-18-

10.4K 2.4K 499
                                    

***

"Ini kita dikerjain kan?" tanyaku sambil melihat teman-temanku yang mulai melepas sepatu, dan menggulung ujung celana hingga di atas lutut.

"Kayak enggak tahu kelakuan seniormu aja," sahut Satya asal, lalu kena geplak pakai ranting oleh Bang Naka yang duduk di sampingnya.

"Ngomong lagi coba?!"

"Kayak enggak-"

Ucapan Satya terpotong oleh tawanya sendiri, karena dia berusaha menghindari ayunan ranting Bang Naka, tapi jelas dia enggak berhasil. Posisi duduknya bikin Satya sangat mudah dijangkau oleh tangan Bang Naka.

"Ngit, ranselmu masih muat enggak?" tanya Restu sambil mendongak menatap Langit yang sudah selesai menggulung celananya.

"Buat apa?"

"Nitip sepatu," jawab Restu dengan muka nyebelin waktu kutengok.

"Cuk!" umpat Langit kesal, lalu dia jalan duluan. Meninggalkan Restu yang tertawa karena respon Langit.

"Awas kintir yo!" seru Restu ketika melihat Langit mulai memasuki sungai, menyusul teman-teman kami yang juga sudah mengikuti langkah pemateri dan beberapa dosen. Sementara sebagian dosen lagi menunggu kami yang masih di bibir sungai.

Sungai yang akan kami seberangi ini jelas jauh lebih besar dibanding sungai-sungai tempat kami melakukan pengamatan. Arusnya juga lebih kuat, teman-teman perempuanku yang sudah menyeberang, semua berpegangan erat pada teman laki-laki. Sesekali terdengar teriakan terkejut entah dari siapa, mungkin karena langkah mereka semakin dalam ketika menyeberang.

"Sudah?" tanya Aris yang berdiri menungguku.

Aku mengangguk. Meski memakai celana dengan bahan quick dry, tapi kuputuskan untuk menggulungnya juga. Mengingat teman-teman perempuanku yang sudah masuk sungai masih harus mengangkat ujung celana mereka yang sudah digulung, jadi aku menggulung sedikit lebih tinggi hingga setengah jengkal di atas lutut.

"Ikat jadi satu tali sepatumu," perintah Aris sebelum aku berdiri.

Aku menurut dan mengikatnya seperti kalau teman-temanku mengikat tali sepatu futsal mereka, lalu mengalungkannya di leher. Aris tersenyum melihatku melakukannya, kemudian dia membantuku berdiri.

"Aku juga dibantu dong, Ris?!" pinta Satya sambil mengulurkan tangannya pada Aris.

"Males," jawab Aris cuek. "Tanganmu penuh dosa."

Satya langsung mengumpati Aris yang cuma tersenyum miring melihat responnya.

"Sini ranselmu," pinta Pandu saat aku membenarkan posisi tali ransel di bahu.

"Mau kamu buang ya?" tudingku dengan mata memicing.

"Arek loh, su'udzon terus kalau sama aku! Coba aja Langit yang minta, pasti langsung dikasih!"

Aku mencibir Pandu yang terlihat mengerucutkan bibir.

"Kamu tuh pendek, nanti kalau sampai tengah sungai airnya ternyata sampai pinggang, kasihan ranselmu!"

"Bukan kasihan aku?"

"Dih, ngapain!" balas Pandu, dan itu bikin aku tersenyum kecut.

Pada akhirnya aku membiarkan Pandu membawa ranselku, daripada dia mengomel sepanjang jalan.

Begitu aku masuk ke sungai, Langit ternyata berhenti sambil menatap ke arahku yang pegangan di lengan Aris. Tangan Langit memberi kode agar kami berjalan sesuai arah yang dia tunjuk.

"Enggak rugi aku sekelompok sama Langit," kata Satya yang jalan di belakangku.

Saat aku menengok, rupanya Pandu dan Restu juga menyusul, begitupun Lembah.

Kuliah LapanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang