ME- Tentang aku

26 3 0
                                        

"Bukan cobaan itu yang terlalu berat, tapi kamu yang terlalu kuat."


Sesuai perkataanku kemarin, kini aku dan Jaemin telah sampai di depan makan kedua orang tuaku. Makam itu terlihat masih bersih saat terakhir kali aku mengunjunginya.

Biasanya, saat hatiku gelisah aku selalu pergi ke sini untuk menenangkan pikiran dan hati. Meskipun mereka tak benar-benar hadir di sini, tapi entah kenapa hatiku selalu tenang setelah berbicara pada mereka.

"Ayah ... bunda, apa kabar? Maaf baru bisa berkunjung lagi sekarang, aku terlalu sibuk mengurus kuliah dan pekerjaan," ucapku sambil memandang batu nisan milik bundaku sendu.

"Aku membawa teman sekarang, tidak papa kan bunda?" tanyaku sambil menatap Jaemin yang tengah berjongkok di sebelahku.

"Namanya Jaemin, bunda bisa memanggilnya Nana, dia selalu marah jika aku memanggilnya Jaemin," aduku pada bunda.

Kudengar Jaemin terkekeh.

"Do'akan aku sukses ya bunda, agar aku bisa jadi dokter yang hebat. Dokter yang bisa membantu sesama manusia dengan ikhlas, bukan dokter yang selalu dibutakan oleh setumpuk kertas  ...."

Aku mencoba menahan agar air mataku tidak keluar sekarang, mengingat betapa sulitnya dulu saat bunda kritis dan tidak ada yang mau menerima pengobatan karena kami tidak mampu membayar.

Mereka benar-benar tidak punya hati nurani pada kami, bahkan dengan tega mengusir kami dari rumah sakit.

"Aku tak ingin kejadian ini sampai terulang pada orang lain, cukup aku yang merasakan ini bunda."

Satu tetes air mata meluncur di pipiku, aku tidak bisa lagi menahannya. Aku menangis di depan Jaemin dan makan kedua orang tuaku.

"Maaf bunda, padahal aku sudah berjanji untuk tidak menjadi anak yang cengeng," ucapku sambil menyeka air mata yang terus keluar.

GREP!

Sebuah tangan menarikku ke dalam pelukan hangat, menenggelamkan kepalaku di dada bidangnya.

"Jaemin?" gumamku lirih.

"Sstttt, jangan menangis lagi, kamu tidak sendiri sekarang," bisik Jaemin sambil mengelus punggungku lembut.

Tindakan itu malah membuatku semakin ingin menangis, hatiku menghangat karena ucapan pria itu.

"Aku janji akan melindungimu dari kejamnya dunia ini, aku tak akan membiarkanmu berdiri sendiri lagi, aku akan memegang tanganmu hingga tujuanmu tercapai."

Aku tak bisa berkata-kata lagi, aku menangis dalam pelukannya. Rasanya aku kembali menemukan apa yang bisa kusebut 'rumah' untuk berpulang.

"Aku selalu menyayangimu," bisik Jaemin.

Deg!

Hatiku menghangat mendengarnya. "Terimakasih, Jaemin."

Jaemin semakin mengeratkan pelukannya padaku, bisa ku rasakan pria itu mencium pucuk kepalaku pelan. Merengkuh tubuh tak berdaya ini dengan sangat hati-hati seolah aku adalah gelas retak yang kapan saja bisa pecah.

"Bundamu sangat beruntung bisa melahirkan seorang gadis tangguh sepertimu."

Aku terdiam, tanganku kini beralih untuk meremas maju depan pria itu. Menumpahkan segala kegundahan hatiku di dada Jaemin yang sangat nyaman.

Bisakah aku terus seperti ini bersamanya, terkadang aku takut Jaemin juga akan meninggalkanku seperti mereka. Membawakanku kebahagiaan sementara yang akhirnya berujung penderitaan.

Aku tak ingin kehilangan pria ini, aku butuh Jaemin untuk menemaniku singgah di dunia ini.

"Aku juga menyayangimu, Jaemin," gumamku lemah, entah Jaemin mendengar itu atau tidak yang pasti aku sangat menyayangi pria itu.

Lima menit kami bertahan dalam posisi seperti ini, tak ingin berlarut dalam kesedihan aku bergerak untuk melepaskan diri dari rengkuhan Jaemin.

"Ayo pulang, sepertinya sudah cukup untuk hari ini."

Jaemin melepaskan pelukannya, ia kembali menatapku dengan lembut sembari menangkup kedua pipiku. Kedua jempol itu bergerak untuk menyeka bekas air mata di pipiku.

"Aku tahu kamu kuat, karena itu Tuhan memberikan cobaan ini padamu. Jika kamu mempu menghadapi semua ini aku yakin kebahagiaan akan menyertaimu."

"Bagaimana jika aku tidak sanggup?"

"Coba lihat kebelakang, kamu tidak mungkin berjalan sejauh ini jika tidak sanggup."

Aku menatapnya kaget, lagi-lagi dia memberiku semangat. "Ya, kamu benar aku pasti bisa!"

Jaemin tertawa kecil, tangannya kini bergerak untuk mengacak rambutku. "Nah gitu dong!"

"Yak!" protesku lalu menyingkirkan tangan Jaemin yang masih mengacak rambutku.

"Ingin es krim?" tanya Jaemin tiba-tiba.

Aku menatap pria itu dengan sumringah, astaga Jaemin benar-benar peka. Aku memang selalu memakan es krim ketika hariku sedang berantakan.

"Ayo beli!" ucapku sambil menarik tangan Jaemin untuk keluar dari area pemakaman.

"Dasar maniak es krim," ucap Jaemin sambil terkekeh.

"Biarin! Siapa suruh mau berteman dengan si maniak es krim ini," jawabku sedikit kesal.

"Kalau disuruh milih antara aku atau es krim kamu mau pilih yang mana?"

"Es krimlah!"

"Ya udah aku pergi," ucap pria itu sambil melepaskan tautan tangan kami dan berbalik berjalan berlawanan arah denganku.

Melihat itu sontak aku segera berlari menyusulnya dan menahan tangan itu agar berhenti. "Eh, engga enggak! Aku pilih Jaemin!" ucapku panik.

Pria itu tertawa lebar, lalu kembali mengacak rambutku. "Astaga kamu segitu takutnya kehilangan aku?"

Aku menunduk malu, perkataan Jaemin tepat sekali mengenai sasaran.

"Aku cuma bercanda kok, lagian aku juga tidak akan pernah meninggalkanmu di dunia ini, kecuali takdir Tuhan berkata lain."

Ya, aku hanya berharap semoga Tuhan tidak memisahkanku dan Jaemin seperti dia memisahkanku dan Jeno.



































Ya, aku hanya berharap semoga Tuhan tidak memisahkanku dan Jaemin seperti dia memisahkanku dan Jeno

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hehe 😀✌


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 05, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My EverythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang