Papa Bear

734 91 5
                                    

Haechan semakin mengeratkan pelukannya pada perut papa kesayangannya, jangan heran. Haechan itu memang nakal, tapi ketika sudah mulai clingy. Benar-benar tidak tanggung-tanggung,

Haechan bahkan tidak memedulikan mae yang dari tadi terus mengomel karena Haechan mengganggu tidurnya.

Johnny menghela nafas, menatap Haechan yang terus menempel padanya sejak dia pulang dari kantor sore tadi. Ketika ditanya apakah Haechan sakit? Haechan hanya menggelengkan kepalanya, malah semakin melesakkan kepala mungilnya di perut papanya.

Bukannya Johnny tidak suka suka Haechan menempel padanya, Johnny sangat suka malah. Masalahnya karena Haechan terus menempel dia belum bisa mandi sejak pulang tadi. Badannya terasa gerah serta lengket setelah seharian bekerja di kantornya, apalagi masalah penggelapan dana bukannya menemukan titik terang malah semakin runyam. Kepala Johnny ingin pecah lagi ketika dia masih harus mendengarkan perdebatan istri dan anak bontotnya,

"Haechan, biarkan papa mandi dulu. Setelah itu kau bisa memeluk papa sepuasnya lagi hingga besok pagi." Haechan mendongakkan kepalanya, menyerngitkan hidung.

"Papa belum mandi?"

"Bagaimana mau mandi sejak pulang tadi kau terus menempeli papamu layaknya permen karet." Haechan semakin menyerngit, menutupi hidung serta mendorong papanya menjauh setelah mendengar ucapan maenya.

"Pantes bau, papa mandi sana." Johnny hanya menghela nafas, tapi tetap melangkah turun dari ranjangnya.

"Mau kemana?" Haechan menoleh menatap maenya yang ternyata ikut bangun dari kegiatan rebahan mereka tadi,

"Ke kamar?"

"Bukannya tadi ingin tidur disini," Haechan menggeleng,

"Mau gangguin Hendery," sebelum mendengar ceramahan panjang-lebar dari maenya, Haechan bergegas turun dan keluar dari kamar kedua orang tuanya.

***

Haechan menumpukan dagunya diatas kepala boneka beruangnya, kedua mata bambinya memandang kosong keluar kamar. Haechan berkata ingin mengganggu Hendery, namun nyatanya itu hanya sebagai alasan belaka untuk memberi ruang agar papanya bisa istirahat dengan baik.

Papa serta maenya mungkin tidak tau jika Haechan mengetahui hal yang membuat papanya terlihat murung akhir-akhir ini, karena Haechan tau. Kedua orang tuanya bukan tipe orang tua yang selalu mengeluhkan keresahan mereka secara terang-terangan di hadapan anaknya, apalagi dalam masalah keuangan.

Namun berkat didikan kedua orang tuanya pula membuat Haechan akan lingkungan sekitarnya, jadi Haechan merasa ikut sedih ketika sosok papa yang selalu membuatnya tertawa terlihat murung akhir-akhir ini. Haechan merasa ada yang salah, dan benar saja. Ketika tidak sengaja dia turun kebawah untuk minum kemarin malam, Haechan mendengarnya.

Papanya yang terkenal ramah dan sabar itu sedang berteriak marah pada orang di seberang telefon, menyalahkan orang tersebut pasal kerugian perusahaan yang tak sedikit itu.

Haechan menghela nafas, andai saja Haechan bisa membantu papanya. Jika seperti ini Haechan menjadi menyesal karena telah mengambil jurusan perfilman dari pada jurusan bisnis seperti kakak laki-lakinya itu, mau mengulang juga sayang. Haechan sudah berada di semester dua saat ini,

Ketukan pada pintu kamarnya membuat lamunan Haechan buyar, ketika mendongakkan kepalanya Haechan sudah menemukan Hendery yang muncul dari balik pintu kamarnya.

"Boleh kakak masuk?" Haechan menggeser tubuhnya kesamping, memberi ruang untuk kakak laki-lakinya itu. Dengan senyum yang mengembang Hendery masuk dan menaiki kasur adik satu-satunya itu.

"Kau tau bukan?" Haechan menghela nafas panjang, mengangguk menjawab pertanyaan kakaknya itu.

"Separah apa?" Hendery menyandarkan punggungnya pada headboard ranjang Haechan, menerawang pada langit-langit kamar.

"Jika harus mengganti menutup semua kerugiannya, kita akan pindah dari sini tanpa membawa uang sepeserpun." Haechan menggigit bibirnya,

"Bedebah," lirih Haechan yang tentu saja masih bisa di dengar jelas oleh Hendery, namun kali ini Hendery tidak protes ketika adik manisnya itu mengumpat. Karena dirinya bahkan lebih merasa kesal dari adiknya, seluruh usahanya.

"Dan yang lebih terburuk, walaupun kerugiannya tertutupi perusahaan itu bukan atas nama milik ayah lagi."

Haechan sungguh ingin memenggal kepala bedebah yang sudah mengakibatkan hal buruk pada keluarganya,

Bukannya Haechan takut jatuh miskin, karena memang Haechan pernah hidup di titik dimana dia harus menahan lapar selama dua hari karena ayahnya yang di PHK.

Yang membuat Haechan marah, perusahaan milik ayahnya. Yang sudah dirintis dari nol hingga sebesar ini, jatuh begitu saja pada tangan si bedebah itu.

"Jika aku bisa membantu akan aku lakukan Kak, apapun itu."

"""""

Haechan menggigit bibir bawahnya, agaknya ucapannya untuk menyerahkan diri untuk membantu krisis yang dialami oleh ayah dan kakaknya ingin dia tarik kembali ucapannya itu.

Ada rasa sesal, tapi tentu saja Haechan tidak mengutarakannya disini. Di meja makan rumahnya yang kini penuh dengan hidangan mewah layaknya pesta.

Yang hanya di nikmati oleh dua keluarga, keluarganya sendiri dan Keluarga Huang.

Dan tentu saja Haechan tau kemana arah dari makan malam mewah di rumahnya kali ini, apalagi dengan keadaan perusahaan ayahnya. Bukankah pernikahan bisnis adalah cara yang paling menguntungkan dan tidak ada resiko tentang kepercayaan satu sama lain?

"Jadi Haechan mau?" Suara lembut dari Nyonya Huang mengusik pendengaran Haechan, membuyarkan seluruh renungan penyesalannya sejak membukakan pintu rumahnya untuk menyambut kedatangan Keluarga Huang.

"Tidak ada saya alasan untuk menolak nyonya,"

Haechan mendongakkan kepalanya, memasang senyum manis yang di harapkan oleh seluruh orang di meja makan. Kecuali seseorang, yang sejak tadi tetap duduk tenang tanpa terusik sedikitpun dengan seluruh topik yang di bicarakan.

Bahkan beberapa kali Nyonya Huang menyebut-nyebut nama anak laki-lakinya itu. Sosok itu masih acuh tak acuh, dan Haechan membenci itu.

Huang Renjun,

Alasan Haechan menyesali ucapannya beberapa hari yang lalu,

Waterfall - RenHyuck (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang