1

126 11 5
                                    

Cw // harsh words , kiss
.
.

.
.
.

"Kalau sudah selesai mencuci wajahmu, segera ke meja makan."

Elina Berliana mengoleskan selai nanas pada rotinya. Kali ini stok selai coklatnya sedang habis, yang tersisa hanya selai nanas, itupun hanya bisa digunakan dua kali lagi. Ingatkan Elina jika nanti kegiatannya selesai ia harus membeli selai coklat kesukaannya.

"Lin, sabun wajah aku di mana?"

Elina memutar kelereng hitamnya dengan malas. Kali ini ia beranjak dari duduknya menuju kamar mandi di samping dapur. Matanya menatap jengah pada seseorang yang tengah memberikan senyuman tiga jari di sana.

Kaki Berliana itu memasuki kamar mandi dengan kesal. Tangan Elina meraih sabun wajah laki-laki yang baru dua kali dipakai sang pemilik di sudut wastafel. Dilemparkannya benda tersebut sampai ke tangan pemiliknya. "Cari pakai mata, bukan mulut. Kebiasaan!"

"Hei, ini masih pagi jangan marah-marah. Itu tidak baik."

Laki-laki itu mendekat ke arah Elina yang sedang mencuci tangannya. Tanpa ragu, ia memeluk Elina dari belakang dan menumpukan wajahnya di bahu sempit si perempuan. "Agak berisi ini pipimu," ujarnya seraya menusuk-nusuk pipi Elina.

"Ah, masa?"

Elina melihat ke arah cermin. Menolehkan wajahnya ke kiri dan ke kanan dengan tatapan meneliti. Tangan si laki-laki itu sudah dilepaskannya dari pipinya. "Iya, ya?"

"Sering makan seperti babi?"

"Astaga, Abra! Kau benar-benar, ya!"

Elina menepuk keras punggung tangan Abra yang tadi sempat bertengger di perut rampingnya. Tubuh si Berliana itu segera berbalik untuk melihat wajah menjengkelkan dari sosok lain di kamar mandinya.

Tawa itu menguar dari sosok Chand Abraham Kalendra. Tubuh Abra membungkuk karena terlalu merasa ucapannya lucu, yang mana hal tersebut malah mengundang decakan kesal dari Elina. Segera saja tubuh Abra didorong oleh Elina. Namun sayang, ketika kakinya melangkah ingin meninggalkan kamar mandi, tubuh rampingnya malah terangkat di sisi kiri wastafel miliknya.

Dua kali kecupan itu mendarat di bibir Elina. Sesekali Abra melumat bibir Si Berliana. Saling berbalas lumatan adalah hal lumrah bagi keduanya. Tangan elina sudah bertengger rapi di leher Abra. Setelah puas dengan kegiatan yang dimulainya, Abra menyatukan keningnya dengan kening Elina, menambahkan kesan intim bagi keduanya. "Jangan marah, aku hanya bercanda." Tangan kekar milik Abra menjawil hidung Elina. Kendati napas yang terengah dan bibir yang terbuka, tidak membuat perempuan yang ada di depannya mengeluarkan ekspresi, Elina menatap Abra dengan tatapan datarnya. "Ayolah jangan marah, hm. Sebagai gantinya, kau akan mendapatkan kembali ciuman dariku."

Elina mendelik. "Mencari keuntungan, heh?"

"Tidak bisa dibilang keuntungan juga, hanya saja bukankah itu memang harus kita lakukan jika bertemu?"

Elina mendorong tubuh Abra, lalu ia beranjak turun dan meninggalkan Abra yang akan mencuci wajahnya. "Cepat cuci wajahmu, lalu segera sarapan. Aku ada kegiatan di luar setelah ini."

"Bagaimana dengan jatah ciumanku yang kedua, Elina?"

"Minta saja dengan Arumi, dia akan memberikannya."

"Jangan gila!"

"Astaga, sepertinya aku salah memilih teman."

Abra menghampiri Elina yang baru saja meletakan dua gelas susu di meja makan. "Hei, itu bukan salahku."

Nuraga (Chanji) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang