, padahal kantor mereka sudah sangat dekat.


"Dek", panggil Bang Dimas. Aku menoleh kepada Bang Dimas.

"Abang mau kenalin kamu sama adik kelas Abang. Umurnya diatas kamu 1 tahun", katanya. 


Wajahku langsung mengeras.


"Gak", tolakku.

"Mau sampai kapan kamu terjebak di masa lalu kayak gini terus? Udah 3 tahun loh dek", kata Bang Dimas. Aku hanya diam menatap keluar jendela. Tak terasa air mata sudah memenuhi mataku. Ketika setitik air mata itu jatuh aku langsung mengusapnya dengan kasar. Bang Dimas menghela napas melihatku seperti itu.

"Abang cuman mau kamu bahagia", kata Bang Dimas sambil mengusap belakang kepalaku.


10 menit kemudian kami sampai di kantor. Aku dan Bang Dimas naik lift sampai ke lantai 30. Lift ini khusus untuk petinggi di kantor. Kantor pusat milik keluarga Papaku ini memiliki 33 lantai. Aku, Bang Dimas, beberapa Om Tante dan sepupu ku menempati lantai 30. Lantai 32 dijadikan taman buatan, banyak pohon dan tanaman yang tersebar di seluruh penjuru lantai ini. Juga kursi-kursi dan beberapa meja untuk bersantai. Di lantai 33 terdapat helipad yang biasa dipakai ketika ada keadaan darurat atau salah satu dari kami memerlukan helicopter. Lantai berhenti di angka 30.


Bang Dimas melangkah keluar tapi aku nggak mengikutinya keluar. Bang Dimas menoleh ke arahku. Aku bilang pada Bang Dimas kalau aku mau ke rooftop dulu. Bang Dimas menatapku khawatir, tapi aku tersenyum menenangkan. Akhirnya Bang Dimas mengangguk lalu aku segera memencet angka 32. Sampai di rooftop keadaan masih sepi, hanya ada aku sendiri disana. Aku menuju ke spot favoriteku. Aku duduk di kursi sambil memandang kemacetan Kota Jakarta dibawah sana.

Love, It's Not Over (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang