10. Temenan

1 0 0
                                    

Di dalam rumah berwarna putih gading itu di isi dengan 4 orang jumlah anggota keluarga, terdiri dari suami, istri, dan dua anak cewek. Di tengah rumah itu terdapat meja makan panjang yang sedang di duduki oleh keempat orang itu, mereka sedang sarapan, anehnya tidak ada percakapan sama sekali di ruang makan itu. Hanya kekosongan, yang terdengar cuma dentingan suara sendok dan piring, selebihnya tidak ada yang bicara, sampai tiba waktunya kedua anak cewek itu berangkat ke sekolah.

"Papa, Lily berangkat ke sekolah dulu ya," pamit Lilyan dengan manja. Lalu melangkah mendekati Raka yang sedang duduk sambil baca koran, Raka tersenyum manis kepada Lilyan.

"Mau papa antar?" Tanya Raka dengan manisnya.

"Gak usah Pah, kan, Lily bawa mobil. Lagian Lily nyamannya memang naik mobil sendiri kok, gak suka di antar," tolak Lilyan sambil melembutkan suaranya. Raka tersenyum tipis lalu mengusap puncak kepala Lilyan dengan sayang.

"Hati-hati di jalan kalau begitu, jangan ngebut," ucap Raka. Lilyan mengangguk lalu menyalam tangan Raka dan tidak lupa mengecup pipi Raka, persis seperti seorang anak kepada ayahnya.

Anita berada di sana, dia masih berusaha untuk makan dengan tenang walau sebenarnya ia sedang mengalami rasa cemburu akut, melihat Raka dan Lilyan yang begitu akrab, tidak seperti dirinya.

"Pah, Anita mau berangkat ke sekolah dulu," ucap Anita setelah selesai sarapan. Raka melirik Anita sekilas lalu beranjak dari ruang makan.

"Pah, Anita mau salam," kata Anita dan membuat langkah Raka terhenti, pria itu menoleh ke belakang dengan tatapan tajamnya yang begitu mirip seperti tatapan milik Anita.

Anita mendekati Raka yang berdiri di ambang pintu, dan hendak menyalam pria itu. Tapi belum sempat Anita menggapai tangan Raka, pria itu malah berjalan lagi, mengabaikan Anita.

"Pah..." lirih Anita. Tidak sadar air matanya terjatuh. Bi Asri melihat itu, ia langsung mendekati Anita dan mengusap punggung Anita, menenangkan perasaan cewek itu.

"Udah Non, mending sekarang berangkat ke sekolah, gak usah di pikirin perlakuan Tuan tadi," ucapnya. Anita menoleh kepada Bi Asri, lalu menggeleng pelan, dadanya sesak ingin menangis, bibirnya sudah tidak kuat lagi menahan isakan dari tangisnya.

"Gak bisa Bi, hiks," isak Anita lalu berlari mengambil tas ranselnya yang berada di meja makan, dan melangkah cepat menuju garasi rumahnya. Anita menutup mulutnya, menahan isakan yang keluar dari sana. Anita menaiki mobilnya, dan melajukan mobil dengan kecepatan yang tidak santai.

"Dasar pilih kasih!! Lupa daratan! Kacang lupa kulit! Gue ini anaknya tapi malah anak orang lain yang dia sayang!" Teriaknya di dalam mobil dengan sangat kesal. Anita semakin menggila di dalam mobil, melajukan mobilnya dengan cepat tanpa mengingat maut sama sekali.

"Mungkin karena si dedemit itu lebih genit kali ya, makanya dia sayang banget! Lah gue apa adanya, mana bisa berekspresi alay kek si dedemit itu!" Maki Anita dan memijak rem cepat saat tersadar ia hampir saja menerobos lampu merah. Anita tersentak, lalu melotot kaget dengan apa yang ia perbuat barusan.

"Dah Nit, lo gak perlu mikirin soal ini lagi, lo harus fokus sama impian lo, lo pengen kuliah di luar negeri, kan! Jadi lo harus fokus sama impian lo itu, gak boleh pikirin hal lain lagi, lo harus keluar dari rumah itu secepat mungkin," ucap Anita menyemangati dirinya sendiri, tapi air matanya tetap saja mengalir, tidak mau berhenti. Mungkin karena kali ini ia benar-benar terbakar api cemburu.

Anita menarik napas kuat, dan mengeluarkannya dengan begitu lelah. Ia menarik tisu yang berada di dalam mobilnya, dan membersihkan air mata yang tersisa di matanya. Lalu setelah melihat lampu berwarna hijau, Anita kembali melajukan mobilnya dengan sedikit santai, tidak seperti tadi.

Broken AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang