***
"Menurutku netral warna abu-abu monyet!"
"Heh! Kerenan warna Hijau tai kuda!"
"Biru daun aja Gar!
"Goblok! Mana ada biru daun!"
"Ada! Biru daun itu warna hijau versi Faruq!"
Dan suara-suara makin nyaring bersahutan, diiringi tawa dan teriakan dari segala penjuru ruang serba guna milik fakultas yang kami pinjam siang ini, untuk mengumpulkan teman-teman seangkatanku. Karena kalau di ruang kelas biasa enggak akan cukup.
Faruq yang namanya disebut malah cengengesan. Sepanjang yang aku tahu, dia enggak pernah marah ketika teman-teman menjadikan kata biru daun sebagai guyonan. Berawal ketika kami harus mengerjakan tugas mata kuliah Geomorfologi, membuat gambar peta kontur dua dimensi menjadi tiga dimensi secara manual, dan saat proses mewarnai Faruq sempat menyebutkan warna biru daun yang membuat kami sama-sama melongo. Sadar enggak ada yang paham, dia langsung meralat dengan menyebut warna hijau. Dia bilang, meski enggak semua, tapi ada beberapa orang di keluarganya yang berasal dari Pulau Garam, menyebut warna hijau dengan biru daun.
"Sudahlah, pakai warna kuning telur busuk aja!"
"Mulutmu itu yang busuk!"
Sontak aku menggebrak meja, membuat semua yang ada di ruangan terdiam sambil melihatku.
"Tertib, atau aku putusin kita pakai warna pink barbie!" ancamku.
"Astaghfirullah!"
"Tuhan Yesus!"
"Woy! Enggak bisa gitu dong Gar!"
Dan teriakan-teriakan protes lainnya terus bersahutan, membuatku berbalik untuk menghadap Pak Daya. Dia justru terlihat tenang, sambil duduk manis di tempatnya, bahkan sempat-sempatnya tersenyum padaku. Padahal maksudku menengok ke arahnya biar dia tahu kalau aku enggak sanggup lagi mengendalikan 123 orang bar-bar di hadapan kami. Mereka sudah rusuh sejak memasuki ruangan. Maklum, jarang-jarang kami bisa kumpul satu ruangan kalau enggak ada momen-momen khusus.
"Cie-ciee, minta dukungan Pak Daya biar bisa pakai pink barbie!"
Yang barusan aku tahu suara siapa, Satya, yang sedari tadi juga ikut kasih usulan tapi enggak ada satupun usulannya yang benar. Seperti biasa, kebanyakan dari mereka malah menjadikan momen semacam ini sebagai ajang melempar jokes enggak jelas. Lain cerita kalau yang berdiri di depan kelas adalah senior, enggak akan ada yang berani mulutnya celamitan. Dan aku sudah bilang ke Pak Daya tentang hal ini, ajak satu atau dua asisten KL, tapi beliau menolak dengan alasan yang sama seperti yang dikatakan dua hari lalu.
Gara-gara ledekan Satya, yang lain akhirnya ketularan dan enggak mau kalah ikut menimpali. Ada yang bersiul, ada yang berdehem, ada yang batuk-batuk, bahkan ledekan jahil bersahutan, dan aku terpaksa menebalkan telinga. Sebab kalau sekalinya kuladeni, enggak akan ada akhirnya.
"Oke, semuanya tenang," kata Pak Daya akhirnya usai menyalakan mikrofon yang ada di meja. Sedangkan aku masih berdiri di mimbar, kembali menghadap ke teman-temanku.
Suasana sedikit lebih kondusif setelah Pak Daya bersuara.
"Supaya penentuan warnanya enggak terlalu luas, saya sarankan pilih warna cerah, karena itu akan mempermudah melihat teman-teman kalian dari jauh nantinya. Kalau bisa hindari warna hijau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuliah Lapangan
Teen FictionBagi kami mahasiswa jurusan Geologi, enggak perlu naik gunung buat tahu sifat asli seseorang. Saat fieldtrip, semua itu sudah mulai terlihat, mana yang bisa diajak kerja sama, dan mana yang enggak. Apalagi saat Kuliah Lapangan, kenapa? Karena selama...