Tak terasa perkuliahan telah berjalan di minggu ke empat. Aku memutuskan menumpang di indekos Mba Nina. Jika rencana awal hanya selama ospek, ternyata setelah dibicarakan kembali dengan orang tuaku, atas saran Mba Nina, akhirnya aku jadi menetap di indekos Mba Nina. Kata Mba Nina mengantisipasi seringnya bolak-balik terlalu jauh. Belum lagi terjebak macet, terlebih saat ada keperluan tidak terduga. Jika dibandingkan dengan Jakataring, Pukang—daerah indekos Mba Nina--lebih dekat dengan kampus.
Orang tua ku tentu menyetujui kebaikan hati Mba Nina yang bersedia memberi tumpangan selama putrinya ini belum mendapat indekos sendiri. Selain menghemat waktu, juga akan lebih mudah belajar mandiri karena jarak tempuh yang dekat, jika sebelumnya selalu merepotkan Mba Sanah untuk antar jemput.
Hingga, sebagai rasa terima kasih, baik kepada keluarga Mba Nayli ataupun Mba Nina, orang tuaku jauh-jauh dari Waykanan memamitkanku untuk pindah ke tempat Mba Nina. Mba Nay sedikit keberatan. Meski begitu, tidak bisa berbuat banyak. Karena demi kebaikanku juga supaya lebih dekat jarak tempuhnya. Lagipula Mba Sanah tidak bisa setiap waktu mengantarkanku karena urusan pekerjaan, alternatif lain ya kalau bukan ojek online berarti mencari angkutan umum.
Tarif ojek online sangat mahal, membuatku berpikir ulang pakai jasa tersebut. Sedangkan untuk menunggu angkot, jarak antara jalan raya menuju lokasi perumahan Mba Nay cukup sepi dan rawan, Mba Nay khawatir kalau membiarkan Aku pulang-pergi sendiri. Jadi, menetap dahulu di indekos Mba Nina dirasa menjadi pilihan terbaik untuk sementara ini.
Meski begitu, Aku sesekali bertandang kerumah Mba Nay jika Mba Nina libur kuliah dan magang, karena jujur saja belum berani naik angkot sendiri dalam jarak tempuh jauh, takut salah naik angkot. Untuk ke kampus kalau Mba Nina tidak bisa mengantar saja aku di jelaskan hati-hati dan rinci sekali soal angkot mana yang harus ku tumpangi untuk menuju kampus. Padahal rutenya hanya satu jalur.
Hari ini Aku diantar Mba Nina, biasanya Mba Nina berangkat lebih pagi sebelum aku bersiap. Kali ini katanya ada sedikit kelonggaran karena entah apa aku tak menyimak dengan baik lantaran sibuk membetulkan helm yang ku pakai.
Aku berjalan sendiri masuk ke kampus, seperti biasa. Terlihat nyaris mencapai tangga gedungku ada cowok yang berjalan sedikit terburu, seperti yang kutemui dihari pertama masuk, dan seperti biasa memang begitu cara dia berjalan.
Masih ingat dengan cowok yang kubilang harum dan rapi? Namanya Devan Majendra. Satu kelas denganku. Tapi karena kepribadiannya yang menurutku pendiam, Aku tidak berani menyapanya duluan, jadi hanya memandangnya dari kejauhan.
Hah? Memandang? Apaan!"Dis." Panggil seseorang dari belakang.
Ternyata Divya, teman se-kelas yang pernah satu duduk denganku saat Balin dan Meita absen dihari yang sama.
Aku menoleh dan berhenti menunggunya untuk berjalan beriringan.
"Gimana Pancasila, udah selesai?"
"Aduh Vy, kamu nggak ada topik lain? Aku denger aja udah males duluan." Keluhku mengawang langit dan menghadap depan lalu meluruhkan bahu. Ternyata cukup menjadi mula yang menguras otak, baru seukuran tunas sudah mulai di beri tugas berdesakan, yang dominan adalah makalah.
Divya terkekeh mendengar responku. "Nggak boleh gitu, Dis. Kamu nggak lupa kan kata Pak Adit di hari pertama kita masuk kuliah?"
"Ya tapi ini terlalu dini nggak sih? Bisa-bisanya saat Dosen lain memulai hari pertama dengan kenalan dan kontrak kuliah, dia langsung membagi kelompok dan memberi tugas. Kaget Aku."
"Haha. Beneran, beliau emang mantap jiwa. Kacamata kunonya seakan menjawab kepribadian disiplin nggak pandang bulu."
"Enggak tau deh. Pokoknya Aku belum nyari-nyari referensi. Kamu nanyanya juga bikin males, jangankan selesai, mulai aja belum, Vy. Lagian temen-temen sekelompok belum ada yang inisiatif buat bahas loh. Aku ikut tenang dong."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Semester
Non-Fiction"Ini kisahku. Gadis biasa saja yang dijemput cerita penuh kejutan. Keterbaharuan yang bertubi-tubi, membawaku pada langkah mendidik diri." Pipit- Hai. Sini, mampir. Cerita ini terinspirasi dari kehidupan penulis. Tidak sama persis. Banyak yang kurom...