Gema tidak tahu, ia akan bertemu lagi dengan Farhana di sini. Di halaman Kafe Tujuh Pagi. Kafe dengan latar danau, tempat mereka tumbuh bersama, juga suara cicit burung dan suara tongeret yang sayup terdengar dari hutan kopi yang tak jauh dari kafenya.
"Hai." Sapa Farhana dengan kikuk.
Pertemuan terakhir Gema dengan Farhana adalah lima tahun lalu, saat Farhana membantunya mendesain kafe pertama Foreshore, juga memilih furnitur yang akan digunakan di dalamnya. Setelah membantu Gema membangun Foreshore, Farhana menghilang, dan tidak bisa dihubungi. Semua media sosialnya pun hilang.
Enam bulan Gema berada di Takengon, belum pernah ia bertemu -- bahkan berpapasan dengan Farhana. Bumi Gayo ini seolah menyembunyikannya dari Gema.
Gema sempat tak percaya dengan penglihatannya saat melihat Farhana muncul. Namun saat mendengar sapaan Farhana, Gema sadar, bahwa wanita di hadapannya benar-benar Farhana.
Farhana adalah teman masa kecil Gema paling cemerlang. Selain sering mendapat nilai sempurna, Farhana juga sering mengikuti olimpiade sains, dan tak jarang memenangkannya. Farhana juga berbakat di bidang olahraga atletik, tepatnya lari dan berenang. Kehidupan Farhana semakin sempurna karena ia memiliki Pak Faris sebagai Ayahnya.
Pak Faris salah satu orang terpandang di desa tempat Gema tinggal. Tanah Pak Faris tersebar hampir di seluruh kabupaten. Hasil tanah Pak Faris jugalah yang menjadi sumber pangan kabupaten tempat Gema tinggal.
Sedangkan Ibu kandung Farhana, Bu Aminah, mengidap TBC dan meninggal saat Farhana berusia empat tahun. Gema ingat, saat itu Farhana banyak menghabiskan waktu di rumah Gema, karena Pak Faris harus mengantar Bu Aminah ke rumah sakit yang ada di pusat kota.
Saat Farhana duduk di kelas dua sekolah dasar, Pak Faris menikah lagi. Gema ingat Farhana amat senang saat itu, karena ia akan memiliki Ibu baru, yang juga merupakan guru kesayangannya, Bu Mutia.
Farhana meninggalkan desa dan pindah ke Jakarta saat Pak Faris terpilih menjadi anggota DPR RI dari kabupaten tempat mereka tinggal. Tepat saat Farhana dan Gema ditetapkan sebagai siswa SMA 1 di kota.
Gema baru menghubungi Farhana lagi saat Gema diterima di salah satu universitas terbaik di Jakarta. Farhana bilang, pacarnya juga kuliah di tempat yang sama. Namun Gema tidak pernah tahu siapa pacar Farhana.
Tapi sejak itu, mereka jadi sering bertemu. Farhana sering mengunjungi kampus Gema, untuk bertemu pacarnya, mengerjakan tugas di perpustakaan pusat, mengikuti lomba dan seminar, atau berpartisipasi di kegiatan olahraga. Kegiatan yang sangat 'Farhana', menurut Gema.
Pada tahun terakhir masa kuliah, Gema mengutarakan maksudnya untuk membuka sebuah kafe pada Farhana. Farhana yang mahasiswa arsitektur di sebuah kampus swasta elit, langsung tertarik untuk mendesain bangunannya. Bahkan menjadikan project ini sebagai tugas akhirnya.
*
"Setelah lulus, aku langsung ke sini." Farhana membuka obrolan setelah menyesap kopinya. Ia berbicara pada Gema, tapi tatapannya jatuh pada danau yang tenang.
Tugas akhir kamu dapet nilai apa?
Kenapa tiba-tiba hilang?
Apa karena Alfin?
Apa aja yang udah kamu alami selama lima tahun ini?
Kerjaan kamu di Studio D gimana?
Kamu sibuk apa sekarang?
"Aku bersyukur, kamu baik-baik aja." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Gema.
Satu bulan sebelum menghilang, Gema baru tahu, bahwa pacar Farhana adalah Kak Alfin, salah satu seniornya di kampus. Sebelumnya, Gema tidak tahu Farhana adalah pacar Kak Alfin. Saat itu yang Gema tahu, Kak Alfin adalah pacar Kak Ruby, senior Gema yang lain.
Teman-teman tongkrongan Gema --Sandy, Teza, dan Mukti-- sibuk bergosip tentang Kak Ruby, yang diduga hamil, di tengah diskusi mereka tentang desain bangunan Foreshore. Mereka sibuk mencari bukti Alfin punya pacar selain Kak Ruby, di depan Farhana saat itu. Farhana yang penasaran akan topik gosip Kak Ruby, ikut melongokkan kepalanya ke layar laptop Mukti yang sedang menayangkan wajah Alfin.
Mukti yang mendengar pertengkaran Kak Ruby dan Kak Alfin. Gema ingat reaksi wajah Farhana saat itu. Wajahnya pias, namun berusaha untuk tetap tenang.
Sebelum menghilang, Gema sempat menangkap Farhana yang mendatangi Kak Alfin di sekretariat Hima. Gema tidak berkata apa-apa saat mata Farhana bertemu dengan matanya --tepat setelah menampar pipi kiri Kak Alfin.
Tapi Gema ingat, senyum yang diberikan Farhana. Senyum yang dipaksakan, hingga membuat bibir mungil itu bergetar. Tanpa banyak berbicara, Farhana pergi.
Tidak seperti hari ini, Gema menangkap senyum tenang secara natural.
"Kak Alfin pacar aku dari SMA." Jelas Farhana. "Mungkin aku belum sempet kasih tau kamu waktu itu." Lanjutnya dengan senyum kecil.
Gema selalu menikmati cerita yang keluar dari mulut para pengunjung kafenya. Mulai dari kisah bahagia, hingga kisah sedih sekalipun.
Tapi kali ini tidak.
Rasanya, Gema ingin Farhana diam saja. Seakan Gema tahu, kalau Farhana menyimpan puluhan ton kesedihan di dalam hatinya.
Farhana tertawa kecil. "Aku baik-baik aja kok Gem. Kayak rasa kopi ini. Awalnya pahit, terus setelahnya ada rasa buah-buahan. Sebentar..." Farhana mengecap lidahnya. "Rasa pisang, nangka... wah, pasti ini kopi dari kebun Pak Faris yang sebelah utara ya?"
Gema tersenyum dan mengangguk. Kebun Pak Faris di sebelah utara danau ini, berisi tanaman kopi yang ditanam bersama pohon nangka, jeruk, dan pisang.
"Dulu sedih banget" Farhana melanjutkan. "Tapi setelahnya aku diperkenalkan dengan perasaan-perasaan lain yang nggak cuma pahit" jelasnya sambil menatap danau.
Baru saja Gema ingin menanggapi, ponsel Farhana berdering nyaring.
"Iya nak? Ibu lagi di tempat teman. Sebentar lagi Ibu pulang. Apa? Muslih dapat tiga bintang? Hebat sekali. Nanti Ibu bawain cokelat oreo kesukaan Muslih ya. Sekarang Muslih minum susu yang dikasih umak dulu ya."
Nafas Gema tertahan. Isi kepalanya seakan sedang meletup-letup di atasnya sekarang.
Farhana menutup panggilan di ponselnya. Kemudian tersenyum lagi. Farhana terlalu banyak tersenyum. Tapi bukan jenis senyum yang Gema sukai. Setelah sekilas menatap Gema, mata Farhana berkeliling ke bangunan Tujuh Pagi, pohon-pohon rindang di sekeliling Tujuh Pagi, kemudian kembali menatap danau.
"Pas kafe ini dibangun, aku sempet khawatir pemiliknya nggak merhatiin esensi keberadaan danau ini. Tapi pas liat kamu di depan tadi, aku sedikit lega." Farhana menyesap kopinya lagi. "Dan pas duduk di sini, aku benar-benar lega." Lanjut Farhana sambil mengentakkan kakinya ke tanah. Ia merujuk pada kayu yang Gema jadikan lantai kafe ini.
Gema tidak ingin air kehilangan tempat resapannya, sehingga Gema memilih kayu untuk dijadikan lantai Tujuh Pagi. Pun dengan pemilihan jendela yang besar dan pintu kaca sebagai akses cahaya ke dalam ruangan Tujuh Pagi.
Sama seperti Farhana, Gema juga tidak ingin kehilangan keindahan danau ini. Meskipun ia harus mengeluarkan uang cukup besar untuk membeli kayu jati Belanda dan jendela-jendela besarnya.
"Brilliant." Puji Farhana "Kamu beneran nggak minat kuliah teknik sipil?"
Farhana tahu caranya mengubah suasana. Gema tertawa kecil. "Nggak. Aku cuma tertarik bangun kafe. Bukan bangun gedung atau jalanan."
Hening lagi.
Baik Farhana maupun Gema, tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
Setelah puas memandangi danau dan menikmati suara tonggeret yang terdengar sayup-sayup, Farhana menghabiskan isi cangkirnya.
"Mampir Gem, ke rumah." Farhana memecah keheningan. "Kamu mungkin akan kaget liat anak aku yang mirip banget sama Alfin. Namanya Muslih. Usianya jalan lima tahun."
*
![](https://img.wattpad.com/cover/278066576-288-k686926.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
TUJUH PAGI
Literatura FemininaDi tempat ini kamu bisa bercerita dari berceramah hingga hati ke hati. Kamu juga bisa nugas dari pagi sampai sore hari. Di tempat ini, kamu juga boleh merenungi arti hidup ini, membunuh sepi, sekedar menikmati riak air yang menari-nari, atau... kamu...