Penginapan milik Bu Rahmi, ibu Gema masih terawat dengan baik di tangan kakak sepupunya, Ghani. Ghani yang lebih tua dua tahun dari Gema menyayangi penginapan ini seperti menyayangi Bu Rahmi, Gema, dan Genta. Ghani diurus Bu Rahmi setelah orang tua Ghani meninggal karena kecelakaan saat Ghani berusia dua tahun. Gema yang baru lahir dua bulan setelah Ghani tinggal bersama ibunya, selalu menganggap Ghani adalah kakaknya, pun sebaliknya.
Ghani dengan senang hati mengurus penginapan peninggalan Bu Rahmi, karena sejak kecil, Ghani lah yang diajak Bu Rahmi untuk terlibat dalam mengurus penginapan. Sedangkan Gema lebih tertarik dengan tanaman seperti ayahnya. Namun Ghani dan Gema memiliki kesamaan: sama-sama menyukai Tsubasa, sama-sama mengidolakan Teuku Umar, saling mendukung sebagai partner in crime, dan sama-sama pernah menyukai Halima, tetangga sekaligus teman mengaji mereka di masjid desa mereka.
Tapi akhirnya Halima dinikahkan dengan Umar, anak seorang ulama di desa mereka.
Sedangkan Ghani menikah dengan Khalisa, teman kuliahnya di Unsyiah. Seorang wanita murah hati yang membantu Ghani mengurus villa ini. Bu Rahmi pun jatuh cinta dengan sikap lemah lembut dan wajah manis Khalisa. Sehingga Bu Rahmi mewanti-wanti Ghani untuk tidak bermain-main dengan Khalisa.
Namun sepertinya, Tuhan senang sekali menguji kesabaran Ghani. Khalisa mengidap penyakit lemah jantung saat mengandung anak mereka. Hingga membuat kemungkinan Khalisa atau janin tetap hidup saat melahirkan buah hati mereka amat kecil.
"Gimana persiapan pembukaan kafenya? Udah siap berapa persen?" Ghani membuka obrolan makan siang mereka. Khalisa menyiapkan piring Ghani dengan mengisi piring tersebut dengan sayur dan ikan gabus.
Genta mengangguk-angguk sekenanya. Ia fokus pada Masang Jing ikan bawal buatan Khalisa. Genta tidak pernah bosan memuji kemahiran Khalisa dalam memasak. "Khal, kalo kafe aku buka, kamu harus jadi juru masak di sana ya." Genta mewanti-wanti sambil menikmati ikan bawal di mulutnya.
Khalisa tertawa. "Emang udah rampung sampe mana?"
"Sebentar lagi. Tinggal nunggu furnitur datang dari Jakarta. Katanya besok datang."
"Aku yang nanya gak dijawab. Dasar."
Gema hanya membalas dengan tersenyum usil.
"Jadi apa alasan kamu balik Gem?" Tanya Khalisa lembut, namun cukup menuntut.
Suasana menjadi hening. Semua penghuni di ruangan ini tahu, masa depan Gema ada di Ibukota: frenchise kedai kopi-nya yang menjamur, tawaran untuk menjadi pembicara di acara A hingga Z, membuat training dan sertifikasi barista -- semua dimulainya dari nol. Namun kembali ke desa ini, artinya Gema menarik diri dari kehidupannya di sana.
"Bagaimana ya Khal? Aku capek aja."
Khalisa tersenyum dan merespon "Nggak pa-pa kalo kamu nggak jawab pun." Ia melirik Ghani, lalu beralih pada Gema lagi "Farhana, anak Pak Faris itu juga dulu begitu. Tiba-tiba kembali ke desa ini."
Kalimat singkat itu cukup untuk membuat Gema mematung.
*
Sudah tiga pekan sejak Khalisa meninggal, dan satu pekan setelah Tujuh Pagi dibuka. Ghani memaksa Gema untuk tetap membuka Tujuh Pagi sesuai rencananya. Meskipun suasana rumah mereka sedang berkabung.
"Ini bukan cuma keinginan kamu Gem. Ini juga keinginan Khalisa. Kalo Khalisa hidup, ia juga pasti maksa kamu untuk buka sesuai rencana." Begitu kata Ghani satu pekan lalu.
Dua pekan sebelum ajalnya, Khalisa memenuhi janjinya pada Gema: mengisi menu Tujuh Pagi dengan resep makanannya yang telah ia ajarkan kepada Aldi, anak Bu Meutia. Ia berikan list makanan lengkap dengan foto-foto yang diambil Ghani.
Ghani sedang membakar rokok keduanya saat Gema datang membawa dua cangkir kopi dan duduk di sampingnya. Kematian Khalisa yang sudah mereka persiapkan dari jauh-jauh hari pun, tetap terasa menyedihkan ketika harinya benar-benar datang. Tepat setengah jam setelah melahirkan Shafa.
"Genta udah sampe?" Tanya Ghani saat Gema mengulurkan secangkir kopi ke depan Ghani.
Gema mengangguk. "Jam 8 malam tadi." Gema menyesap kopinya. "Nggak salah saya kuliahin dia bisnis. Otak bisnisnya makin oke"
"Hebat memang adik kita itu. Cuma kita aja yang nggak percaya dia bisa hebat." Ghani tertawa kecil.
"Iyalah Bang. Kita yang liatin dia nangis karena takut capung, diganggu Ghifari sama Rizki, sama dicakar kucing dulu. Bagaimana bisa percaya dia hebat?"
"Bagus dia bisa bertahan sekarang. Ada ceweknya gak?"
"Ada Bang, cakep." Gema menggulir layar ponselnya, lalu mengulurkannya ke Ghani.
"Wah iya. Pinter juga dia milih."
"Kalo nggak pinter, bukan adik kita, Bang"
"Kamu sendiri gimana?"
Gema mendelik. Lalu menjawab. "Nggak tau Bang."
"Belum ketemu Farhana?"
Gema menggeleng. "Lagi ke Jakarta kata orang rumahnya."
Hening.
"Bu Meutia udah tidur?"
Gema mengangguk. "Shafa juga udah tidur, pas aku berangkat tadi."
Keduanya memandangi danau Lut yang menjadi pemandangan utama kafe ini. Gelap. Hanya beberapa kunang-kunang beterbangan di atas danau, serta kelip lampu beberapa kafe lainnya yang ada di pinggir danau.
"Orang tua, Bu Rahmi, sekarang Khalisa. Allah menguji sekali ya." Ghani memecah keheningan setelah mengembuskan asap rokoknya.
"Kelas Bang Ghani naik terus berati." Respons Gema asal.
"Aku ini bisa apa? Kasih sayang Khalisa pasti beda sama aku. Susu juga kukasih susu formula--"
"Nggak apa-apa Bang. Rezeki-nya Shafa berarti itu--"
Ghani menutup wajahnya.
"Bang, bagilah ke saya. Ada saya. Jangan ragu ya." Gema mengusap punggung abangnya itu.
*
Banyak yang terjadi dalam enam bulan Gema di tanah kelahirannya ini. kematian Khalisa, kelahiran Shafa, yang kini pipinya semakin tembam dan matanya semakin membulat. Serta Tujuh Pagi yang dibuka bersamaan dengan acara aqiqah Shafa.
Gema berhasil merekrut Aldi, anak Bu Meutia yang menjadi pegawai kesayangan Khalisa di villa. Aldi punya ketertarikan pada kopi untuk bergabung menjadi barista di Tujuh Pagi. Konsep yang Gema tanamkan di Tujuh Pagi lebih santai dibanding konsep frenchise Foreshore.
"Bang, Pak Thaher tadi ke sini, dan mau ngobrol masalah kebunnya yang Abang sewa."
Gema menghela nafas berat. Pak Thaher pasti mau menaikkan lagi biaya sewa tanahnya melihat Tujuh Pagi yang cukup ramai. Padahal modal pun belum kembali.
"Oke Di. Nanti saya hubungi. Makasih ya. Aku bawa nasi kari ikan nila. Bu Meutia yang buat. Dimakan ya"
Aldi mengacungkan jempol.
Dalam perjalanan ke rumah Pak Thaher, Gema memutar otak. Jika Pak Thaher benar akan menaikkan harga sewa tanahnya pada Gema, maka, Gema akan memperluas kebunnya di atas tanah Pak Faris. Namun jika Pak Thaher melembut, maka Gema akan tetap di sana. Mau bagaimana pun, kondisi tanah di kebum Pak Thaher sangat baik untuk perkembangan biji kopinya. Lagi pula, jarak tanah Pak Thaher jauh lebih dekat dari penginapan dan rumah dibanding tanah Pak Faris, yang harus ditempuh menggunakan kendaraan.
Ponsel Gema berdering.
"Bang, lu bakal kaget siapa yang dateng ke sini barusan." Suara Genta langsung berapi-api.
"Siapa?"
"Kak Farhana!"
Gema berhenti melangkah. Farhana mencarinya?
"Gue udah kasih nomor hp lu, Bang. Jadi siap-siap aja kalo dihubungin. Kak Farhana masih cantik banget, Bang! Ya ampun, kalo boleh, mau gue ambil istri deh!"
Gema menjauhkan ponselnya dari telinga. Suara Genta benar-benar mengganggu. Namun pikirannya menebak-nebak: apa yang akan dibicarakan Farhana?
*
KAMU SEDANG MEMBACA
TUJUH PAGI
ChickLitDi tempat ini kamu bisa bercerita dari berceramah hingga hati ke hati. Kamu juga bisa nugas dari pagi sampai sore hari. Di tempat ini, kamu juga boleh merenungi arti hidup ini, membunuh sepi, sekedar menikmati riak air yang menari-nari, atau... kamu...