XX. Misi Penegak Keadilan Saudara

1.1K 158 15
                                    

Luka jahitan pada milik Chandra sebenarnya sudah mulai membaik. Terbukti pada bocah itu yang mulai kambuh lagi pecicilannya. Pergi ke sana-sini, memanjat tembok pembatas halaman, mengusili Leo atau Aji sampai menangis kemudian kabur lari.

Tapi Teya tetaplah Teya. Ibu-ibu super parnoan, terlebih pada anak yang bentukannya Chandra. Lima kali sehari, Teya harus memekik panik dan menyuruh si tengah untuk duduk diam. Menurutnya, Chandra harus tetap anteng di kamarnya selama masa pemulihan. Sampai di sore hari, saat Teya memutuskan untu berbelanja bulanan dan Chandra mau ikut, wanita itu tidak mengizinkan.

Chandra selama ini memang menduduki rekor paling banyak dalam menemani sang Bunda bebelanja. Kata orang, ini namanya anak mama sekali. Tapi kali ini, anak yang baru sunat itu tidak diizinkan ikut dulu. Rencana ingin membawa Juna tapi si sulung nomor dua rupanya belum bangun dari tidur siangnya —dan Teya tidak tega.

Chandra tidak, Juna juga tidak. Leo dan Aji tentu saja tidak perlu masuk dalam pertimbangan. Teya menyapu pandangannya di seluruh rumah. Mengabaikan dua presensi cilik yang menunggu tepat di bawah kakinya.

Marka.

Teya harus bertanya pada si paling tua. Tapi setelah dicari-cari keberadaannya, anak itu tidak ada di rumah. Jeffri bilang, Marka tadi terakhir pamit main ke rumah Taro, Taro yang mengajak katanya. Tidak begitu heran karena ntah sejak kapan, Taro menjadikan Marka sebagai Abang favorit —katanya.

"Bunda~"

Teya menelan ludahnya gugup; seperti sedang menunggu jumpscare pada film horor. Dua pasang tangan mungil sudah memegang pahanya. Mata wanita itu melirik sesekali dan membuang muka. Begitu berkali-kali dengan keringat pada kening yang besarnya sebiji jagung.

Bahaya sekali.

"Bundaa. Nana mau ikut Bunda mau ikut Bunda ikut."

"NONO JUGA."

Badan Teya bergetar diguncang-guncang dua makhluk mungil di bawahnya.

Tidak mau menyerah. Nana menarik apa saja yang bisa dia jangkau dari Teya. Tentu saja wanita itu reflek menahan celananya yang bisa saja akan melorot sebentar lagi.

Nun diujung anak tangga paling atas. Chandra menonton dengan bibir jatuh —cemberut. Bunda pergi tanpanya kali ini. Hati Chandra sakit sekali. Rasanya seperti Bunda akan selingkuh darinya.

"Bundaaaa. Nono ikut pwease pwease. Memohon Bunda." Nono bersimpuh dramatis dengan tangan yang saling bertaut dan digoyang-goyangkan. Nana di sampingnya yang melihat itu kemudian dengan sigap ikut mengambil posisi berlutut kemudian mengikuti jejak sang abang. Sudah persis mainan kuncing toko selamat datang.

"MAS BUN? MAS, MAS?" Chandra berteriak panik dari atas. Hampir berlari turun sebelum pelototan sayang Teya lemparkan. Anak itu tentu saja panik bukan main kalau Nana dan Nono yang jadi selingkuhan Bunda tercinta.

"Mas istirahat dulu Bunda bilang, kan." Teya menyahut. Kemudian pandangannya beralih lagi pada si kembar.

Yasudah.
Apa boleh buat.

"Jangan nakal ya nanti." Wanita itu memberi pesan yang sejujurnya dia sangat sanksi. Mana mungkin.

***

"Ini namanya setia saudara."

Nono mangut-mangut. Bocah itu kini sedang berjalan mengendap-endap ke lantai atas bersama Nana. Rasanya mungkin sudah cocok sekali menjadi mafia di film-film disney. Buktinya, tidak ada yang sadar dengan pergerakan mereka walau ternyata nun di ujung ruang tengah sana, Jeffri tengah menatap heran tak karuan.

Kata Nana, ini disebut sebagai misi 'Penegak Keadilan Saudara'. Jadi Nono sekarang tengah menjalaninya.

Si kembar tahu, Mas Chandra itu sebenarnya ingin sekali ikut, tapi karena khawatir jadi Bunda larang. Padahal, petang hari mereka main pistol-pistolan sampai guling-gulingan.

"Sstttss. Diam, ya." Nana berbisik, yang disahut anggukan dari saudaranya. "Ssstts, oke ndak berisik."

Langkah-langkah kecil itu akhirnya sampai di kamar target. Nana mengetuk pintunya dua kali sebelum menyelinap masuk dan membekap mulut Chandra dramatis. Nono dengan sigap memantau situasi dari depan pintu. Tangannya bergerak antusias seperti orang yang tengah mengatur parkir —tidak tau sebenarnya sedang apa.

"Mas, Mas izin Nana culik ya. Sstttsss."

Sedang yang kini statusnya jadi target korban hanya melotot panik. Bukannya apa, tangan Nana itu tidak cukup untuk menutup mulut sekaligus hidung Chandra; Sama sekali tidak menghambat pernapasan bocah itu. Yang jadi masalah adalah, ntah kenapa tangan adiknya ini sedikit bau tanah.

Walau bingung dengan konsep pembekapan yang di mana hanya hidung Chandra yang ditutup —tidak dengan mulutnya —namun yang paling tua tidak mau ambil peduli. Dia hanya melirik pada Nono dan bertanya, "Kemana?"

"IKUT BUNDA. MAU NDAK MAS?" Nono menjawab excited sebelum Nana kembali memberi gesture diam hingga air ludahnya muncrat kemana-mana. "SSSTTTSS, SSTTSSS."

Jadi begitu. Chandra dibawa diam-diam ke arah garasi yang mobilnya sedang dipanaskan. Mungkin Ayah akan mengantar dan meminta Bunda untuk menelpon agar dijemput setelah belanja —seperti biasanya.

"Mas, masuk mas." Nono mendorong tubuh sang abang yang notabene gendut itu. Sedikit kewalahan, tapi harus cepat karena ini adalah misi Penegak Keadilan Saudara yang sangat penting. Menurut si kembar, ini namanya mereka sangat setia saudara.

Chandra masuk dan duduk diam di bagian paling belakang. Kursi-kursinya dilipat Ayah kemarin karena sempat jadi area menaruh barang.

"Ini pakai pester?"

Nana bertanya pada Nono dengan tangan yang membentuk bulatan. Kalau di film-film yang mereka tonton, target penculikan itu biasanya mulutnya diberi tempelan begitu. Yang mereka tahu, si pester ini biasa Ayah gunakan untuk menempel-nempel sesuatu.

"HAH, PLASTER? YA JANGAN." Chandra panik. Bukannya ini cuma main culik-culikan saja ya? Kenapa jadi pakai plaster juga?

"Oooh, okei."

Pintu mobil kembali ditutup, meninggalkan Chandra yang disuruh menunggu sendirian. Sedang si kembar sudah kembali masuk ke dalam rumah. Kata Bunda, sebelum pergi-pergi itu harus biasakan pipis terlebih dahulu.

"Sudah siap?" Teya bertanya saat mendapati kedua putranya menunggu di kursi teras dengan anteng.

"Sudaaa!" Mereka menjawab kompak.

"Sudah pipis?"

"SUDAA."

"Pintar." Sebuah elusan mendarat pada dua kepala mungil itu. "Kalau gitu, Bunda pesan taxi dulu, ya."

Nana dan Nono mengangguk lagi. "OTAYY, BUNDA."

Terhitung lima menit. Sebuah van dengan plat yang sama pada aplikasi terparkir di depan gerbang rumah. Dua bocah kembar itu tentu saja berjalan dengan semangat. Satu-satu masuk ke dalam mobil dengan teratur. Tidak mau Bunda marah dan membatalkan rencana, katanya.

Senang sekali. Mereka hari ini akan berbelanja bersama Bunda. Nono tentu saja sudah mengingat list apa yang akan dibelinya nanti. Begitu juga dengan Nana. Anak itu 'sih mau membeli permen, yupi, eskrim, permen, buah, permen, dan naga. Memangnya cuma Mas Chandra yang bisa seperti itu setiap minggu?

Lho?

"BUNDA. MAS ECHAN!"

[][][]

Super Na ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang