4

51 12 3
                                    

Hari ini seluruh kegiatan bakti sosial sudah selesai. Elina sendiri tengah membereskan barang-barang dokumentasinya yang tadi sempat dipakai. Saat tengah memasukkan kamera ke dalam tempatnya, Belinda menghampirinya. Perempuan bernama lengkap Adhisty Belinda itu membawakan kotak makan jatah Elina yang belum sempat diambil.


Elina tersenyum menyambut uluran kotak makan punyanya. "Terima kasih, Bel. Kau sudah selesai?"

"Sudah. Tinggal memastikan tiap individu makan jatahnya saja." Belinda mendudukan tubuhnya di samping barang bawaan Elina.

"Menyindirku, ya?"

Belinda hanya terkekeh. Menunduk sebentar untuk melihat sepatu putih yang dikenakannya, Belinda menarik napas berat. Hatinya merasa tidak tenang akan suatu hal. Perempuan yang menggunakan jumpsuit hitam dengan inner putih pendek itu menatap Elina.

"Ada masalah?" tanya Elina. Sesendok makanan baru saja memasuki mulutnya. Kunyahannya mendadak berhenti saat melihat tatapan serius dari Belinda. "Cerita saja, aku akan mendengarkan." Elina kembali mengumpulkan nasi dan lauk yang tertera di depannya. "Masalah dengan kekasihmu?"

Gelengan kepala menjadi pertanyaan Elina. Belinda memposisikan tubuhnya menghadap ke Elina sepenuhnya. "El?"

"Ya?"

"Aku melihatnya."

Kening Elina menyerit. "Apa?"

"Kau dan Chand."

Elina membeku. Sendok yang tadi dipegangnya kini ia remat perlahan. Ia tidak akan pernah tahu jika dirinya tertangkap secepat ini. Mengapa? pikirnya.

Tidak, bukan karena Elina berharap hubungan tidak sehat ini dapat berjalan lebih lama. Bukan itu alasannya. Elina sadar benar jika tindakannya tidak benar, tapi apa ia masih bisa menolak tawaran teman seperpopokannya jika alasannya memang menyakitkan?

Elina menundukan arah pandangannya. Ia merasa kecil di hadapan Belinda. "Kapan?" Rasanya, berbohong pada Belinda percuma saja. Perempuan Adhisty itu bisa dengan mudah membaca situasi dan tingkahnya.

"Sewaktu Arumi pulang ke rumah orangtuanya. Kalian terlihat sangat intim satu sama lain, tidak ada kesan canggung di sana sebagai teman dari kecil." Belinda menghirup napasnya dalam-dalam. Cukup saja ia berdiam selama ini, Elina memang harus tahu akan kebenarannya. "Arumi hamil, El. Dia bercerita padaku, bahwa itu hasil hubungannya dengan Chand."

Elina refleks menatap Belinda. Raut tidak percaya itu terlihat dari wajahnya. Ia berharap jika kebenaran yang baru saja didengarnya itu hanya tipuan belaka dari seorang Adhisty Belinda, perempuan yang sudah lama menjalin persahabatan dengannya. Tapi semua hanya harapannya saja. Pada kenyataannya, Belinda malah menatap iba pada dirinya sembari menggenggam satu tangannya.

"Hentikan, ya?"

Tangan itu mengurut pelan dahinya. Elina benar-benar tidak habis pikir dengan benang merah dalam takdirnya. Ada apa ini? Yang terjadi sebenarnya sungguh di luar dugaan. Merasa gusar, Elina mengusak rambut yang diikat olehnya dengan kasar. Netranya tak sengaja melihat tubuh Arumi di sana yang tengah membantu para lansia. Perempuan Gentala itu tadi memimpin acara, karena ya ini adalah kegiatan bakti sosial dari keluarganya. Ia dan Belinda hanya sekedar membantu saja.

Arumi melambaikan tangan ke arah mereka. Elina melihat senyumnya terlihat sangat cerah. Mau tak mau, Elina membalas senyum itu meski hatinya tidak menemukan kata tenang.

Di sudut hatinya, Elina merasa terkhianati. Konyol memang, namun itulah yang ia rasakan saat ini. Tapi di sudut hatinya yang lain, ia tidak menampik bahwa, dirinya merasa akan suatu kelegaan yang justru membuat bebannya lepas. "Berapa bulan?"

Nuraga (Chanji) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang