***
Aku mengerjap menatap hasil undian kelompok KL. Alam seperti berkonspirasi untuk membuatku sengsara selama KL nanti.
Dari 123 orang yang ada, bagaimana bisa aku sekelompok dengan lima orang yang biasa menemaniku setiap hari?! Benar-benar kelimanya!
Satya dan Pandu jelas yang paling senang bukan main. Satu kelompok dengan Langit, Aris dan Restu jelas jadi keuntungan besar, karena ketiganya cukup berprestasi sejauh ini. Setiap akhir semester, index prestasi ketiganya enggak pernah di bawah 3,6. Apalagi Langit dan Aris, dua semester terakhir ini IP mereka nyaris sempurna.
"Namanya jodoh, enggak akan ke mana, iya kan Gar?" tanya Satya sambil menaik-naikkan alisnya untuk menggodaku.
Dia jelas tahu, kalau aku berharap enggak akan satu kelompok dengannya atau Pandu, tapi aku justru dapat keduanya.
"Jodoh matamu!" umpatku galak, lalu beranjak pergi dari papan pengumuman, sementara Satya yang hari ini menemaniku mengecek papan pengumuman malah tertawa di belakang.
Empat teman kami yang lain sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Restu dan Aris harus ke loket, mengurus pembayaran KL, Pandu pamit buat mengurus surat keterangan sehat di puskesmas dekat kosnya, sementara Langit sedang di ruang rektorat, menemui dosen kami yang menjabat sebagai Wakil Rektor bidang akademik. Entah ada urusan apa, sepertinya enggak akan jauh-jauh dari proyek, karena Langit, dan Aris juga sebenarnya, sudah diincar beberapa dosen untuk membantu mengerjakan proyekan mereka.
"Semakin kamu menghindar, justru Tuhan akan semakin dekatkan loh Gar, masak belum paham juga sih?"
Satya berhasil menyusulku, lalu melingkarkan lengannya di pundakku selagi kami menyusuri lorong.
"Kayak, semakin kamu menghindari Pak Daya, semakin sering kamu berurusan dengannya, iya enggak?"
Aku refleks menyikut perut Satya, dan dia mengaduh sebentar, lalu terkekeh.
Bukan rahasia lagi, betapa seringnya Pak Daya memanggil namaku di kelas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dia berikan. Padahal di dalam kelas ada 40 orang, tapi anehnya aku justru merasa seperti cuma aku satu-satunya yang menghadiri kelas, saking seringnya namaku yang dipanggil. Dan teman-temanku menjadikan itu sebagai bahan untuk menggodaku.
"Sekarang kamu lebih milih mana? Berjodoh sama salah satu dari kami berlima, atau Pak Daya?"
"Enggak semuanya!" sahutku tanpa pikir panjang, dan Satya lagi-lagi tertawa.
"Dan kenapa juga asistennya musti Bang Naka?" keluhku lalu membuang napas kasar.
Masih dengan sisa tawanya, Satya menepuk-nepuk ringan bahuku.
"Ini namaya rejeki, Gar."
"Rejeki apaan? Azab kayaknya baru bener!" gerutuku, dan tawa Satya kembali terdengar.
Namanya Tanaka, tapi kami memanggilnya Naka, senior yang pernah jadi asisten praktikumku di semester satu dan dua. Galak? Iya. Ribet? Iya juga. Suka ngerjain praktikan? Iya banget!
Jadi, sedikit banyak aku sudah bisa membayangkan bagaimana rasanya ketika dia jadi asisten kelompok KL. Aku yakin, dia enggak akan ragu buat ngerjain kami nantinya.
"Azabnya di kamu aja kayaknya, kalau aku jelas ketiban rejeki!"
"Sialan!" umpatku.
Satya langsung mencubit bibirku dengan tangannya yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuliah Lapangan
Teen FictionBagi kami mahasiswa jurusan Geologi, enggak perlu naik gunung buat tahu sifat asli seseorang. Saat fieldtrip, semua itu sudah mulai terlihat, mana yang bisa diajak kerja sama, dan mana yang enggak. Apalagi saat Kuliah Lapangan, kenapa? Karena selama...