Darah

9 0 0
                                    

Keadaan rumah berubah menjadi hening. Leo dan Lina meninggalkan rumah dengan alasan ada pekerjaan. Ale membuka pintu dengan mata yang sembab. Ia mengambil air minum dari kulkas. Menuangkan air ke dalam gelas. Ia menatap pintu kamar Leo dan Lina. Hening.

Ale duduk di sofa. Meletakkan gelas di meja kaca. Ia mendengar seseorang dari luar sedang membuka pintu.

"Papa?"

"Anak papa belum tidur ya?"

"Belum, Pa,"

"Maafin papa dan mama ya,"

"Tidak, Pa. Maafin Ale sudah mengecewakan kalian,"

"Mama di rumah?"

"Ale sendirian, Pa. Barusan mama telepon katanya belum bisa pulang,"

"Mama?"

"Iya. Papa bawa apa itu?"

"Papa bawa sesuatu buat kamu" lelaki itu menyerahkan kantong yang dibawanya.

"Wah boneka kelinci"

"Ale suka?"

"Suka banget, Pa. Terima kasih, Papa Leo yang tampan,"

"Iya tentu. Papa kan memang tampan sejak dulu" Leo tersenyum melihat Ale.

"Papa narsis banget" mereka berdua tertawa.

"Sudah malam, ayo tidur. Besok Ale pergi sekolah, nanti terlambat" ucap Leo setelah melihat jam dinding.

Leo mengantar Ale ke kamar. Ale meletakkan boneka kelincinya di lemari kaca bersama dengan boneka lainnya. Leo mematikan lampu dan menutup pintu kamar Ale.

Keesokan harinya, Ale terbangun karena bunyi alarm di ponselnya. Ia duduk di tepi ranjang mengumpulkan nyawa sebelum mandi.

Ale menyisir rambutnya yang panjang.

"Sepertinya papa belum bangun, aku bangunin papa, deh,"

Ale meletakkan sisir di meja. Ia membuka pintu kamarnya. Berjalan menuju kamar Leo yang berada di samping kamarnya.

"Pa, bangun sudah pagi" Ale mengetuk pintu kamar Leo.

"Pa, Ale masuk ya,"

Tidak ada jawaban. Ale pun memutar handle pintu. Ternyata pintunya tidak terkunci.

"Papa ke mana, ya? Kok tidak ada,"

Ale mencari Leo ke ruang tamu namun tidak ada. Ia melihat pintu rumah terkunci.

"Pintunya masih terkunci. Papa ke mana ya? Apa papa sedang masak buat sarapan, ya?"

Ale berjalan hendak ke dapur. Namun ia terkejut melihat Leo terkapar dengan bersimbah darah.

꧐꧐꧐

Garis polisi melingkari rumah Ale. Para polisi berdatangan menyelediki kasus yang diduga pembunuhan. Ale menangis melihat jenazah Leo yang terkapar dengan darah yang mengalir dari tubuh Leo.

"Papa"

"Ale, papa kenapa?"

"Ma, Ale takut. Ale takut"

"Kamu tidak apa-apa?" Ale menggeleng.

Suara sirine mobil polisi terdengar sahut-menyahut di depan rumah Ale. Para warga berdatangan dengan rasa ingin tahunya.

"Pak polisi, usut tuntas kasus ini. Cari siapa pelakunya"

"Baik, Ibu. Kami akan mengusut kasus ini"

꧐꧐꧐

Semenjak kejadian tersebut, Ale selalu mengurung diri di kamar.

"Siapa yang membunuh papa, Ma? Siapa?"

"Ale, polisi yang menyelidiki kasus papa sudah menghentikan penyelidikannya"

"Kenapa polisi menghentikan penyelidikannya, Ma? Polisi sudah menangkap pelakunya?"

"Polisi tidak mengetahui siapa pelakunya, Ale. Karena tidak ada jejak buktinya. Polisi mengatakan, papa meninggalkan karena bunuh diri" Lina meneteskan air matanya.

"Papa tidak mungkin bunuh diri, Ma. Papa dibunuh, aku harus mencari siapa pembunuh papa"

"Sayang tenang, tenang. Ikhlaskan kepergian papa sayang"

"Tidak bisa, Ma" Ale dan Lina menangis. Tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikhlaskan kepergian Leo.

Sisi LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang