XIV. Tabungan Untuk Kak Juna

1.4K 239 14
                                    

Kalau Chandra punya Bang Marka, maka Nana juga punya Kak Juna. Simplenya, kasta tertinggi di antara pasukan Jeffri itu adalah Nana sampai bocah itu mendadak menjadi fans nomor satu Juna.

Nana bisa saja tidak mau mandi seharian dan lebih memilih bermain di gudang sampai dia menangis saat melihat tikus, tapi ketika Juna dengan titah maha agungnya menyuruh Nana mandi sekali, sudah dipastikan sepuluh menit kemudian anak itu sudah wangi dan bersih —menanggalkan penampilan gembel tak mau diurus sebelumnya.

Nana juga mungkin saja bertengkar dengan Chandra hingga satu rumah kerepotan, tapi jika itu Juna yang turun tangan, ya sudah; Perperangan berkahir.

Ini pula yang menjadi alasan Teya pusing hari ini. Bocah gembil bernama Nana itu sudah terhitung lima kali menyongkel celengan bebek miliknya. Katanya untuk beli cilok dan cuma dua ribu. Tapi kalau dicongkel lima kali, bukankah itu rugi?

Mungkin Teya tidak akan sepusing ini menasehati jika si kecil mau menyisihkan dan memasukkan uangnya sendiri, terlepas setelah itu akan dia congkel lagi, paling tidak dia bisa mengisi sendiri.

Sedangkan ini? Teya yang selalu mengisi celengan ketujuh anaknya terutama Nana. Tapi bocah itu malah mencongkel tabung plastik berbentuk bebek itu sekenanya.

Nana jadi besar kepala sebab dia tau Juna tidak ada di rumah.

Si sulung nomor dua sedang menginap di rumah Eyang, sudah tiga hari, ngomong-ngomong. Dan itu membuat Teya terlampau tidak bisa apa-apa.

"Na... sudah yuk? nanti uangnya habis, lho." Sang Ibunda mengingatkan.

Namun, hanya gelengan ribut yang Teya dapatkan. "Gak!" katanya sembari berlari. Anak itu ingin membeli choki-choki kali ini.

Pernah di suatu malam, Nana ketahuan belum tidur padahal jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Jeffri mendapati si bungsu kembar tengah menangis di atas tangga saat itu. Sendirian menatap pintu keluar yang berada di ruang tamu. Setelah ditanya, tengah menungggu kepulangan Juna rupanya.

Katanya, Nana rindu.

"Ayah, Kak Juna kapan pulang sih? lama-lama butul Nana tunggu," celotehnya siang itu sembari membaringkan diri di atas kasur. Jeffri mendengarkan saat menarik selimut bergambar spiderman milik putranya, menyelimuti mereka berdua; Nana bersama Nono yang sudah duluan terlelap lelah.

Ini memang waktunya mereka tidur siang.

"Nana kangen, ya?" Jeffri terkekeh jumawa. Ditanggapi dengan kerucutan lima senti pada bibir yang paling kecil —khas Nana.
"Kak Juna lama butuuul ih! suda tiga tahun tidak pulang!" kesalnya. Sontak membuat sang Ayah terpingkal kemudian panik saat Nono bergerak terkejut. Untung saja sang abang tidak benar-benar terbangun.

Pria berlesung pipi itu terkekeh, menyelesaikan tawanya. Tangan besarnya kemudian dibawa mencubit gemas pipi Nana. "Baru tiga hari, sayangkuu," kata Jeffri gemas total.

Anak itu mengendikkan bahunya. "Sama aja."

Kalau dilihat-lihat, rupanya Jeffri merasa kasihan juga. Terlepas dari sikembar yang rindu kakaknya, rupanya yang lain juga. Menilik bagaimana keluarga ini hampir tidak pernah berpisah lama, Jeffri jadi ikut-ikutan rindu Juna.

Pria itu melirik si kecil yang mulai memejamkan matanya. Tadi Nana sempat menangis sampai pipinya memerah.

Jeffri terkekeh melihatnya. Diam melamati napas sang anak yang mulai teratur seiring kesadaran Nana yang mulai mengambang ke alam mimpi.

Baiklah, mari beri anak itu sebuah kejutan.

***

Menjelang magrib tiba, Marka terkejut mendengar sebuah tangisan dari arah belakang rumah. Anak itu reflek parno sendiri. 'Masa betul ada mbak kunti di pohon mangga belakang seperti yang dikatakan Taro saban hari?'

Tapi, bermodalkan insting sebagai abang paling tua di rumah —mengingat Ayah Bunda belum pulang dari supermarket, Marka membulatkan tekat untuk membuka pintu belakang.

Dengan samar, bermodalkan cahaya remang dari gazebo belakang yang sebagian tertutupi pohon mangga, anak itu bisa lihat ada sesuatu yang diam di sana. Makhluk itu berwarna hitam dengan bentuk agak bulat. Bahunya naik turun, yang dalam bayangan Marka seperti monster yang tengah asik memakan orang. Si sulung hanya diam, menunggu sesuatu itu berbalik badan.

"HUAAA!"

Suaranya semakin dibesarkan membuat si sulung terkejut bukan main. Namun tunggu,

suara itu sangat tidak asing.

Dengan cepat, Marka berlari keluar dan menghampiri. mendapati Nana yang duduk memunggunginya. Setelah didekati, si kecil rupanya tengah duduk berhadapan dengan celengan bebeknya. Sedang menangis tersedu-sedu hingga Marka sudah tidak bisa membedakan mana ingus dan air mata.

"Nana?"

Anak itu berbalik. Menghambur ke dalam pelukan sang abang kemudian menggesekkan hidungnya pelan; mengelap seluruh ingus dan air mata.

Marka meringis. "Kamu kenapa hoi?"

"Kak—" Nana tersedu-sedu. "KAK JUNAA, HUAA."

Kalau begini sih, sudah dipastikan rindu Nana memasuki stadium lima.

"Nana kangen, ya." Apa yang dikatakan Marka ini seperti bukan pertanyaan lagi, melainkan sebuah pernyataan.

Namun, setelah memakan waktu cukup lama bersedu sedan, Nana diam juga. Dibantu Chandra walau tugasnya hanya berdiri memegang sekotak tisu, persis seperti meja kecil di sudut bawah tangga; tempat sebuah vas bunga palsu Bunda berada.

"Memang Kak Juna nda mau pulang-pulang lagi? Memang mau go bye-bye yang lama? seperti sampai Nana sudah bosal bapak-bapak?" Anak itu berceloteh sekenanya.

Tatapan bulat itu berhenti pada celengan kuning miliknya. "Nana kangennn!" rengeknya. Lagi-lagi, air matanya menggenang. "Nana mau kasih tabung bebek buat kak Juna," katanya sedih.

Walau tabungannya sudah cacat terbelah, walau isinya sudah tidak sebanyak biasanya, walau Nana sayang sekali dengan celengan bebek kuning miliknya; Nana mau memberikan itu asal Juna pulang.

"Wah, iyakah?"

Bocah gembil itu mengangguk.

"Senangnya. Berarti Kakak boleh pakai buat jajan?"

Nana mengangguk lagi.

"Boleh Kakak habisin juga?"

"Iy— KAK JUNA?"

Nana sukses terperanjat. Kaget bukan main saat sadar yang merespon ucapannya adalah Juna sendiri. Sang Kakak sedang berdiri di sana sambil tersenyum manis.

"Hayo Nana liat, siapa yang datang?"

Itu suara Teya. Rupanya, setelah berbelanja ke supermarket tadi, Teya dan Jeffri akhirnya memutuskan untuk menjemput si sulung nomor dua.

Nana menangis lagi. Lebih kencang daripada sebelumnya. Agaknya terlampau terharu.

Air mata itu menetes satu persatu ke atas kepala bebek kuning yang punggungnya sudah terbelah. Nana menyodorkan celengan itu tanpa ragu.

Juna tertawa gemas. Dipeluknya sang adik dengan sayang. Sedih juga melihat Nana seperti ini. Sang Kakak juga dipastikan merasa bersalah sudah menginap lama-lama.

"Tabung, Kakak, Nana, ambil," kata Nana kacau.

Bocah tampan itu mengangguk. "Iya, Na."

Nah, Kak Juna jangan pergi-pergi lagi, ya!

[][][]

Super Na ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang