-7-

10.5K 2.5K 342
                                    

***

"Bang, jek suwe tah iki?" tanya Satya ke Bang Naka, yang baru saja kembali dari toilet.
(*Bang, masih lama ya ini?)

"Masih, kenapa?"

"Luwe."
(*Lapar)

"Itu sepatumu nganggur, jilat-jilat aja dulu."

Sontak saja Restu dan Pandu tertawa mendengar jawaban Bang Naka yang sudah kembali duduk.

Selain ramai oleh tawa dan obrolan teman-teman yang lain, kudengar di bagian belakang malah ada yang tengah menyanyi diiringi petikan gitar. Kemungkinan besar Lembah yang main gitar, karena saat di stasiun subuh tadi, kulihat dia membawa gitar.

"Nggak berat bawa gitar?" tanyaku ketika kami mengantri cek tiket.

"Kenapa? Mau bawain?"

"Dih!" balasku ke Lembah yang menengok ke belakang, karena dia memang ada di depanku. "Cuma mau nanya doang!"

"Kalau nanya enggak membantu meringankan beban orang, enggak usah nanya," timpal Lembah lalu dia kembali lihat ke depan

Aku cuma bisa menunjukkan tinjuku dengan raut masam di belakangnya.

"Judesnya ngalah-ngalahin ibu tiri!" sindirku.

Lembah enggak menoleh lagi ke belakang, tapi tangan kanannya terangkat dan menunjukkan ibu jari yang aku yakin ditujukan padaku.

Napasku langsung terhela kasar, rasanya Lembah enggak akan banyak membantu menormalkan kondisi kelompokku seperti harapan Bang Naka. Yang ada, dia justru bisa bikin kelompokku makin kacau.

"Ngelamunin apa?" tanya Pandu, membuatku yang semula tengah menikmati barisan sawah yang berlalu cepat, refleks melihat ke arahnya. "Aku loh ada di depanmu," guraunya.

Aku langsung menunjukkan ekspresi malas. Setelah Domi menceritakan MOPnya tadi, aku sempat tertidur sebentar, lalu terbangun gara-gara tawa teman-temanku dari arah belakang.

"Bang Naka, Gara katanya lapar juga!" seru Satya yang nampaknya belum terima dengan respon Bang Naka tadi.

Waktu kusikut pinggangnya, Satya malah menjulurkan lidah untuk mengolokku.

"Enggak usah teriak-teriak selagi sepatunya masih lengkap!"

"Jadi tikus aja dulu kalian berdua," celetuk Mas Daud.

Restu langsung mendengkus geli mendengarnya, sementara aku cuma bisa berdecak sebal.

"Tiket dan tanda pengenalnya tolong disiapkan," seru petugas yang baru saja masuk ke gerbong kami.

"Heh, aku engkok nyeleh ktpmu po'o?" pinta Pandu ke Restu.
(*Heh, aku nanti pinjam ktpmu dong?)

"Lapo? Nang endi ktpmu?"
(*Kenapa? Di mana ktpmu?)

"Mau lak nggowe seh awakmu pas check in?" timpal Satya.
(*Tadi kan kamu bawa pas check in?)

"Onok, nang sak celono. Aku males ngadeg." Pandu menjawab dengan enteng, tapi jelas bikin kesal kami yang mendengarnya.
(Ada, di saku celana. Aku malas berdiri.)

"Raimu, cuk!" umpat Restu. "Tiwas aku serius seng ngerungokno!"
(*Mukamu, cuk! Terlanjur aku serius dengerinnya!)

"Njaluk dibeleh arek iki sawangane," sambung Satya.
"Minta digorok anak ini kayaknya)

Kuliah LapanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang