"Bun, liat!" Nana berteriak, sontak Teya langsung menoleh ke arah yang anak itu tunjuk.
Seorang polisi yang tengah patroli rupanya.
"Wah keren ya," kata Teya berkomentar saat mobil mereka melewati polisi di pinggir jalan tadi. Nana mengangguk.
"Iya keren. Nana pengen-pengen begitu deh punya Ayah ganteng sama keren kaya om pulisi itu," cetusnya tiba-tiba. Sedang sang ayah, Jeffri yang sedang menyetir di depan langsung tersedak ludah sendiri mendengar celotehan salah satu prajuritnya.
Hati mungil Jeffri tersakiti.
Seisi mobil tertawa, tak terkecuali Teya yang ikut mendengar di sana.
"Polisi tau, bukan pulisi," ralat Chandra.
"Pulisi," kata Nana mengikuti.
"Polisi."
"Pulisi."
"Ck. Po-li-si." Chandra bersikeras mengajarkan sang adik. Sedang yang lebih muda bersusah payah mengikuti dengan bibir mungil sudah monyong lima centi.
"Pppuolisi."
"Polisi. Gitu aja kok bod-"
"Ssttss. Sudah-sudah, jangan berantem. Ayo turun, kita udah sampai." Mendengar teguran sang ibu, Chandra sontak diam dan memilih untuk turun —diikuti yang lain, meninggalkan Bunda dan Nana turun paling terakhir karna anak itu memasang wajah kesal sebab belum berhasil mengucapkan kata 'polisi' dengan benar.
"Ini di mana, Yah?" tanya Juna saat mereka turun di tempat dimana banyak bus yang terparkir disana. "Ini terminal."
Chandra menaikkan alisnya. "Lho, emang kita mau ngapain di sini?"
Tapi, belum sempat menerima jawaban, yang Chandra dapati adalah ayahnya yang mengangkat tangan —memberi gestur menyapa— kemudian berjalan sedikit lebih cepat.
"Waduh, itu Jeffri." Suara gelak tawa ramah menyapa ketika mereka sampai ke salah satu emperan loket. Sepasang lansia rupanya.
"Juna, Chandra, Nana, ayo salim dulu sama Eyang." Ketiga bocah itu sempat kebingungan mulanya sebelum memilih untuk menurut; menyalimi dua orang yang sang ayah sebut sebagai 'eyang' itu. Kemudian Teya ikut bersalaman.
"Aduh gemasnya, yang ini siapa namanya?" sapa wanita tua itu ketika melihat si bungsu dalam gendongan Teya. "Leo, eyang." Teya yang menjawab.
"Wah mantab, sudah banyak jagoanmu, ya, Jeff," gelak pria tua itu. Matanya sempat memicing melihat satu persatu wajah para prajurit Jeffri.
"HAHAH, iya nih pak. Sudah dapat tujuh jagoan."
Laki-laki yang akrab disapa eyang putra itu terkejut. "Lho? Sudah tujuh aja? Selebihnya di mana?"
"Di rumah, Pak. Kan bakal susah juga kalau rombongan," jawab Teya dengan kekehan kecil.
"Oalah, gitu tho."
Eyang putri mendekat, "Yang ini pasti Juna ya?" tanya nya ramah pada si kakak. Juna mengangguk, "Iya."
"Masih ingat Eyang ndak?"
Anak itu memilin ujung bajunya gugup. Dia menggelang kecil sembari melirik sang ayah sedikit ragu.
"Hahah, yo gak ingat lah, Yang. Terakhir ketemu Juna sekitaran umur berapa, jeff? Tiga tahun?"
Jeffri mengangguk. "Bener Pak. sekitar umur dua atau tiga tahun." Jeffri menjawab sembari mengingat-ingat. "Tanya Marka coba nanti di rumah. Kayaknya dia masih ingat," lanjutnya.
***
"Eyang, ayo ajarin Nana ngaji"
"NONO JUGA!" si sulung kembar menyahut.
Sedang wanita tua itu hanya melirik ke arah sang suami. "Eyang ndak bisa, sayang."
Nana mengerutkan kening, kemudian berbicara polos dengan mata bulatnya, "Lho, kok nda bisa sih, kan sudah gede. Nana aja suda iqra 2 nih, liat!" serunya sembari menunjukan buku iqra yang dia miliki.
Eyang putri hanya tertawa. "Iya, tapi Eyang gak ngaji, le."
"Dosa," seloroh Nono. "Eyang ntar dosa lhow nda bisa ngaji." Kemudian pandangannya beralih pada eyang putra. "Kalau gitu Eyang ajarin Nono sholat ya!"
Kembali lagi, kedua orang tua itu tergelak renyah. "Eyang juga ndak sholat, le, aduh ahaha."
"IIHH DOSA, HAYOLOOO." Nana berseru tak tahu tempat. "Ha ha masuk neraka, ha ha tak tau," katanya lagi.
Sang abang mengangguk. "Nono aja bisa ko sholat sholat. Sini Nono aja yang ajarin Eyang," sambungnya.
"Bukan gitu, tapi Eyang memang ndak sholat. Karna ibadah Eyang beda, sayang," jelas wanita tua itu lembut.
"Lho?" Nana memiringkan kepalanya bingung. "Ko bisa beda, Eyang?"
"Itu karna agama kita beda, tau."
Bukan Eyang, tapi Juna yang menyahut. Sang kakak tiba-tiba datang dari arah belakang rumah, kemudian menjawab santai dengan wajah datar andalannya."Ko beda?" tanya Nono penasaran.
"Ya karna ga sama."
"Ko ga sama sih?"
Juna menyatukan alisnya bingung. "Karna beda."
"Nda bisa dimengerti, bintang enooll," Nana bersorak mengejek. Ntah darimana pula bocah itu mendengar kalimat semacam itu.
"Yasuda Eyang, samain aja gamany—"
"Agama," koreksi Juna.
Nana cemberut. "Iya itu, agamanya samain aja. Ayo Nana ajar-ajar shalat?"
Lho, kok begini?
[][][]
![](https://img.wattpad.com/cover/277914077-288-k100833.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Super Na ✔️
FanfictionSelain tidak suka strawberry, Nana juga paling anti menerima wejangan dari bang Marka -kalau dia tidak akan bisa memiliki kekuatan layaknya Superman. 18.06.21 cover by. pinterest