28. Night Changes

602 83 6
                                    

Antusiasme dari kalian semua bener-bener bikin aku semangat untuk melanjutkan cerita ini 😭 percaya ga percaya, aku udah mulai memikirkan ending yang tepat untuk ceritaku yang satu ini.

Pertanyaannya adalah, apa kalian siap untuk berpisah dengan Ian dan Stella? AHAHA aku sih belum 😭

[Spesial untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia 🇮🇩 aku membuat part ini panjang-panjang! Bacanya pelan-pelan aja ya gais, bisa dicicil sampe aku update lagi di hari jumat ehehe]

HAPPY READING AND ENJOY 💫

*

28

tling... tling... tling...

Sepasang kelopak mata tebal milik seorang pria yang telah memejamkan matanya selama dua jam, nampak bergerak pelan saat ponselnya berdering kencang tanda adanya sebuah panggilan darurat yang masuk ke dalam sana. Dinamakan darurat karena hanya beberapa orang yang diijinkannya untuk menganggu tidur malamnya. Termasuk seorang wanita yang langsung membuat kesadarannya terkumpul sempurna saat suara tangis ketakutannya memenuhi pendengarannya.

"Stella, ada apa? Kau baik-baik saja?" cecar Ian dengan rasa khawatir yang membuncah hebat mendengar suara tangis sesenggukan di seberang sana "Tenanglah, katakan pelan-pelan."

"Ian—tolong aku... Aku takut sekali..."

Ian dapat merasakan seluruh tubuhnya menegang hebat mendengar tangis sesenggukan itu. Kakinya beranjak turun dengan tergesa dan meraih kunci mobilnya yang tergantung di dekat ruang santai di dalam kamarnya.

"Jemput aku sekarang, aku—aku takut sekali. Aku ti—tidak mau disini... Tolong aku, Ian..."

"Baiklah." Ian merampas kunci mobilnya dan berlari cepat keluar kamar "Tetap di kamarmu. Ambil barang yang bisa kau bawa, dan turunlah ke basement saat aku sudah tiba."

"Ba—baiklah... Kumohon cepatlah..."

Ian menggerakkan kakinya untuk berlari di sepanjang tangga yang reflek membuatnya mengumpat pelan saat kakinya nyaris terkilir saat ia melompati beberapa undakkan tangga sekaligus. Persetan dengan apapun, ia harus tiba secepat mungkin untuk menjemput wanita yang kini menguasai seluruh pikirannya.

*

Stella mengetatkan pelukannya pada boneka beruangnya erat. Terus membenamkan wajah pucatnya dengan air mata yang tidak kunjung berhenti. Sampai akhirnya ponselnya berdenting singkat dan memunculkan sebuah pesan yang dinantikannya.

Turunlah, aku akan menunggu di depan lift

Tanpa membuang waktu, Stella melompat turun dari kasur besarnya dan meraih koper darurat yang berada di bawah meja rias. Menariknya cepat dan berlari keluar kamar.

"Tidak, tidak, jangan membayangkannya lagi!" bentak Stella gemetar. Terus berlari menuruni tangga dan mengabaikan bunyi berisik dari kopernya yang berbenturan dengan setiap undakkan tangga yang dilewatinya.

Stella berlari cepat di sepanjang ruang tamu dan membuka pintu apartemennya dengan ketakutan yang membuncah hebat saat keheningan kembali menyadarkannya bahwa ia hanya sendirian di tempat ini. Bahkan setelah ia berhasil membuka pintu rumahnya, ia masih harus menghadapi rasa mencekam yang begitu pekat kala melewati lorong panjang untuk mencapai lift yang berada di ujung lorong.

ting!

Stella berlari masuk ke dalam lift. Berdiri di sudut ruangan setelah menekan tombol terbawah untuk tiba di basement. Wajahnya terbenam takut pada boneka beruang besar yang tidak berani dilepasnya sejak tadi. Tangisnya pecah saat pintu lift di hadapannya kembali terbuka dan memunculkan seorang pria yang langsung mendekapnya erat sesaat setelah ia melangkahkan kakinya tergesa dari dalam lift.

Love Is In The Building | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang