Sebenernya engga ada yang tau sejak kapan kita mulai kenal. Aku ataupun Jake engga pernah bahas ini secara serius. Tapi ya untuk apa juga kami bahas ini, ya?
Tapi yang aku ingat, saat itu masuk musim hujan di Kota Bandung. Aneh sekali, padahal baru bulan Juli. Seperti biasa, rumahku akan ramai oleh orang-orang yang sibuk mempersiapkan harinya, termasuk aku yang masih bergulat dengan alat pelurus rambut turunan dari kakakku. Dari dalam kamar, aku sudah bisa membayangkan bagaimana kacaunya keadaan di luar. Mungkin Juan yang sibuk mencari dasi yang entah sudah berapa kali hilang, Kak Nagita yang mencari pelurus rambut, Mama sibuk dengan masakannya, dan Papa dengan kunci mobilnya siap mengantar kami semua sekolah.
Sebagian siswa kelas 11 sudah merasa dirinya adalah senior, sehingga ketertarikan untuk datang pagi ke sekolah pun sudah makin berkurang. Tentu, ini juga terjadi padaku. Hari itu, untuk kesekian kalinya, aku sampai di sekolah tepat saat Pak Budiman (satpam sekolah ku) siap mengunci gerbang warna coklat tersebut.
"Telat lagi, Neng?" Katanya.
"Iya nih pak, hehe. Sabar atuh, Pak, jangan dulu di tutup."
Tidak banyak yang menarik disekolahku. Seperti layaknya sekolah publik pada umumnya, kok. Hanya saja, hari itu agak berbeda. Jauh di gedung seberang, aku melihat walikelas ku sedang mengobrol dengan seorang pria, dan biar aku tebak, mungkin orang disamping pria itu adalah anaknya? Sesaat aku berhenti, karena anak itu lumayan berbeda dengan kami. Hidung yang mancung, mata sedikit sipit (tidak bermaksud menghina lho!), dan seragam sekolah yang asing.
Waktu Jake aku ceritakan tentang hari itu, dia tertawa sangat kencang. "Terus kamu gimana tuh abis liat aku?", katanya.
"Ya engga gimana-gimana," masih dengan rasa malu aku melanjutkan. "Aku mulai sukanya waktu kamu pertama kali ngomong sama aku."
Ternyata, anak yang aku lihat pagi hari akan menjadi murid baru di kelas ku. Iya, itu Jake hahaha!
Dia memperkenalkan diri dengan canggung. Suaranya agak aneh, selain kecil dia juga terlihat masih terbata-bata. "Hallo aku Jake, dari Brisbane Australia."
Suasana kelas jadi ngga kondusif saat Jake menyebutkan kata 'Brisbane' yang merujuk ke suatu kota di Australia. Aku dan Satya yang saat itu kebetulan duduk bersebrangan mulai saling melirik, haha mungkin mata kita sama-sama mengatakan, "Ooh pantesan ya kayak baru bisa belajar ngomong."
Bu Fatima mempersilahkan Jake untuk duduk dengan Satya. Aku bisa melihat senyum lebar Satya karena akhirnya kutukan duduk sendiri karena jumlah murid yang ganjil pun berakhir. Mereka terlihat masih saling diam sampai akhir jam pelajaran kedua. Harusnya, aku dan Satya langsung berlari ke kantin agar ngga kehabisan mie ayam. Tapi karena ada Jake, kami terpaksa tetep duduk di bangku masing-masing, hingga hanya tersisa kami bertiga di kelas.
"Kalian kalau mau ke kantin boleh. I'll stay here."
Itu pertama kalinya Jake mengeluarkan suara sejak kedatangannya di kelas. Aku dan Satya sedikit kaget dan kembali saling bertatap. "Oh oke deh, kita ke kantin ya." Satya akhirnya membuka suara. Dia menarik ku dengan sedikit 'maksa' sambil ngga berhenti mempertanyakan kenapa sih Jake kayak ngga mau ditemenin?
Hari demi hari berlalu, Jake masih setia dengan sikap diamnya setiap hari. Satya juga makin malas untuk berinteraksi lebih dengan Jake. Akupun sebenarnya sudah melupakan niat untuk menjadi teman Jake sampai akhirnya pada hari Selasa di jam istirahat dua, tubuh yang ku nantikan sejak hari pertama berdiri tepat di samping mejaku.
"Laura, Can we go together? Idk, i was forced by him for asking you."
Dan aku melihat Satya mengedipkan sebelah matanya sambil menyunggingkan senyum penuh kemenangan.
-
--
Juan (Laura's Brother)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Little Aussie Boy Named Jake
Fiksi PenggemarHallo, ini Satya dan Laura. Hari ini cuaca cukup bagus dan sejuk untuk menceritakan sahabat, teman, keluarga, dan bagian dari hidup kami yaitu Jake Scoripius Sumatja. Ayo duduk, dan kami akan ceritakan pada dunia bahwa dulu, ada manusia paling baik...