3

65 12 8
                                    

Abra terbangun karena suara berisik dari luar kamar. Daksanya masih lemas saat ia mencoba menampakan kakinya di lantai. Alhasil, Abra sempat limbung sepersekon setelahnya. "Ya ampun sakit sekali," erangnya. Ia mengusap bokong berisinya yang tadi sempat berciuman mesra dengan lantai kamar.

Hidung Abra membaui wewangian harum ketika membuka pintu kamar. Ah, Elina, pikirnya. Segera saja ia menghampiri sosok yang dikiranya tengah berkutat di dapur sana.

"Masak apa?" tanya Abra yang kini menumpukan dagunya pada bahu Elina. Tangan Abra yang lebih dulu bertengger di pinggang sempit itu mengelus lembut perut datar Elina.

"Hanya masakan sederhana, ayam kecap dan sayur bayam." Elina sempat menghentikan gerakannya yang ingin mengambil sejumput bumbu penyedap. Wajahnya ia tolehkan ke samping untuk melihat wajah Abra yang masih terlihat malas membuka matanya. "Mandi, lalu makan."

Bunyi dentingan penanak nasi di dekat kulkas, menjadi bantahan perintah Elina, saat Abra sibuk mempererat pelukannya. Sesekali Abra mengusak hidungnya dengan bahu Elina yang tertutup blouse berwarna matcha. Kecupan ringan juga Abra layangkan pada bahu dan perpotongan leher Elina. Rasa-rasanya, ia baru menyadari sesuatu. Elina sudah berpakaian rapi, lengkap dengan riasan tipis di wajahnya.

"Mau ke mana?" Abra berpindah posisi. Laki-laki itu menatap Elina dari samping. Walau hanya sampai batas pinggang, tubuhnya menyender di tempat wastafel pencuci piring.

"Ada kegiatan di luar."

"Iya, apa?"

Elina memindahkan sayur bayam yang dibuatnya tadi ke dalam wadah. Ia menuangnya dengan hati-hati, takut kuah sayurnya tumpah di sekitar wadah itu. Matanya melirik ke arah Abraham saat sayur yang dituangnya hampir habis. "Memang ada apa?" Setelahnya, Elina mendorong sedikit tubuh Abra ke samping. Ia langsung mencuci panci kecil yang tadi digunakan untuk memasak sayur bayam. "Biasanya kau tidak pernah bertanya aku ada kegiatan ke mana."

Abra memeluk Elina dari samping. "Setelah kehadiran ayah dan anak itu kemarin, kenapa aku merasa tersaingi, ya?"

Elina mematikan keran dan meletakkan panci tadi di tempat penyaringan. Air bersih di panci masih menetes jika ia langsung meletakkan panci di tempat yang seharusnya, dan Elina sangat tidak suka jika ada genangan air—yang sudah—mengering di tempat penyimpanan alat dapurnya. Lalu, Elina meraih kain kering untung mengelap tangannya yang basah.

Abra memutar tubuh Elina saat perempuan itu selesai dari kegiatannya. Mereka kini berhadapan dengan netra yang saling bertubrukan. Saling menyelami perasaan masing-masing lewat pancaran mata jernih yang tidak akan bisa berdusta.

"Apa yang membuatmu merasa tersaingi?"

Abra mengangkat bahunya tak acuh. "Tidak tahu, yang jelas aku sangat tidak nyaman dengan kehadiran mereka."

Elina menghela napasnya kasar. Tangannya melepaskan kaitan tangan Abra di pinggangnya. Tubuhnya maju selangkah demi meletakkan kedua tangannya di bahu pemuda Kalendra itu.

"Bukankah kau tidak perlu risau? Toh, our status is only friend with benefit, dan itu kau yang meminta dengan dalih rasa nyaman ketika bersamaku. Aku rasa, kehadiran kak Yashril dan Chels adalah urusan pribadiku, jadi ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan hubungan FWB kita." Elina tersenyum di akhir ucapannya. Wajahnya bergerak maju demi mempertemukan hidungnya dan hidung Abra. Afeksi ini selalu bisa menenangkan keduanya. Setelah dirasa cukup, ia mulai menjauhkan wajahnya. Menepuk pelan bahu Abra dengan rasa bangga akan kalimat yang tadi diutarakannya pada si Abraham. "Sekarang, cuci wajahmu, lalu kita sarapan bersama. Jika ingin tidur lagi setelahnya, itu terserah padamu."

Baru saja Elina akan menyentuh wadah sayur, tubuhnya kembali lagi dipeluk dari belakang oleh Abra. Elina jadi berpikir kalau temannya ini sedang sakit, makanya tingkah Abra agak berbeda dengan sebelumnya.

Nuraga (Chanji) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang