Hari ini kediaman Jeffri agak sibuk rupanya.
Kendati pergi berlibur karna ini akhir pekan, Jeffri dan Teya malah sibuk mondar mandir mengurus si sulung yang tengah demam.Bocah duabelas tahun itu mendadak tidak kalah lebih rewel dari adiknya jika sedang dalam keadaan begini. Benar-benar hanya ingin menempel dengan Teya seharian penuh.
"Bunda...." Kepala Nana menyembul dari celah pintu, berniat mengintip. Kemudian dengan sigap wanita itu menghampiri putranya.
"Kenapa sayang?" tanyanya pelan, mengingat Marka belum sepuluh menit terlelap di atas ranjangnya.
"Ayo beli es krim, Bunda di kamar Abang terus iih," rengeknya.
"Sebentar ya sayang, Abang lagi—"
"HUAAA BUNDAAAA." Terdengar teriakan dari dalam, yang rupanya si sulung terjaga lagi.
"Aduh, Nana turun dulu ya, main sama Nono dulu." sedetik kemudian menghilang dari balik pintu —sibuk mengurusi yang paling tua, meninggalkan Nana dengan wajah kesal bercampur sedih sebab gagal mendapatkan eskrim. Bocah itu turun dengan wajah murung, yang rupanya dilihat oleh Jeffri —pria itu baru saja memandikan Aji dan Leo.
"Lho, gantengnya Ayah kenapa?" Nana hanya menatap tak minat sang ayah, kemudian dengan segera meninggalkan ruang tengah dan masuk ke dalam kamarnya. Dimana Nono sedang bermain perang-perangan bersama Chandra. Sedang sang kakak, Juna, sibuk sendiri mengerjakan pekerjaan rumahnya di sudut ranjang.
Dari belakang, Jeffri datang sembari menggendong dua kurcaci; Leo dan Aji. Bedak yang belepotan di wajah kedua bocah itu jadi bukti bahwa mereka berdua sudah mandi.
"Ayo, giliran Nana sama Nono yang mandi. Atau mas Chandra dulu? Kak Juna sama dede udah mandi semua lho."
"Nono mau mandi dulu!" Nono menyahut sembari melempar pedang mainan miliknya sembarangan. "Ayo Na!" Bocah yang dipanggil itu hanya mengangguk lesu —tidak bisa menolak sejujurnya. Tak lama, mereka sudah siap melepas baju, meninyisakan kolor bergambar spiderman yang melekat pada tubuh masing-masing.
"Ah, Echan gamau mandi," celetuk Chandra tiba-tiba.
"Lho, kenapa gitu?" sang ayah hanya bertanya sembari tertawa kecil.
"Soalnya nanti badan Mas jadi basah."
"Kalau mandi ya basah, kamu bodoh ya?" sahut Juna setelah menutup buku sekolahnya.
"Enak aja, siapa yang bodoh?"
"Kamu lah, masa aku."
Dengan wajah memerah padam sebab tersulut emosi, yang paling muda dalam ruangan itu berteriak mengejek, "Pendek diem aja!"
"Siapa yang pendek?!" Juna ikut emosi.
"Kamu lah, masa aku," jawab Chandra dengan nada persis seperti yang sang kakak lakukan sebelumnya.
Sedangkan Jeffri sudah memijit kepala pening, belum lagi si bungsu mulai merengek meminta susu botolnya.
Tidak lama kemudian, Teya muncul bersama si kembar yang menggigil terbalut handuk.
"Ayah mandi sana, biar bunda yang urus mereka dulu."Sang suami mengangguk, "Abang udah tidur, Bun?"
"Udah."
"Okedeh," angguknya akhir, kemudian dengan cepat beralih pada bocah yang kerap di sapa 'mas'
"Chandra mandi sama Ayah, ayo?"
"Echan gamau basah dibilang."
"Bakar aja, Yah!"
"APASIH PENDEK!"
***
"Ooh, jadi namanya demam," Chandra mengangguk paham dengan wajah sok serius.
"Kalau dekat-dekat bisa ketularan ya, Bun?" yang dijawab anggukan oleh sang ibu.Keren. Chandra baru saja belajar sesuatu sore ini. Hal ini benar-benar harus ia ceritakan pada Nono dan Nana nanti. Ngomong-ngomong, mereka sedang di supermarket —berdua saja, karna kalau di rumah tanpa pengawasan sang Ibunda, bisa-bisa terjadi perang dunia ketiga dalam kediaman Jeffri. (sudah dipastikan karna Chandra dan Juna tidak bisa didekatkan berdua).
Setelah membayar sejumlah barang yang dibeli, mereka segera pulang menggunakan taxi. Perjalanan yang bahkan tidak sampai memakan waktu sepuluh menit menjadi terasa lama karna bocah itu sudah sangat amat tidak sabar memberi tahu info keren yang ia miliki.
"Nana, Nono!" Chandra dengan segera berteriak mencari dua saudaranya sedetik setelah turun taxi, meninggalkan Teya dengan barang belanjaan yang sebenarnya kebanyakan berisi jajanan untuk para bocah itu.
"Tau ga kenapa bang Marka di kamar mulu, terus kita juga gaboleh deket-deket dia?"
Kedua adiknya menggeleng, "Kenapa Mas?"
Dengan senyum pongah seolah sedang memegang rahasia negara, Chandra merapatkan badan ke arah adik-adiknya sembari mencuri-curi pandang ke Juna. Sengaja memanaskan seolah yang dia katakan itu sesuatu yang besar, dan Juna tidak diizinkan untuk tau. Padahal demi apapun, sang kakak tidak peduli sama sekali.
"Itu namanya demam," bisiknya yakin.
"Demam...? Demam itu apa Mas?" Nono bertanya penasaran.
"Kata bunda itu penyakit. Jadi kita bakal sakit kalau kena si demam ini."
Bola mata Nana mendadak membulat. "Woah, jangan-jangan demam ini monster jahat."
"Gatau juga deh," sahut Chandra acuh, kemudian pergi meninggalkan si kembar setelah merasa misi pentingnya selesai. "Mas mau ambil jajan dulu, kalau mau ambil di dapur ya, terus satu aja soalnya kalian kan tadi ga ikut."
Tapi Nono dan Nana sudah tidak mendengarkan itu semua. Mereka fokus membicarakan topik masalah utama hari ini; Monster bernama demam.
"Gaboleh takut-takut ah, kan ada Super Na."
"Aku juga, aku juga!" Jeno mengangkat tangan.
"Kalau ini namanya super Nono."Setelahnya mereka saling pandang, mengangguk yakin seolah telah merencanakan sesuatu.
"Ayo selamatkan bang Marka," teriak si kembar bersamaan. Sedang Juna yang menjadi penonton bisu sedari tadi hanya menatap miris.
Ya, suka-suka kalian aja.
[][][]
KAMU SEDANG MEMBACA
Super Na ✔️
Fiksi PenggemarSelain tidak suka strawberry, Nana juga paling anti menerima wejangan dari bang Marka -kalau dia tidak akan bisa memiliki kekuatan layaknya Superman. 18.06.21 cover by. pinterest