empat

3 0 0
                                    

6 September 2016

Hari ini hari kedua ospek berlangsung. Bakda subuh Aku mulai siap-siap karena harus mengemas beberapa pakaian. Lebih pagi dari kemarin. Karena yang mengantarkanku ke kampus orang yang berbeda.

Semalam sepulang dari indekos Hana, Bapak menelepon kalau ternyata ada anak Pakde, yang masih punya hubungan darah sama almarhum Kakek, tinggal indekos tidak jauh dari kampus. Tidak keberatan Mba Nina, orang yang dimaksud Bapak, bila Aku tinggal sementara bersamanya. Setidaknya selama ospek. Supaya lebih dekat jarak tempuh dan tidak khawatir terjebak macet dikarenakan pelaksanaan ospek dari pukul delapan, dan macet biasanya tidak mentolelir itu dikarenakan bersamaan dengan orang berangkat kerja dan sekolah. Iya, ini kota besar. Jadi tidak heran kalau ingin tepat waktu maka harus bisa mengusahakan lebih dulu.

Mba Sanah sudah tahu, karena Bapak menelefon ketika Mba Sanah belum pulang dari mengantarkanku.
Aku bergegas ke bawah. Berpamitan dengan Mba Nay dan tanpa sarapan karena aku telah dijemput oleh Mba Nina. Selain itu, Mba Nina mengingatkan via sms untuk tidak usah sarapan. Aku nurut saja.

Mba Nina mengajakku sarapan terlebih dahulu tak jauh dari kampus.
Rezeki mahasiswa, sarapan enak tanpa biaya. Selain di rumah Mba Nay, tentunya.

Mba Nina yang dapat shift pagi harus cepat sampai Rumah Sakit Medika tempat ia magang. Ternyata dia mahasiswa menuju akhir, aku tidak paham bagaimana detilnya, ketika Mba Nina cerita Aku kebanyakan manggut-manggut dan ber-oh ria.

"Nanti tinggal bm aja pulang jam berapa. Biar aku jemput." Ucap Mba Nina setelah memberikan pin bbm.

Setelah Mba Nina berpamitan aku masuk ke area kampus. Keadaan masih sama. Sepanjang langkah kakiku, seperti berjalan di antara manekin-manekin. Atau mungkin aku seorang yang monokrom. Tidak satupun dari mereka yang ku kenal, atau menyapa basa-basi, Aku pun tak punya pikiran untuk inisiatif sok akrab meski sama-sama mahasiswa baru.

Sampailah pada lapangan yang menjadi lokasi ospek. Serius, baru kali ini aku sekolah di kampus besar dan mahasiswa yang amat banyak. Bisa dibilang aku masih culture shock.
Banyak yang tidak pakai jilbab, lalu mata sipit dan berkulit putih, sebagian berbicara menggunakan bahasa daerah.

Aku merasa 'ternyata kalau Aku keluar, bumi seramai ini'

Aku mengupayakan diri berjalan biasa, padahal sebetulnya Aku memerhatikan hiruk pikuk orang-orang sepanjang Aku melintasinya.

"Sa!"

"Isa!"

"Ayudishaaa"

Aku menoleh ke sumber suara. Kencang sekali dia menggemakan namaku.
'Isa' yang kudengar panggilan untukku rupanya.

"Belum sempet beli katembat apa gimana?" Ledek pemanggil, Hana.

"Baru kali ini dipanggil Isa, Aku jadi nggak merasa. Maaf, ya."

"Ya kan itu bagian dari nama kamu. Kepanjangan, Sa, kalau harus dari Ayu."

"Oke, Aku kunci cara panggil kamu. Biar lain kali nggak bolot lagi."

Hana terkekeh mendengar pernyataanku.

"Kamu mau manggil Aku apa, Lin?" Tanyaku pada Balin yang sedang mengunyah.

Balin menyodorkan kotak bekal ke hadapanku, terdapat roti isi sayur sebanyak tiga potong berbentuk segitiga siku-siku. Aku heran sebentar, roti kok campur sayur, aneh. Maklum, lidah kampung.
Tapi ku ambil juga, penasaran rasanya.

"Sesuai mood." Jawabnya singkat dan nggak jelas. Dia emang paling irit bicara, tapi nggak kulkas. Masih ramah dan so funny kalau di ajak ghibah. Eh, cerita maksudnya. Seperti di kantin kemarin saat bersama cowok asing. Lebih mengakrabi dia daripada Aku.
Ah diingat lagi.

Dua SemesterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang